Hari ini aku merasa tidak enak badan. Terasa seperti remuk redam. Mungkin karena aku berdesak-desakan di acara Konser kemarin bersama Mi Hee. Punggungku ngilu seperti ditusuk-tusuk. Bagian betisku juga agak kram karena banyak berlari dan… ya, jempolku juga tak kalah perihnya dari betis dan punggung ini. Entah berapa lama lagi aku harus membalutnya dengan kain kasa. Aku sudah tak sabar ingin memakai sepatu.
"Kau akan ke supermarket hari ini?” tanya Mi Hee padaku saat kami sedang berada di kantin siang ini.
Aku mengangguk sambil menyuapkan buah pisang ke dalam mulut.
“Apa aku perlu ikut?”
Aku menggeleng. “Tidak usah! Kau masuk kelas saja. Aku tidak masalah, kalaupun pergi sendiri!”
“Jeongmal?”
“Nae!”
“Erm, jangan lupa membeli lobak!”
“Iya, aku sudah tahu itu!”
“Dan…” Dia berhenti dan mulai tersenyum aneh padaku.
Aku mengernyitkan dahiku sambil menatapnya.
“Kau harus mengirimkan padaku foto SNine, kalau kau bertemu mereka di sana?”
“Mwo????? Kau ini ada-ada saja! Mana mungkin mereka berkeliaran di supermarket? Huh!” Aku melempar wajah Mi Hee dengan kulit pisang yang masih berada di genggamanku dengan pelan.
“Bisa saja, kan?”
“Bisa apanya? Sudahlah! Kau jangan terlalu sering berkhayal yang tidak-tidak, Mi Hee!!!” seruku padanya.
Dia tertawa memandangku.
Dasar!!! Kecintaannya pada Ahn Jae hampir membuatnya gila! Aku tak percaya dia bisa segila ini? Apakah di dalam otaknya memang cuma ada Ahn Jae? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil memandang Mi Hee yang mulai tersenyum sendiri memandang handphonenya. Aku tak tahan lagi melihat tingkah konyolnya seperti itu! Dia benar-benar sudah tidak waras lagi.
Aku berjalan ke arah sayur-sayuran untuk mencari lobak pesanan Mi Hee. Lobak ini sudah menjadi makanan kesukaanku setelah Mi Hee meraciknya menjadi makanan yang sangat lezat. Selain menjadi seorang hyperdreamer, dia juga seorang koki yang sangat cantik dan berbakat. Mi Hee pernah membuat cupcake yang bahannya berasal dari lobak pada saat perayaan ulang tahunnya. Aku sangat mengagumi sahabatku itu. Banyak bakat di dalam dirinya yang tak bisa aku contoh.
Braakkkkk....
Sepertinya trolyku menabrak sesuatu. Sebuah minuman kaleng. Aku memandang minuman kaleng itu. Sebelum tanganku meraihnya, tiba-tiba seorang pria datang dan langsung menyambar minuman kaleng yang sempat menahan roda trolyku. Aku tersentak dan ingin meminta maaf padanya, tetapi dia membuang wajahnya dariku dan menutupnya dengan topi.“Joesonghabnida…” ucapku dengan sangat keras karena dia tidak menghiraukanku.
Sesaat kemudian, pria itu berhenti dan membalikkan tubuhnya. Dia melihatku dari balik topinya, seperti mengintip. Aku mengernyitkan dahi sambil memperhatikan sosok itu dengan sangat teliti. Dia seperti… sepertinya… Apakah aku tidak salah lihat? Namun, mengapa dia ada di sini? Aku masih ragu dengan penglihatan ini.“Apa kau Lee.…”
Spontan saja dia menutup mulutku dengan kasar dan memandang sekeliling Supermarket ini. “Jangan sebut namaku dengan keras! Mereka bisa menyantapku di sini…” bisiknya di telingaku dengan nada tak beraturan.
Dadaku berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Wajahnya yang begitu dekat membuatku tidak bisa berkata apa-apa selain menganggukkan kepala.
Kami berjalan menuju taman, tempat dimana pertama kalinya kami bertemu. Lee Sin membuka kacamata hitamnya dan tersenyum padaku. Wah... Sepertinya ini adalah hari keberuntunganku, batinku. Aku sedang bersama seorang idola sekarang. Sedang duduk berdua dengannya tanpa siapapun mengetahuinya, termasuk Mi Hee. Aku meluruskan badanku dan mengambil nafas yang agak panjang.
“Kau sendirian?” tanyanya sembari membuka tutup minuman kaleng yang dibelinya dari Supermarket tadi.
“Nae! Mi Hee sedang menyelesaikan tugasnya di perpustakaan," jawabku dengan pelan.
Dia tersenyum sambil berujar, “Oya, bagaimana dengan kakimu? Sudah sembuh??” Lee Sin memegang pergelangan kakiku dengan sangat hati-hati.“Lumayan… Tinggal menunggu lukanya mengering. Makanya harus dibalut supaya tidak kena debu dan infeksi,” jawabku.
“Oh…” Dia mengangguk lagi. Kali ini dia memberikanku sebuah minuman kaleng.
“Kau juga sendirian?” tanyaku kembali padanya.
“Iya.”
“Kau tidak takut dikejar oleh mereka?” tanyaku sambil membuka minuman kaleng yang baru saja diberikannya padaku.
“Aku suka seperti ini,” jawabnya dan meneguk minumannya.
“Wae?”
“Aku ingin menjadi orang biasa, makanya aku sering melakukannya…” jawab Lee Sin.
“Bukannya enak menjadi seorang idol?” tanyaku dan meneguk minumanku lagi.
“Kau berpikir seperti itu?”
Aku mengangguk.
“Menurutmu itu sangat mengasyikkan, tetapi tidak bagiku. Sejak menjadi seorang idol, hidupku menjadi lebih sulit.”
“Setidaknya kau harus lebih bersyukur daripada mereka yang mungkin merasa iri padamu. Ya misalnya saja aku…” ujarku berusaha menenangkan hatinya.
“Kau??”
“Kadang aku berpikir, menjadi seorang idol pasti hidup lebih mudah. Ini, itu, apa saja bisa ku miliki! Aku juga memiliki orang-orang yang menyayangiku…” ulasku mulai bercerita tentang perasaanku yang memang benar-benar merasa iri pada mereka.
“Oya???”
“Kenapa? Kau sepertinya tidak tertarik dengan ucapanku…” jawabku sambil mengerucutkan bibirku ke arahnya.
“Bukan begitu! Aku hanya ingin kau mengetahui yang sesungguhnya. Menjadi seorang idol berarti kau berjanji untuk menjaga semua privasimu, termasuk dirimu sendiri saat berada di tempat umum. Bahkan, aku juga harus menjaga image dan attitudeku di depan masyarakat yang mengenalku. Kalau saja ada sedikit cela yang mereka dapat tentangku, seketika itu juga aku akan jatuh dan semua yang ku capai takkan ada harganya lagi…” Ucapan Lee Sin membuatku merinding. Dia juga mulai menunjukkan wajahnya yang serius padaku.
Aku memandang pria itu dengan tajam. Dia memang benar, batinku. Kehidupan seorang superstar pasti sangatlah berat. Penuh persaingan, penuh kedisplinan, dan kerja keras. Namun, apapun itu kalau semuanya dikerjakan dengan ikhlas, pasti Tuhan juga akan selalu menolong kita.
“Hei, apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya sambil menyentil dahiku dengan kuat.
Aku tersentak sembari menggelengkan kepalaku. “Aniyo! Aku hanya mulai berpikir tentang keinginanku untuk menjadi seorang superstar…” jawabku sambil tertawa padanya.
Diapun ikut tertawa dan mengeluarkan handphonenya dari dalam kantong celana. Kemudian dia menatapku, “Oya, bolehkah aku meminta nomor handphonemu?”
Aku menatapnya dengan sangat lama.
"Tidak boleh ya?" tanya Lee Sin.
Aku tersadar. "Bukan... Bukan tidak boleh...."
"Lalu?"
"Apa aku tidak sedang bermimpi?"
"Mimpi?"
"Seorang idol KPOP meminta nomor handphoneku?"
Lee Sin mengangguk sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya.
Apakah ini yang dinamakan dengan keajaiban? Atau inikah bonus dari semua doa-doa yang ku panjatkan kepada Tuhan? Aku tak dapat berkata apa-apa lagi selain mengucapkan syukur di dalam hati. Tuhan sudah terlalu baik padaku hingga hari ini. Sampai aku hampir takabur dengan segala keajaiban ini.
"Aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin menjalin persahabatan denganmu. Boleh, kan?" Suara Lee Sin menggema kembali di telingaku.
Ku pandangi wajah tampan si pria Korea itu dengan sangat lama. Baiklah, ku pikir tidak ada salahnya.
Sebulan berlalu, setelah kali kedua aku bertemu dengan lelaki itu. Lee Sin. Entah apa kabarnya sekarang? Aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Yang dapat ku lakukan hanya melihatnya di layar kaca tanpa bisa bertemu langsung seperti yang sudah-sudah. Ada rindu di dalam hatiku sebenarnya. Aku ingin memandangnya secara langsung seperti waktu itu. Apakah dia sudah melupakanku? Atau ini hanya perasaanku saja. Mungkin ya. Kalau dipikir-pikir, Lee Sin adalah seorang idol sementara aku hanyalah gadis biasa yang tak mungkin sebanding dengannya. Seharusnya aku tak berkhayal seperti gadis yang ada di drama Korea yang sering ku tonton. Namun, inilah keajaiban itu. Masih jelas di ingatanku saat dia meminta nomor teleponku siang itu di taman."Ku harap kita akan bertemu kembali, Kara!" ujarnya sambil menyimpan telepon genggamnya ke dalam saku celana siang itu.Aku hanya tersenyum memandang wajah oriental sang idol. Matanya yang sipit dan akan menghilang saat tertawa membuatku tak d
Taman ini membeku. Kursi yang ku duduki juga terasa seperti es. Aku mulai menggigil. Ku lirik jam tanganku, sudah jam 8 lewat 10 menit. Aku mulai cemas. Apakah Lee Sin lupa dengan janjinya atau dia sedang sibuk sekarang? Atau… Ah... Aku bisa mati kedinginan di sini, kalau dalam waktu 5 menit lagi dia tidak datang juga. Coat yang ku pakai sepertinya tak bisa menghangatkan badanku karena dinginnya semakin menembus tulang. Ini memang sedang musim dingin di Korea. Kenapa aku percaya saja pada pria Korea itu? Kenapa aku mengikuti ajakannya? Kenapa aku sampai segila ini menembus dinginnya malam Korea hanya untuk bertemu dengannya? Ah, sepertinya aku sama gilanya seperti Mi Hee sekarang. Ini semua karena Lee Sin.“Mianhae…” Sebuah suara datang dari arah belakang.Aku membalikkan tubuh ke belakang. Dia memakai jaket bertopi berwarna biru tua dan kacamata hitam yang legam.Sambil tersenyum, Lee Sin meletakkan coatnya ke tubuhku. “Kau sudah
"Hyung..." Suara Lee Sin terasa berat.Gyo Joon memandangnya sebentar dan fokus kembali pada layar yang berada di hadapannya."Menurutmu, apakah mungkin kita bisa menjalin hubungan dengan seseorang?" tanya Lee Sin dan mendekati Joon yang sedang bermain game di ruang tamu malam itu."Kau menyukai seseorang? Siapa? Gae Na? Gyu Won?" Joon terkejut m3ndengar pertanyaan juniornya itu"Aniyo! Bukan mereka." Lee Sin menggeleng dengan cepat."Lalu siapa?""Hanya seorang gadis biasa.""Memangnya kau bukan orang biasa?" balas Joon tanpa melihat Sin sedikitpun. Dia masih sibuk dengan game online di laptopnya. Ya, hidup Joon hanya ditemani dengan game yang dapat membuatnya lebih tenang setelah mengadakan beberapa music tour bersama SNine.Lee Sin menggaruk kepalanya sambil menunjukkan wajah yang sedikit bingung dengan jawaban Joon. Sepertinya in
Sebulan telah berlalu. Setelah kejadian itu, aku tak pernah mendengar kabar apapun lagi darinya. Sampai aku melihat sebuah acara Weekly Idol di TV tentang mereka, tentang SNine yang sempat menjadi bunga tidurku sepanjang malam."Kau tidak ingin duduk bersamaku di sini?" tanya Mi Hee dan melemparkan sebuah bantal kursi padaku. Dia tersenyum sambil melambaikan tangannya.Aku menggeleng. Perasaanku sudah berubah sejak Lee Sin tak lagi pernah menghubungiku."Kenapa?" Dahi Mi Hee mengerut."Aku sedang tidak enak badan," jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya."Kau tidak ingin melihat SNine? Kau yakin?" tanyanya lagi seakan tidak percaya dengan jawabanku.Aku menggeleng lagi dengan cepat."Kau aneh! Biasanya kau paling rajin menatap mereka seharian di sini. Ya sudah, kalau begitu." Mi Hee memalingkan wajahnya dariku.Aku duduk di meja makan sambil mengupas sebuah apel merah yang ada di atasnya."Kara, lihatlah! Itu
Eodiyeo?Aku meraih ponselku sambil meregangkan tangan yang terasa sakit karena sedari pagi aku terus bergelut dengan tugas dari Profesor Hyuna. Aku tidak tahu bahwa ternyata Pshycology itu merumitkan. Hampir saja aku merasa putus asa saat mulai mengerjakan tugas itu satu persatu. Antara sadar atau tidak, aku melotot memandang layar ponselku. Lee Sin? Benarkah ini pesan darinya? Sontak saja aku melompat dari kasur dan terduduk manis di depan meja rias. Senyumku mengembang seketika. Aku masih terus memandang namanya yang terpampang di layar. Entahlah, aku sudah seperti orang gila setiap berhadapan dengan pria Korea yang tampan ini. Sambil tersenyum lebar, aku mulai mengetik balasan pesan untuknya. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Rasa rindu sudah memuncah dalam jiwaku, seperti meronta-ronta menginginkan kehadiran Lee Sin secepatnya. Aneh memang, tetapi itulah yang ku rasakan.Aku di rumah. Memangnya ada apa?
Tempat ini ramai sekali. Banyak remaja Korea yang sedang hilir mudik di hadapanku sekarang. Mungkin mereka juga sedang menunggu kedatangan sang idola tepat di pintu masuk gedung, sama sepertiku dan Mi Hee. Suara lengkingan yang tak henti-hentinya terdengar dari setiap sudut gedung membuatku ingin mundur saja dan pulang ke rumah. Mereka sangat histeris menyambut SNine. Mungkin lebih baik aku tidur manis di atas kasur sambil membayangkan Lee Sin dengan indah. Ah, dalam keadaan seperti ini masih sempatnya aku melamunkan yang tidak-tidak. Kehisterisan merekapun mulai menjadi-jadi. Berkali-kali nama Lee Sin mendayu syahdu di telingaku. Rasanya cemburu di dalam hati begitu kuat saat gadis-gadis centil ini memanggil namanya. Apa yang ku pikirkan sekarang? Lee Sin bukan hanya milikku. Dia adalah milik para penggemarnya karena dengan adanya dukungan dari mereka untuk Sin, itu akan membuat Sin meraih kesuksesannya dengan mudah.Tak berapa lama, pintu masuk gedung pun terbuka. Semua pen
Aku masih bingung dengan semua yang sedang terjadi di sini.Mi Hee juga menatapku dengan tajam sembari berbisik pelan, “Ini ada apa?”“Aku juga tidak mengerti…” bisikku sambil menggeleng ke arahnya."Tetapi tidak apa-apa juga. Aku senang bisa melihat mereka dari dekat. Kau juga, kan?” tanya Mi Hee membalas bisikanku sambil tertawa kecil.Akhirnya satu persatu dari member SNine keluar dari sebuah ruangan. Mereka menghampiriku dan Mi Hee sambil tersenyum. Kelima superstar itu berjalan menuju kami yang masih saja tak percaya dengan semua ini. Aku mencari wajah Lee Sin diantara wajah pria-pria tampan ini. Dia berada di belakang seorang. Entahlah, aku tak mengenalnya.Tiba-tiba Ahn Jae langsung mendekati Mi Hee. Pria itu membawa seikat bunga dan memberikannya pada Mi Hee. “Apakah kau yang bernama Mi Hee?” tanyanya dengan suara yang amat lembut.“N-Nae…” Suara Mi Hee terdengar ber
Hari ini aku dan Mi Hee akan pergi ke Supermarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Cuaca sudah memasuki musim dingin. Ku putuskan untuk memakai coat berwarna pink pemberian Lee Sin di hari ulang tahunku. Setelah memakai jas itu, rasanya kepercayaan diriku kembali lagi. Aku berputar-putar di cermin sambil sesekali tersenyum bahagia menatap diriku yang terlihat manis memakai coat ini. Ini memang sudah lama ku idam-idamkan."Waeyo?" tanya Mi Hee yang tiba-tiba saja masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintunya terlebih dulu."YAA, kenapa kau tidak mengetuk pintunya dulu?""Aku sudah mengetuk pintunya, tetapi kau sama sekali tidak menyahut. Ya sudah, aku masuk saja!" seru Mi Hee sembari merebahkan tubuhnya ke atas kasur.Aku meliriknya tanpa berkata apa-apa."Kau baru membelinya?" tanya Mi Hee sambil menunjuk coat yang sedang ku pakai.Aku menggeleng. "Aniyo! Ini kado dari L