Share

BAB 2 - Sebuah Undangan

Flashback

Aku membuka pintu kamarku pada ketukan yang kedua dan mendapati wajah lelah Bayu terdiam mematung di depan pintu kamarku. Tangannya menggenggam sebuah kotak obat saat menatapku dingin.

“Boleh aku masuk?” aku mengangguk. Bayu melihatku masih terdiam di ambang pintu, tentu saja karena takjub akan kedatangannya malam ini. Ia mengacungkan jari telunjuknya menyuruhku untuk duduk di tepian ranjang. Dengan kikuk aku mengikuti perintahnya, sementara ia mulai membuka kotak obat dan mengolesi semacam salep ke area luka di siku tangan kiriku. Wajahnya fokus pada luka di sikuku dan aku fokus menatap wajah Bayu yang sedingin es.

“Selesai!” ungkapnya menutup kotak obat dan menarik diriku kembali ke alam sadar.

“Terima kasih.” kataku sebelum Bayu beranjak pergi.

“Tidak perlu, aku hanya merasa bertanggung jawab atas perbuatan Safira kepadamu. Jadi, jangan berpikir aku melakukannya karena khawatir padamu.” balasnya membuatku kembali mengingat kata-katanya saat menolongku dari serangan Kevin tempo lalu setelah pemakaman mama.

End Of Flashback

“Ri-Na-Ta!” suara Dandy mengejutkanku.

“Kau melamun.” aku tersenyum kecil sambil mengedikkan bahuku saat Dandy mengambil posisi duduk di hadapanku.

“Apa yang kamu lamunkan? Mukamu memerah.” katanya membuatku spontan menyentuh pipiku dengan kedua tanganku.

“Bukan apa-apa.” kilahku menggelengkan kepalaku cepat. Tidak mungkin kan aku mengatakan bahwa aku melamunkan seorang Bayu yang bahkan tidak dikenal oleh seorang Dandy?

“Kau tidak sedang melamunkan yang jorok-jorok, kan?” ucapnya membuatku membelalakkan mata membuatnya tertawa geli.

“Tentu saja tidak!”

“Baiklah, aku percaya.” Dandy masih terkekeh geli padaku.

“Ada apa?”

“Koki di pantry menyerahkan ini padaku, mereka ingin kau mencicipinya. Mungkin ini bisa menjadi menu baru di café.” Dandy menyodorkan sepiring masakan dengan warna semerah darah padaku dengan potongan-potongan daging kecil menyerupai dadu. Aku mengambil sendok dan dengan waspada mencicipi menu di hadapanku.

“Enak?” tanya Dandy terlihat menerka-nerka reaksiku. Aku mengangguk pelan saat merasakan sensasi asam yang menyegarkan dengan rasa pedas yang menyerang kerongkonganku.

“Ini namanya ‘asam katak bumbu rempah’.” Seringainya dan dengan cepat aku terbatuk. Aku tersedak dengan pedasnya rasa rempah yang menyengat di kerongkongan dan hidungku. Dandy menyeringai sambil memukul punggungku pelan. Sebelah tangannya yang lain menyodorkan segelas minuman yang telah terisi penuh air mineral.

“Kamu terlalu kaget untuk menu baru kita.”

“Tentu saja aku kaget karena seingatku, aku tidak pernah mengizikan peredaran menu berbahan baku utama katak.” Tegasku padanya.

Chill, Rinata. Aku hanya bercanda. Koki itu bilang nama menunya adalah asam kambing bumbu rempah.” Jelasnya lagi.

“Apa kau tidak bisa merasakan tekstur dagingnya?” katanya lagi menyuap menu baru itu dengan sendok yang tadi kugunakan. Aku menggeleng.

“Aku tidak memperhatikannya tadi.” belaku cepat.

“Hmmm ini.. enak dan aku rasa kamu harus setuju untuk menambahkannya ke menu hidangan café kita.”

Begitulah Dandy, seminggu sudah ia bekerja menggantikanku dan karakternya kini terbaca dengan sangat jelas. Ia adalah tipikal yang usil dan senang bermain-main, walaupun kuakui kerjaannya sangat apik dan tanpa cela.

Awalnya aku ingin memaki diri Anton karena mengirimkan seorang ‘Dandy’ padaku, tapi niatku kembali kuurungkan mengingat Dandy ternyata tidak seburuk penampilannya.

“Baiklah, kalian bisa memasukkannya setelah mengurangi takaran jumlah rempahnya. Hal itu yang membuatku tersedak tadi.” kilahku.

“Aku pikir kau tersedak karena kubilang menu barunya adalah katak.”

Whatever!” seruku memutar bola mataku kesal.

“Dandy, apa kamu tahu di mana keberadaan Anton? Sudah seminggu aku tidak bisa menghubunginya.” Dandy kini beralih menatapku. Mulutnya kini sudah belepotan dengan saus merah kental. Spontan aku mengambil tissue dan menyeka mulutnya.

“Kamu seharusnya menyebutku dengan panggilan Kakak, Rinata.” ia menyeringai menyentuh pergelangan tanganku dan dengan cepat aku menarik kembali tanganku darinya. Entah kenapa sesaat aku melihat ada yang berbeda dengan tatapan Dandy barusan kepadaku.

“Sayangnya aku juga tidak tahu. Setelah menyuruhku datang ke tempatmu, ia juga tidak pernah menghubungiku lagi.” Aku menghela napas pelan, sedikit kecewa dengan absennya Anton padahal banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya.

Aku tidak mungkin menemuinya di kantor ataupun di rumahnya. Papanya membenciku karena ikut termakan hasutan orang-orang tentang diriku dan mama.

Aku bertemu Anton tepatnya lima tahun yang lalu saat kami sama-sama berkuliah di jurusan bisnis manajemen. Ia seniorku ketika itu dan berkat ia pulalah aku bisa dengan mudah membuka bisnis café-ku ini.

Anton memiliki seseorang yang ia sukai sejak lama terlepas dari karakter player yang melekat pada dirinya. Nama gadis itu Sasa, sekretaris kakakku. Aku juga baru mengetahuinya setelah tak lama bergabung di perusahaan Dirgantara.

“Ri-Na-Ta.” Aku terlonjak kaget saat Dandy kembali mengguncang pundakku.

“Kau melamun lagi! Apa itu hobimu? Melamun?” tanyanya sedikit menyindir dengan gayanya yang usil. Aku hendak menjawab ketika sebuah mobil Alpard hitam memasuki halaman parkir café.

“Hai, sweety!” sapa Anton langsung menghambur ke dalam pelukanku. Kulihat Dandy yang berada tidak jauh dari kami mengernyitkan dahi sambil menggeleng dengan sebuah senyuman yang sedikit berbeda.

“Hai, man!” Dandy dan Anton saling menubrukan badan mereka memberikan pelukan persahabatan layaknya seorang pria.

“Jadi kalian sudah saling mengenal, kan?” Anton meneguk habis sisa air mineral yang tadi disodorkan Dandy kepadaku.

“Ya.” kataku bersemangat saat kembali dapat melihat wajah player seorang Anton.

“Oh syukurlah, aku pikir kau akan memarahiku mengingat nada bicara terakhirmu di telephon.” Dandy lagi-lagi mengernyitkan dahi seolah meminta penjelasan tentang hal itu, namun aku tidak menggubrisnya.

“Jadi, ke mana saja kau selama ini?”

“Woopss.. seseorang terlihat khawatir.” Sindir Dandy meledekku saat mendengar pertanyaanku pada Anton.

“Kau pasti merindukanku, kan Sayang?” Anton meremas tanganku yang berada di atas meja.

“Maaf, belakangan ini aku sibuk sekali. Aku melakukan beberapa perjalanan ke Bangkok dan Singapore sehingga tidak sempat untuk menghubungimu." jelas Anton tulus, “kau pasti mengalami hari yang berat.” Anton terlihat bersimpati padaku. Sementara Dandy menyeringai sebelum akhirnya berkata.

“Kurasa tidak karena kehadiranku.” aku memutar mataku cepat dan meninju lengan atas Dandy dengan cukup keras.

“Awww!” ia merintih berpura-pura sakit.

“Senang rasanya mengetahui bahwa kalian cepat akrab.” Aku membelalakan mataku pada Anton.

“Baiklah, aku minta maaf. Sebenarnya aku ke sini, selain merindukanmu juga ingin menunjukkan ini.” Anton menyodorkan sebuah undangan dari balik jasnya ke atas meja. Undangan dengan design yang elegan, perpanduan antara warna ungu dan coklat yang mengkilap. Undangan itu sontak membuat perhatian kami teralihkan. Aku membuka undangan itu dan mendapati tulisan yang tertera di atasnya untuk kemudian membacanya dengan keras.

Dirgantara Family Welcome Party! Pekan depan?” pekikku terkejut karena tidak mengetahui barang sedikitpun tentang akan adanya undangan tersebut.

“Kau tahu undangan apa ini?” aku menggeleng cepat.

“Undangan ini baru saja sampai ke kantor Papa tadi siang.” Jelas Anton, "apa kau betul-betul tidak tahu tentang undangan ini?” Anton terlihat masih sangat penasaran dan lagi-lagi aku hanya menggeleng.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
hs020863
semakin menarik cerita
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status