Evan masih disibukan dengan kerugian yang dialami perusahaan milik Dewa, tetapi semakin hari semakin merembet pada perusahaan miliknya. Semua team yang sangat berpengaruh dalam gedung dipanggilnya, dikumpulkan di dalam ruang rapat. “Semakin hari saya mengalami kerugian. Memang tidak besar, tapi jika setiap hari seperti ini bukankah ada kemungkinan perusahaan akan bangkrut dan kalian juga yang akan ikut dirugikan karena jika perusahaan bangkrut maka tidak ada lagi lapangan kerja di sini.” Sebenarnya Evan sedang menggertak, hanya saja menggunakan cara lembut dan manusiawi yang tentu saja berbeda dengan isi hatinya yang sedang ingin memaki semua karyawan.Salah seorang pria berdasi angkat bicara. “Mohon maaf Tuan, setelah kami mencari tahu kesalahan ini ada pada Tuan karena Tuan yang telah menjalin kerjasama insten dengan perusahaan milik Tuan Dewa, hingga akhirnya apapun yang terjadi dalam perusahaan Tuan Dewa akan berimbas pada perusahaan ini. Baik dan buruknya. Saya mohon maaf jika sa
Bawahan Evan menemui Aisha di dalam kediaman Ansel. “Mohon maaf Nyonya. Tuan Evan menitipkan pesan.” Secarik kertas diberikan bersama sebuah amplop.Aisha tidak heran saat keberadaannya ditemukan karena kemana lagi dia akan pergi selain pada Ansel, maka pasti Evan berpikiran hal yang sama. Secarik kertas bertuliskan kalimat panjang hasil tulis tangan Evan dibacanya tanpa ragu. Isinya sudah pasti perintah supaya dirinya kembali. Lalu, sebuah amplop dibuka yang didalamnya terdapat sejumlah uang untuk bekal hidupnya yang entah sampai kapan berada dalam kediaman sang kakak.“Katakan pada Evan. Hari ini aku tidak akan pulang!” Sikap angkuh Aisha yang selalu membenci semua bawahan Evan.“Baik Nyonya, saya akan mengatakannya.” Anggukan patuh pria tinggi besar itu. Saat ini Alea barusaja kembali dari warung untuk membeli bahan pokok. “Sya, ada apa, apa Evan menjemput kamu?” Wajahnya melukiskan banyak sekali perasaan keberatan. “Iya, Kak. Tapi Aisha tidak akan kembali hari ini,” jawaban lemb
Pada tengah malam, antek-antek Evan mengawasi kediaman Ansel serta memberikan laporan secara berkala. “Nyonya Aisha tetap di rumah.” Laporan yang diberikan pria ini sangat akurat karena dia berada di sini sejak sore hari hanya saja tidak satu pun keluarga Ansel menyadari persembunyiannya. “Awasi terus. Aku tidak ingin kehilangan istriku!” tegas Evan bersama seringai liciknya karena maksud tidak ingin kehilangan yang dikatakannya adalah untuk menyikasa Aisha bukan karena wanita itu sangat berarti di hidupnya. “Baik, Tuan,” patuh pria berpakaian santai ini. Alasan tempat persembunyiannya tidak ditemukan oleh keluarga Ansel itu karena pria ini menyewa kontrakan tepat di hadapan kediaman Ansel maka tidak seorang pun menyadari jika dirinya bukan manusia biasa, melainkan mata-mata yang ditugaskan oleh Evan.“Jika memungkinkan, bawa Aisha padaku pada tengah malam. Tapi jangan pernah meninggalkan jejak, buat kejadian ini seolah-olah murni karena Aisha pergi atas keinginannya.”“Saya akan me
Hari berganti, Ansel mendapatkan panggilan dari polisi tetapi bukan untuk dimintai keterangan melainkan untuk membebaskannya dari tuduhan karena ternyata Aisha mengunjungi kantor polisi tanpa sepengetahuannya, wanita itu melaporkan kejahatan Evan pada ayahnya hingga Adhitia terbaring, hanya saja wanita itu tidak menyertakan buktinya, tetapi karena salah satu anggota kepolisian adalah rekan Adhitia maka laporan Aisha diterima dan kasus ini akan diselidiki. Ansel membuang udara lega. 'Baguslah, saat ini aku terbebas dari tuduhan. Sisanya tinggal aku serahkan pada kepolisian. Aku yakin kejahatan Evan akan segera terkuak!' Kini, Ansel menjenguk ayahnya yang masih berada dalam perawatan serta pengawasan. "Ansel baru tahu kalau papa punya rekan yang berpropesi sebagai polisi dengan jabatan tinggi, papa tidak pernah mengatakannya pada Ansel," kekehnya. Adhitia menarik senyuman bersama beberapa kalimat yang tidak dapat dimengerti oleh Ansel, tetapi pria ini yakin jika Adhitia sedang menyah
"Naima memang wanita seperti itu. Dia wanita baik-baik yang berasal dari keluarga yang baik. Jadi rasanya sangat tidak mungkin jika Naima berkawan dengan orang-orang yang berkebalikan dengan dirinya." Embusan udara panjang dibuang. "Hanya saja mengapa bawahanku bisa tiba-tiba mengatakannya jika memang tidak melihat Naima dalam keadaan seperti itu." Tawa kegelian Reza. "Aku yakin bawahanmu salah lihat. Dia memang tidak salah melaporkan tentang Naima, tapi sepertinya orang yang dilihatnya bukan Naima." Ansel mencoba menutupi kenyataan tentang wanita yang sejak tadi menjadi bahan obrolannya dan Evan, kemudian mengajukan pertanyaan penting, "Apa bawahanmu mengirimkan foto?" "Tidak karena saat itu kami sedang berkomunikasi lewat telepon, tapi tiba-tiba bawahanku mengalihkan pembicaraan pada Naima hanya saja dia bilang Naima berlalu sangat cepat dan singkat maka tidak sempat memfotonya ataupun mengalihkan panggilan menjadi video call." Ansel tidak ingin hal ini berlarut-larut apalagi ber
Aisha dan sekretaris Evan sudah berhadapan, wanita berpakaian formal ini menyambut hangat si wanita, "Selamat siang Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" Sikap ramah penuh hormat menyertai. 'Saya membutuhkan banyak informasi tentang perusahaan. Pasti kau tahu banyak hal!' Ingin sekali mengatakan hal ini secara langsung, tetapi itu tidak mungkin karena jika kalimat ini dilontarkan maka orang luar akan menebak-nebak yang terjadi pada keluarganya. "Bagaimana keadaan perusahaan? Saya diperintah papa untuk mengunjungi lapangan secara langsung." Kalimatnya disampaikan penuh wibawa, pun Aisha mengganti kalimatnya agar lebih elegan."Senang mendapatkan kunjungan dari Nyonya." Wanita ini selalu bersikap penuh hormat apalagi di hdapannya kini adalah putri dari pemilik perusahaan. Sebuah kertas disodorkan. "Sebenarnya perusahaan baik-baik saja karena selalu memiliki peningkatan yang pesat, tetapi akhir-akhir ini terdapat pengurangan dana." "Pengurangan dana?" Dahi Aisha berkerut heran. Segera, ke
Ansel barusaja membuka email yang dikirimkan Aisha. "Kenapa Aisha bisa mengirimkan data-data parusahaan. Apa Aisha sedang di perusahaan papa!" Seharusnya Ansel merasa puas dengan kemajuan Aisha saat ini karena informasi yang diberikan adiknya sangat penting, tetapi nyatanya pria ini mengkhawatirkan adiknya yang sedang berada di dalam lingkungan berhaya. [Kakak sudah menerima semuanya. Pulanglah!] Perintah tegas ini dikirimkan lewat email karena hanya ini satu-satunya alat komunikasi Aisha saat ini. "Syukurlah kakak sudah mendapatkan semua data yang Aisha kirim." Embusan udara lega dihembus Aisha, tetapi wanita ini belum bisa meninggalkan perusahaan karena dia masih mengunduh data penting lainnya. Namun, terbesit sebuah ide gila. 'Apa lebih baik laptop ini aku bawa saja?'Aisha segera menutup laptopnya setelah selesai mengunduh data. Benda itu dikantongi, tetapi sekretaris segera berkata santun, "Mohon maaf Nyonya, jika sudah selesai laptopnya dikembalikan saja ke tempatnya karena itu
Aisha menggambar wajah penuh rasa takut karena mungkin Evan akan menyakitinya secara fisik, tetapi ternyata bayangannya sangat berkebalikan dengan kenyataan karena Evan segera menunjukan wajah sendu setelah menggambar ekspresi berang. "Sayang, apa kau tidak pernah mencintaiku?" Saat ini Aisha sedikit menurunkan rasa gugupnya, tetapi rasa takut tetap berlipat ganda. "Jangan menanyakan hal bodoh." Suaranya sedikit bergetar karena bibirnya bergetar ketakutan. Evan segera memegangi pelipisnya, kemudian mendesah panjang yang terdengar sangat lirih. Lalu kembali menatap Aisha. "Kita bersama karena dijodohkan, tetapi bukankah sudah banyak hal yang kita lakukan bersama. Apakah kamu tidak pernah menganggap satu saja moment kebersamaan kita sebagai hal spesial?" Suara serta tatapan Evan seolah sangat tersakiti, tetapi Aisha tidak luluh sama sekali karena ini adalah kebiasaan suaminya. Aisha tidak memberikan jawaban apapun bahkan dengan sengaja tatapannya dialihkan ke arah lain. Intinya dia