“Apakah ketampanan seorang pemuda itu penyakit mematikan hingga jantungku dibuatnya berebar kencang dan tubuh menjadi demam?” ~Bawang Putih~ --- “Mbakyu, buka pintunya! Putih takut! Ada orang aneh!” Jantungku berdebar kencang. Rasa cemas menjalar dengan cepat. Bawang Putih memiliki ilmu bela diri yang cukup mumpuni. Jika dia sampai ketakutan, berarti lawannya benar-benar sulit. Grook Groook Argh, sialan! Perutku tidak mau diajak kompromi. Masih banyak bom atom yang antri ingin keluar. “Sebentar, ya, Putih. Masih mulas ini.” “Mbakyu, tolong bukakan pintunya! Aku mau sembunyi.” “Baiklah, mbakyu bukakan, tapi kamu sambil tutup mata, nanti bintitan.” “Iya, Mbakyu, iya.” Aku membuka pintu perlahan, hingga menyisakan celah sempit. Bawang Putih cepat masuk dengan mata tertutup. Setelah itu, dia berdiri di salah satu sudut jamban, menghadap dinding sambil memegangi dada yang naik turun. “Ada apa sebenarnya, Putih? Kamu seperti ketakutan. Apa ada orang yang mengganggumu?” cecarku
“Ya ampun, kamu kenapa, Nak?” jerit Ibu dengan wajah cemas. “Sepertinya, masuk ang–” Belum selesai bicara, aku kembali muntah. Tubuh Bawang Merah memang sensitif cuaca, salah sedikit, bisa masuk angin. Apalagi, sebelumnya aku memang terkena diare. Ibu dan Bawang Putih memapahku menuju kamar. Kepala yang terasa berputar-putar membuatku beberapa kali memejamkan mata dan hampir kehilangan kesadaran. Beruntung, aku bisa bertahan hingga sampai di kamar.Dengan hati-hati, Ibu membantuku berbaring di dipan. Terdengar derit di ranjang tua itu saat harus menyangga bobot tubuhku.“Sekarang, kamu harus istirahat, Bawang Merah. Awas kalau masih mau bekerja!” ancam Ibu setelah menyelimutiku dengan jarik. "I-iya, Bu," sahutku lemah.Ibu tampak ingin menasehati lagi. Namun, terdengar suara ketukan pintu. Ibu mendecakkan lidah, lalu pergi ke luar kamar. Aku menghela napas lega, berterima kasih kepada tamu yang datang karena telah menyelamatkanku dari omelan.“Putih, Mbakyu boleh minta tolong?” pi
“Sejak lama dirimu menarik hatiku, sejak kulihat gadis kecil dengan sinar mata penuh luka.” ~Raka Wistara~ --- Aku ternganga. Mata mengerjap berkali-kali sebelum menatap dalam wajah tampan sekaligus cantik itu. Raka lagi-lagi tersenyum genit, membuatku mundur beberapa langkah. “Jangan takut, aku membawamu ke sini karena ingin membantu.” “Benarkah?” “Sungguh. Sekarang, kamu duduklah.” Raka membimbing dengan lembut agar aku duduk di kasur berlapis sutra dengan taburan berlian. Sementara dia menarik kursi emas, lalu duduk di atasnya. Sepasang mata berkilau indah itu menatap dalam, membuatku memalingkan muka. Tatapannya begitu menghipnotis, jangan sampai tergoda menjadi istri siluman. “Sekarang, jelaskan padaku siapa kamu sebenarnya? Putra bidadari? Ikan mas? Atau genderuwo?” Raka mengerucutkan bibir dan mengembungkan pipi. Elah, ikan mas genderuwo ini sok imut banget, sih! “Aku putra bidadari, tapi terkena kutukan sehingga pada siang hari terperangkap di tubuh ikan mas. Jika s
Aku tersenyum senang. Serbuk jamu instan dari temu lawak telah siap. Sebenarnya, sudah lama aku ingin mengolah produk ini. Namun, ada-ada saja yang membuat rencana itu tertunda. Faktor paling utama adalah biaya. Jamu instan memerlukan gula pasir yang merupakan barang impor pada zaman ini. Pabrik gula belum didirikan. Cara membuatnya tidak terlalu sulit, tapi memerlukan tenaga ekstra. Pertama, temu lawak diparut dulu, lalu ditambahkan air dan diperas. Sari yang diperoleh dicampurkan dengan gula dan dimasak hingga menjadi menjadi serbuk. Proses pengadukan sedikit berat saat bahan mengental seperti pada pembuatan dodol. Aku menggarapnya sejak dari pagi. Beruntung, tetangga ada hajatan. Jadi, Ibu sudah membantu sejak subuh. Beliau tidak bisa mengawasiku. “Ya ampun, Bawang Merah! Kamu baru sembuh dari sakit! Istirahat, jangan bekerja dulu!” omel Ibu yang tiba-tiba sudah ada di belakang. Baru saja dipikirkan beliau malah muncul. Kadang, aku berpikir Ibu punya ilmu berpindah tempat. “A
“Saat kau sudah mengubah cerita bergenre romantis menjadi aksi, rasanya hendak pingsan saja.” ~Aleeya/Bawang Merah~ --- Mata pemuda mirip Ardhan versi lebih muda itu memicing. Alisnya bertaut. Ujung pedang yang tadi di leher bagian samping berpindah ke depan, sehingga wajahku harus mendongak, membuat dua pasang netra bertatapan. “Apa tadi yang kamu bilang?” Aku menelan ludah. Bisa-bisanya tadi keceplosan karena terlalu kaget. Katanya, ada 7 orang berwajah mirip di dunia ini. Mungkin Ardhan dan pemuda ini salah satunya. Lagi pula mana mungkin mantan terburuk itu bisa ada di sini. “Maaf, Tuan.” Aku memilih mencari aman. “Ardhan? Siapa Ardhan? Namaku Danar, Danar Prayuda.” Aduuuh! Mampus! Kenapa aku harus berhadapan dengan pengawal paling hebat di kerajaan? Pantas saja suaranya mirip Ardhan ternyata wajahnya juga. “Ardhan teman saya.” Najis banget kalau harus mengakui mantan! “Jadi, kamu ingin mengatakan aku mirip temanmu? Wajahku pasaran begitu?” “Anu ... itu ... hanya miri
Pedang Danar terlempar dan tertancap di tanah. Beruntung, Pangeran Arya bergerak dengan gesit, merebut pedang dari tangan Bawang Putih dan menangkis serangan Danar. Napasnya tersengal. Raut khawatir masih tercetak di wajah tampannya. Sementara itu, Bawang Putih terdiam, menatap dalam ke arah sang pangeran. Dua pasang mata pun bertemu. Waktu seolah berhenti. Latar matahari terbenam menambah epik adegan romansa mereka. Suasana semakin bertambah manis dengan bunga kamboja yang berguguran menghujani keduanya. Meskipun sering diidentikkan dengan mistis, sebagian kalangan mengartikan kamboja sebagai bentuk keabadian. Tiba-tiba aku ingin makan popcorn untuk melengkapi tontonan romantis ini. “Maafkan hamba, Pangeran. Hamba tidak bermaksud melukai, Yang Mulia. Hamba pantas mati!” Danar langsung berlutut. Kepalanya tertunduk, seolah siap untuk dipotong. Suasana syahdu sepasang tokoh utama pun seketika ambyar. Pangeran Arya menggaruk-garuk kepala. Sementara Bawang Putih melukis gambar abstra
“Mbakyu Bawang Merah adalah pahlawanku, tidak ada yang boleh macam-macam padanya.” ~Bawang Putih~ --- Buuuk! “Aduh! Sakit!” Danar mendengkus sembari mengelus kepala. Pecahan tembikar mengotori rambutnya. Dia berbalik dengan cepat. Sementara aku terduduk sambil mengelus dada. Bawang Putih benar-benar cari mati. Ya, dia berdiri dengan wajah merah padam. Tangannya memegangi periuk dari tanah liat yang bolong pada bagian bawah. Sementara sepasang mata polos terlihat berapi-api seolah menantang Danar. “Kamu!” Gemeletuk gigi Danar terdengar jelas. Tangannya terkepal kuat, hingga bisa terlihat buku-buku jari yang memutih. Mata elang mendelik tajam. Namun, Bawang Putih tak gentar. Dia malah balas melotot. “Kamu mau apakan Mbakyuku? Hah?” Danar tampak mendengkus-dengkus. Dia tampak berusaha keras meredakan emosi. Bawang Putih malah semakin menantang. Kepalaku mendadak berdenyut. Lama-lama bersama dua orang ini, aku bisa terkena serangan jantung. “Tolong, jangan bertengkar!” sergahku
“Saya belum pernah bertemu, tapi dulu beliau memborong obat-obat kami dengan harga tinggi.” “Ck! Cuma segitu saja.” Danar mengibaskan tangan. “Sudahlah, tidak perlu membahas dia. Pokoknya, aku pesan jamu tadi tiga gentong.” Sabar, Aleeya ... sabar .... “Kira-kira sebulan lagi akan kuambil.” Aku membungkukkan badan sedikit. “Baiklah, Tuan.” “Ini bayarannya.” Danar mengambil kantung kulit dari balik baju dan menyodorkannya padaku. “Ini kebanyakan, Tuan.” “Itu bukan apa-apa. Aku bisa membeli lebih banyak daripada Kangmas Dharma.” Halah, ternyata hanya karena persaingan! Tak apalah, yang penting aku jadi untung. “Baiklah, aku harus pergi, sebulan lagi akan kembali ke sini.” Danar bangkit dari kursi. Dia melangkah ke luar toko masih dengan gaya jemawa. Setelah memastikan si resek sudah benar-benar pergi, aku langsung menendang meja demi melampiaskan amarah yang sedari tadi harus dipendam. *** Aku merapikan alas tempat tidur, juga menata bantal agar nyaman digunakan. Setelah itu