Pembicaraan Qiara dan Bu Jamilah tertahan karena terdengar suara deru mobil milik Zaydan yang memasuki halaman rumah. Perempuan berbadan dua itupun segera berlari menuju pintu utama karena dia tahu Zaydan sudah pulang dari kampus.
"Sayang, kamu kok sudah pulang?" Qiara bertanya kepada Zaydan dengan tatapan heran saat melihat suaminya itu sudah pulang kampus padahal baru saja sekitar 2 jam yang lalu dia berangkat.
"Mas baru tahu kalau ternyata hari ini sedang ada kegiatan lain di kampus, dan Mas rasa Mas tidak perlu ikut kegiatan itu." Zaydan mencium pucuk kepala Kiara dan langsung mengerutkan pening saat melihat kehadiran Bu Jamilah di dalam rumahnya.
"Ibu jualan kue ke arah sini?" Alis Zaydan saling tertaut karena biasanya Bu Jamilah ditemui oleh Zaidan jika mereka sedang berada di Kota muara Bulian.
"Iya, Nak. Kebetulan ibu numpang salat Dhuha sekalian di sini," sahut Bu Jamilah dengan terbata-bata karena dia khawatir jika Zaydan tidak menyukai kehadirannya di sana.
"Nggak apa-apa, Bu. Saya malah senang banget kalau ibu mau sering-sering berjualan kue ke sini dan salat Dhuha di rumah saya untuk menemani Qiara sekalian." Zaydan menyahut dengan senyum mengembang.
"Insya Allah ibu akan selalu datang ke sini kalau berjualan kue," sahut Bu Jamilah.
"Kuenya enak banget, Bu. Terima kasih karena selalu memberikan bonus kepada Qiara." Zaydan menatap lekat-lekat manik mata tua Bu Jamilah.
Bu Jamilah menatap Zaydan dengan sendu. Denting air jatuh di pelupuk matanya.
Zaydan yang terkejut melihat ekspresi wajah Bu Jamilah mengambil sapu tangan di saku celananya, lalu menghapus air mata Bu Jamilah dengan lembut.
"Ibu kenapa terlihat bersedih?" Zaydan memberikan sapu tangan itu pada Bu Jamilah.
"Nggak apa-apa, Nak. Ibu hanya rindu pada anak ibu," sahut Bu Jamilah.
"Dimana anak ibu?" Zaydan menatap lekat-lekat manik mata Bu Jamilah yang memandangnya dengan wajah duka.
Bu Jamilah membalas tatapan mata Zaydan lekat-lekat. Ia memandangi wajah tampan lelaki yang telah dilahirkannya dua puluh lima tahun yang lalu. Bayi tampan yang memancarkan aura kecerdasan diberinya nama Zaydan Abidzhar.
Setiap wanita pasti menginginkan bayinya selalu berada di dalam pelukan setelah terlahir ke dunia. Begitupun dengan Bu Jamilah. Ia teramat sangat mencintai baby Zaydan yang begitu lucu dan menjadi pelipur lara.
Namun sejak peristiwa hari itu. Saat suami yang menghidupinya meninggal dunia oleh kecelakaan saat mencari nafkah, Bu Jamilah begitu terguncang hebat. Suaminya yang merupakan sopir angkot di Merangin mengalami kecelakaan tunggal. Polisi mengidentifikasi kejadian itu di karenakan suaminya mengantuk atau terlalu lelah.
Bu Jamilah berusaha bekerja untuk menghidupi baby Zaydan, tapi lagi-lagi, nasib naas kembali menimpanya.
Tiba-tiba saja dagangan kue yang dijual oleh Bu Jamilah membuat anak-anak keracunan dan Bu Jamilah dituduh pelanggan memasukkan racun di dalam kue tersebut sehingga Bu Jamilah di bawa ke kantor polisi dan di tetapkan sebagai tersangka.
Menyadari dirinya yang tak akan bisa lagi menghidupi bayinya, Bu Jamilah meminta izin pada pihak kepolisian untuk membawa Baby Zaydan ke panti asuhan Umi Zahra.
Bu Jamilah didampingi oleh seorang polwan agar tidak melarikan diri.
Awalnya polwan tersebut hendak mengambil Zaydan menjadi anaknya, tapi karena Bu Jamilah tahu polwan itu non muslim, dia menolak dengan alasan ingin anaknya menjadi tokoh agama Islam seperti keinginan suaminya.
Polwan itu berbaik hati dan menemani Bu Jamilah saat menitipkan Zaydan di panti asuhan tanpa meninggalkan identitasnya.
Bu Jamilah hanya meninggalkan sebuah tasbih di dalam keranjang bayi Zaydan beserta sebuah kertas bertuliskan "Zaydan Abidzhar, kelak kamu akan menjadi tokoh agama yang berada di jalan Allah. Aamiin."
"Bu ... Anak ibu dimana?" Zaydan menyeka air mata Bu Jamilah.
"Anak ibu meninggal?"
Bu Jamilah menggeleng.
"Boleh ibu peluk kamu, Nak?" Bibir tua itu bergetar hebat seiring air mata yang terus mengalir deras.
"Boleh, Bu. Kemarilah." Zaydan merengkuh tubuh tua yang menangis terisak ke dalam dekapannya.
Cukup lama Bu Jamilah menangis tersedu. Ia merasakan kebahagiaan karena akhirnya mendapatkan pelukan hangat putra kandung yang teramat sangat dirindukannya.
"Katakan padaku. Di mana anak ibu sekarang? Aku akan menemani Ibu menemuinya." Zaydan mengurai pelukannya.
"Iya, Bu. Ceritakan kepada kami di mana keberadaan anak ibu. Kami akan membantu mencari keberadaannya. Jika memang anak ibu tidak menginginkan kehadiran ibu, maka kami akan membantu mengingatkannya." Qiara duduk di samping Zaydan dan ibu Jamilah.
Bu Jamilah menggeleng pelan. Ia tidak ingin Zaydan dan keluarga Qiara mengetahui tentang jati dirinya. Bu Jamilah yakin, Zaydan tidak menginginkan kehadiran nya karena saat ini dia telah berbahagia.
Bu Jamilah sebenarnya telah lama keluar dari penjara. Hanya saja ia masih berupaya menyambung hidup karena tak mungkin kembali ke Merangin, tempat asalnya. Orang-orang di sana pasti akan mengusirnya saat ia datang kembali.
Sempat Bu Jamilah mendatangi panti asuhan dimana ia menitipkan baby Zaydan, tapi hatinya kecewa saat tahu panti asuhan itu telah pindah ke Batang Hari.
Bu Jamilah tidak mengetahui cara mencari panti asuhan tersebut hingga akhirnya ia Luntang Lantung di jalanan. Namun, sepertinya nasib baik berpihak padanya. Saat ia sedang kelaparan di jalanan, seorang anak kecil menghampirinya dan meminta ayahnya untuk memberikan Bu Jamilah makanan.
Bu Jamilah yang memang kelaparan karena telah beberapa hari perutnya tidak diisi dengan nasi segera menyantap makanan itu hingga habis. Keluarga kaya yang memberinya makan menawarkan Bu Jamilah untuk menjadi baby sitter bayi Mereka.
Betapa bahagianya hati Bu Jamilah saat mendapat tawaran tersebut. Ia pun menyetujui dan akhirnya ikut keluarga kaya itu ke Batang hari.
Keluarga Pak Budi yang mengambil Bu Jamilah sebagai baby sitter adalah keluarga terpandang yang menjadi donatur tetap sebuah panti asuhan. Hari itu Bu Jamilah diajak serta membawa bayi Pak Budi mendatangi panti asuhan seperti yang biasa mereka lakukan.
Bu Jamilah terkejut saat melihat perempuan yang menyambut Pak Budi adalah Umi Zahra. Bu Jamilah masih ingat betul saat ia meletakkan Zaydan di teras panti asuhan, Umi Zahra keluar di malam hari bersama asistennya untuk mengambil Zaydan yang diletakkan di bawah lampu.
Wajah Umi Zahra tidak berubah, masih cantik seperti 20 tahun yang lalu. Hal itu membuat Bu Jamilah yakin bahwa putranya pasti berada di panti asuhan tersebut.
"Saya boleh bertanya, Bu. Apakah semua anak panti asuhan ini akan tinggal di sini hingga dewasa?" Suatu ketika Bu Jamilah bertanya kepada Umi Zahra saat Pak Budi dan istrinya sedang membagikan mainan kepada anak panti asuhan.
"Tidak juga, Bu. Kebanyakan dari mereka ada yang diadopsi oleh orang lain. Tapi ada juga yang tetap berada di sini hingga dewasa," sahut Umi Zahra.
Rasa takut merajai hati Bu Jamilah. Ia takut Zaydannya diadopsi orang lain dan ia tidak tahu ke mana harus mencari putra kesayangannya itu.
"Boleh saya melihat anak-anak yang berada di panti asuhan ini, Bu?" tanya Bu Jamilah lagi.
"Silahkan, Bu. Semua potret anak-anak panti ada di sebuah mading, Tapi kami tidak meletakkan data anak tersebut di sana. Kami hanya menjelaskan sejak tahun berapa sampai tahun berapa Mereka ada di sini." Umi Zahra menunjuk sebuah mading berukuran besar di sebuah dinding di aula panti asuhan.
Dengan semangat Bu Jamilah melihat satu persatu foto yang berada di deretan majalah dinding. Jantungnya seakan berdetak lebih kencang saat melihat sebuah urutan nama terakhir bertuliskan Zaydan Abidzhar. Ia tidak menyangka putra yang dulu dilahirkannya tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan rupawan dengan rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
Wajah Zaydan sangat mirip dengan ayahnya. Hidung, mata, bibir, semuanya seperti fotocopy dari Zulfikar, suaminya.
"Subhanallah, Nak. Sungguh agung kuasa pencipta-Mu." Air mata Bu Jamilah berlomba-lomba jatuh menganak sungai.
Perempuan paruh baya itu melihat tahun Zaydan keluar dari panti asuhan.
Buru-buru Bu Jamilah bertanya pada Umi Zahra tentang keberadaan Zaydan.
"Zaydan Abidzhar adalah kebanggaan kami di panti asuhan. Dia mulai masuk pesantren ternama setelah lulus sekolah dasar. Saat saya menceritakan padanya tentang tokoh agama yang hebat, Zaydan bertekad untuk mempelajarinya." Umi Zahra tersenyum bangga.
"Sekarang dia sedang kuliah di Kairo. Dia mendapatkan beasiswa," tambah Umi Zahra lagi.
"Kairo? Keren sekali." Bu Jamilah menutup mulutnya dengan rapat.
"Alhamdulillah, Bu. Zaydan adalah kebanggaan kami." Perkataan Umi Zahra membuat patah semangat Bu Jamilah untuk bertemu dengan Zaydan dan mengungkapkan jati dirinya sebagai ibu kandung.
Sejak saat itu, Bu Jamilah selalu berharap Pak Budi membawanya serta berkunjung ke panti asuhan, meskipun tak ada Zaydan di sana. Ia cukup Bahagia setiap kali Umi Zahra bercerita tentang Zaydan dan prestasinya.
Zaydan menggenggam erat tangan Bu Jamilah dengan senyum mengembang. "Bu, mari saya temani mencari anak ibu."
Zaydan dan Qiara sedikit merasa kecewa karena Bu Jamilah tidak ingin menceritakan tentang anaknya. Perempuan paruh baya itu malah mengatakan dia lebih bahagia melihat kebahagiaan Zaydan dan Qiara daripada memikirkan untuk mencari anaknya. "Kasihan banget Bu Jamilah. Mungkin dia sudah tidak menemukan jejak anaknya lagi makanya dia berputus asa." Qiara mengusap punggung Zaydan saat lelaki itu menatap kepergian Bu Jamilah.Zaydan yang tidak jadi berangkat ke kampus memutuskan untuk menemani istrinya sepanjang hari di rumah karena memang beberapa hari terakhir lelaki itu disibukkan dengan pekerjaan di kampus. Zaydan mengajak Qiara duduk di saung di samping rumah mereka yang mana ada banyak ikan koi yang begitu senang setiap kali Qiara dan Zaydan menyerahkan makanan. Qiara berbaring di pangkuan Zaydan yang membelai rambutnya dengan lembut."Sayang, Mas sangat berharap kalau nanti bayi di dalam kandunganmu ini adalah bayi kembar. Mas ingin melihat mereka bermain bersama di halaman rumah d
"Iyalah, Mas. Aku kan cengeng, bisa jadi anak kita nanti juga cengeng seperti ibunya. Bukankah biasanya kepribadian anak itu menurun dari ibunya?" Qiara menatap Zaydan lekat-lekat.Zaydan terkekeh mendengar perkataan Qiara. Lelaki itu kembali meremas jari jemari istrinya dengan lembut, lalu mengecup telapak tangan Qiara penuh kasih."Sayang, karakter seorang bayi dibentuk oleh ibunya ketika masih di dalam kandungan. Bayi yang cengeng biasanya berasal dari seorang ibu yang sering menangis ketika sedang mengandung." Zaydan berujar tanpa berhenti mengecupi telapak tangan Qiara."Berarti ketika mengandung aku, ibuku sering menangis dong?" Qiara menatap Zaydan seakan meminta penjelasan.Zaydan merasa terjebak oleh perkataannya sendiri. Dia sedikit mengerti melihat ekspresi Qiara yang tidak biasa."Bisa jadi, Sayang. Bisa jadi ibu selalu menangis karena khawatir kehilangan kamu sebagai bayi kesekian yang dikandungnya," sahut Zaydan."Beneran? Bukan karena Ayah yang menyakitinya?" Qiara meng
Acara tasyakuran 4 bulan kehamilan Qiara berjalan dengan lancar. Para undangan hampir semuanya datang termasuk teman-teman Kiara dan Zaydan. Sahabat-sahabat Pak Bustomi pun berdatangan ikut mendoakan Qiara dan bayi yang berada di dalam kandungannya. "Bagaimana keadaanmu?" Qiara bertanya kepada Emil, sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Emil baru saja mengalami sebuah peristiwa yang menyedihkan karena dia harus kehilangan bayi yang berada di dalam kandungannya akibat keguguran karena dia disekap oleh suaminya. Emil pun menggunggat cerai suaminya itu karena dia sudah tidak ingin lagi disiksa oleh suaminya yang merupakan preman pasar. "Alhamdulillah keadaanku baik. Aku meminta bantuan pengacara untuk mengurus proses perceraianku dengan Mas Arman," sahut Emil malu. Qiara benar-benar merasa bahagia karena dia memiliki seorang suami yang teramat sangat mencintainya meskipun pernikahan mereka dijodohkan oleh ayahnya dan Umi Zahra. Sedangkan Emil sendiri, menikah atas dasa
"Masa lalu apa yang membuat ibu takut sehingga tidak mau mengakui status ibu yang sebenarnya?" Qiara memegang bahu Bu Jamilah agar ibu mertuanya itu mengerti bagaimana besarnya cinta Zaydan padanya. Bu Jamilah pun menceritakan kepada Qiara tentang masa lalunya dan meminta Qiara untuk merahasiakan tentang jati dirinya pada Zaydan. "Nggak, Bu. Aku nggak bisa merahasiakan ini dari Mas Zaydan. Bagaimana pun juga Mas Zaydan harus tahu." Qiara menggeleng tidak setuju. "Ibu hanya tidak mau Zaydan nanti akan mencari tahu siapa sebenarnya yang telah menjebak ibu, dan membuat kami terpisah. Ibu tidak ingin Zaydan mengorbankan keluarga kalian demi menyelidiki masa lalu itu." Qiara terbelalak mendengar ucapan Bu Jamilah. "Bu, Mas Zaydan pasti tahu yang terbaik untuk Ibu. Pokoknya Qiara akan kasih tahu dia tentang jati diri ibu." "Baiklah kalau begitu, ibu akan pergi dari kehidupan kalian." Bu Jamilah hendak pergi. "Bu ...." "Ibu hanya memintamu membiarkan Ibu dekat dengan Zaydan tanpa haru
"Zay, kamu ada niat poligami?" Ammar bertanya kepada Zaydan membuat Zaydan yang tengah meneguk teh hangat tersedak."Poligami? Apaan sih? Ya nggaklah." Zaydan menepuk bahu Ammar."Habisnya perhatian Bu Jamilah berlebihan banget ke kamu. Masa dia sampai rapiin rambut kamu kayak gitu?" Ammar menatap Zaydan intens.Zaydan menghela napas berat. Dia pun sebenarnya agak keberatan dengan sikap Bu Jamilah yang terlalu perhatian padanya, tapi Qiara terus memaksa agar Zaydan tidak memarahi Bu Jamilah yang perhatian padanya dengan alasan kasihan pada Bu Jamilah yang merindukan anaknya.Zaydan mengalihkan pandangannya pada kupu-kupu yang berterbangan di antara bunga berwarna-warni warni sejenak, lalu membalas intens tatapan Ammar. "Aku nggak tahu, Qiara memintaku untuk tidak menolak perhatian dari Bu Jamilah," ujar Zaydan."Qiara yang meminta? Aneh banget." Ammar memandang ke arah halaman rumah di mana Qiara dan Bu Jamilah sedang asik berjalan di atas rumput Jepang yang sengaja disiapkan Zaydan u
"Mas kok ngomong gitu sih? Aku nggak ada niat gitu kok, Mas." Qiara terbelalak mendengar perkataan Zaydan dan menatap tajam ada suaminya yang terlihat cemburu."Emang kenyataannya kayak gitu, kan? Kamu tuh sekarang udah beda banget. Dulu kamu selalu pengen dipeluk sama Mas. Kamu selalu pengen melewati waktu untuk bermesraan di rumah. Bahkan kamu menunggu waktu Mas libur di kampus karena nggak mau kalau sampai kita berjauhan. Sekarang? Kayaknya posisi Mas udah digantikan Bu Jamilah." Zaydan hendak masuk ke dalam kamar karena dia merasa tidak ada yang perlu mereka bicarakan di luar.Qiara hendak masuk ke dalam kamar. "Mas, dengerin aku dulu, dong." Namun pintu kamar tertutup rapat dan Zaydan menguncinya dari dalam.Qiara hanya mampu menghela napas panjang melihat sikap Zaydan yang tiba-tiba marah kepadanya. Bisa perempuan itu rasakan Bagaimana marahnya Zaydan melihat sikap Qiara yang memang akhir-akhir ini jauh lebih mengedepankan Bu Jamilah daripada mengedepankan kemesraan mereka berdu
Lagi-lagi Zaydan dan Qiara akhirnya saling diam karena mereka masih disibukkan dengan keegoisan masing-masing. Zaydan tetap pada pendiriannya bahwa dia tidak ingin rumah tangganya terus-terusan dihadiri oleh Bu Jamilah karena dia memang sudah terbiasa terus bermesraan dengan Qiara. Lelaki itu merasa keberatan melihat sikap Qiara yang dulu selalu ingin bersamanya, tapi akhir-akhir ini sedikit menghindar hanya karena tidak enak dengan Bu Jamilah.Sedangkan Qiara sendiri juga tetap pada pendiriannya. Dia tidak ingin menyakiti hati Bu Jamilah Dengan mengatakan kepada perempuan yang ingin selalu berada di samping anaknya, bahwa Qiara dan Zaydan keberatan dengan kehadirannya."Mas hanya kecewa melihat sikapmu akhir-akhir ini. Mas merasa memiliki istri yang kepribadiannya jauh lebih berbeda dari dahulu. Mas sangat merindukan istri Mas yang setiap saat selalu merindukan pelukan suaminya." Zaydan kemudian keluar dari kamar untuk menenangkan hatinya dan lelaki itu pun akhirnya mengambil remote
Qiara yang mendengar ucapan Zaydan langsung mengerucutkan bibir. Perempuan itu sedikit menjauhkan kepala Zaydan dengan cara menarik kepala itu dengan lengannya.Namun ternyata Apa yang dia lakukan malah membuat Zaydan menempel di dadanya sehingga Zaydan langsung melakukan kecupan di dadanya, sehingga Qiara tidak bisa menghindari sengatan listrik yang mengaliri tubuhnya dikarenakan Zaydan mencumbunya dengan penuh cinta."Mas, ini udah sore loh. Sebentar lagi juga matahari mau tenggelam." Qiara berkata dengan lembut kepada Zaydan karena dia tahu arah ke mana Zaydan akan membawanya sesaat lagi."Baru jam 05.00 sore, Sayang. Mau ya." Zaydan terus membujuk Qiara agar istrinya itu bersedia menerima permohonannya kali ini dengan alasan bayinya Rindu Untuk dibesuk oleh Abi nya."Kasihan lho, Sayang. Bayi kita kayaknya kangen banget sama Abi nya. Emangnya kamu nggak bisa ngerasain perasaan dia ketika kamu kangen sama Mas? Bukannya kalau kamu kangen sama Mas, kamu selalu minta dibesuk sama Mas?