Rendi semakin mempercepat langkahnya. Dia ingin memperjelas siapa yang sedang mengobrol dengan Mouza. Terus terang saja, Rendi khawatir Mouza menyukai pria lain, secara hubungan mereka belum jadi apa-apa. Dia tak mau siapapun mendekati Mouza. Posesif? tentu saja, tidak ada satu pun manusia yang mau berbagi apalagi urusan hati.
Alangkah terkejutnya dia melihat siapa yang sekarang bersama Mouza.
Marko? yah Marko! Marko sedang mengobrol dengan Mouza. Bahkan dia masih memakai seragam yang tadi ia pakai di kantor."Kimak!" Rendi mengumpat.
"Apa yang diinginkan pria brengsek itu sekarang?" Gigi Rendi gemurutuk menahan amarahnya. " Benar-benar cari perkara anak ini" Rendi meremas tangannya dengan sangat kuat hingga buku tangannya terlihat memutih.Seketika tatapan Mouza mengarah ke tempat Rendi berdiri. Mouza tersenyum girang dan melambaikan tangan ke arah Rendi. "Ren! kenapa kau berdiri disitu, sini! " Mouza mengibas
Rendi melajukan sepeda motornya meninggalkan kediaman Mouza. Pikirannya berputar-putar sekitar rencana busuk Marko. Dia benar-benar tak menyangka akibat dari kenakalannya harus berimbas pada orang yang dia sayangi."Marko bajingan! arrggghhh! " Rendi mengerang frustasi.Ting!1 notifikasi pesan di layar HP Rendi.[Siapkan dirimu menempuh hari esok, karena semua akan kumulai besok] pesan itu dibubuhkan tiga emotikon mencebik seperti senyum merendahkan yang khas dari pengirim pesan, siapa lagi kalau bukan Marko.Rendi menggenggam ponselnya dengan sangat kuat. Entah kemana dia harus melepaskan kekesalannya. Ponselnya berdering kembali, tanpa melihat siapa yang memanggil Rendi mengangkat telepon itu begitu saja.[Apa lag...] ucapan Rendi menggantung saat mendengar suara wanita mengucap halo.[Kau kenapa?] Suara di seberang bingung tiba-tiba di bentak.[Maaf, aku kira tadi teman]
Kepanikan luar biasa yang dirasakan Rendi membuatnya hampir saja menyeruduk truk besar, beruntung dia tak sampai mengalami kecelakaan. Dia memacu lebih kencang sepeda motor ninjanya. Hingga waktu yang seharusnya memakan waktu 45 menit di pangkas hanya 20 menit dan hampir saja menjadi korban laka lantas.Sesampainya di lokasi tempat kerja Mouza, Rendi gegas menuju warung yang disebutkan Mouza. Dia masuk ke dalam warung yang tersusun meja dan kursi berjejer rapi. Namun, tak satu dari orang yang dicarinya berada disana."Kemana kau, Za! lirih Rendi frustasi.Dia berinisiatif bertanya pada pemilik warung. Pasti dia kenal Mouza, karena warung ini sangat dekat dengan Pom bensin." Wak, mau tanya, tadi Mouza kemari?" tanya Rendi sopan pada pemilik warung."Oh, Mouza tadi ada, tapi udah pergi," jawab pemilik warung sekenanya.Rendi semakin gusar. Dia tak bisa bayangkan apa yang terjadi pada Mouza jika Marko benar-
Mereka saling terdiam, sibuk dalam pikiran masing-masing. Malu, sungkan dan entah apa lagi yang mengganggu suasana hati sehingga mereka sangat canggung.Suasana makan malam riuh, ramai karena ulah Mona yang tak bisa diam. Sekejab dia bisa sangat akrab dengan Bu Fatma. Terlihat jelas sekali Bu Fatma yang begitu penyanyang sangat sabar menghadapi adik Mouza yang sangat banyak bicara. Sebenarnya Mouza juga anak yang ramai cuma tak seperti Mona yang gampang akrab dengan siapa saja.Mouza dan Rendi menikmati makan dalam diam. Mereka hanya ikut tertawa sesekali mendengar celoteh Mona. Saat tak sengaja mata mereka bersitatap, Mouza langsung menundukkan kepalanya. Dia begitu malu mengingat kejadian di atas motor barusan. Perasaan canggung tetap menyelimuti sampai waktunya mereka pulang.Di atas Motor mereka hanya diam dan menikmati terpaan angin malam membelai wajah. Rendi bingung harus dari mana memulai agar rasa canggung itu segera berakhir. Sungguh
Kita boleh merasa sangat kuat, tapi Tuhan punya caranya untuk menunjukkan kelemahan kita. Rendi harus berada di Jambi selama 7 hari. Selama itu juga hatinya penuh kecemasan. Hampir tiap menit dia menanyakan kabar Mouza, baik dari rekan kerjanya Rizal, Rini termasuk Pak Tarigan kalau Mouza tak segera membalas pesannya. Selama itu pula Marko mendekati Mouza dengan gencar. Dia akan membuat Mouza jatuh hati dan membuangnya sama seperti yang dilakukan Rendi pada Miska. Hari ini sengaja dia mampir ke tempat kerja Mouza. Seperti biasa menjadi pelanggan di Pom bensin itu. Marko mengatakan pada Mouza ingin berbicara sesuatu pada Mouza selesai kerja nanti, Mouza menyanggupinya. Waktu pulang pun tiba, gegas Mouza menuju tempat parkir dan ingin segera menemui Marko. Bukan tentang pertemuannya dengan Marko yang penting, tapi Mouza penasaran apa yang ingin disampaikan Marko kepadanya. Dari belakang Rini mengejar Mouza, Rendi telah berpesan p
Rini mengangkat bahunya acuh. Seketika warna ceria pada wajah Marko berubah gelap. "Rin, bukannya kau sahabatnya? Kok gitu sih kau?" Wajah Rendi begitu memelas. Rini hanya diam tak berniat menjelaskan sesuatu. Ada suatu hal yang dia ketahui tentang Miska, tapi dia merasa tidak perlu memberi tahu lelaki yang juga tak pernah memandangnya. Ada sakit hati yang terluka dalam karena Marko. Bukan tentang cinta yang tak bersambut, tetapi, bagaimana Marko tak pernah menghargai usahanya untuk mendekatinya. Miska bahkan rela tidak jajan beberapa bulan hanya untuk membelikan sepatu impian Marko, rela bekerja seharian di pasar hanya untuk mewujudkan impian Marko memiliki benda itu. Dia bertekad menghadiahkan sepatu itu pada hari ulang tahun Marko. Kala itu mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Tepat di hari ulang tahun Marko yang ke 16 tahun, dari hasil jerih payahnya, Rini menghadiahkan sepatu yang memiliki nama bran
"Rini?" "Marko?" "Kau?" Keduanya saling bersitatap heran. Rini tak menyangka dia akan melihat Marko disini. "Kau? kau Miska 'kan?" tanya Marko pada perempuan di samping Rini tanpa basa-basi. "Bu.. emm.. " "Miska apa ka... " Tiba-tiba lelaki yang tadi keluar dari rumah tempat mereka berdiri kembali. "Ada apa ini?" suara bariton itu menghentikan Marko. Perempuan di samping Rini mendadak gugup. Dengan sigap Rini mengerti akan kondisi yang kurang kondusif. " Maaf, Bang! mereka ini kawanku." ucap Rini berbohong tanpa menunjukkan wajah ragu. Rini menarik tangan Marko menjauh dari tempat itu. "Dari mana kau tau tempat ini?" tanya Rini dengan wajah curiga. "Em ... itu, aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu," jawab Marko berbohong. Mata Rini memandang Marko tak percaya. "Betulan, aku cuma kebetulan Lewat."
Rendi bersendawa keras."Oih, kenyang." Rendi mengelus perutnya yang terlihat membuncit akibat makan tadi."kenyang itu ngucap syukur, bukan kek gitu," kata Mouza sambil menarik piring kotor dari depan Rendi. Rendi hanya cengengesan menanggapi omongan Mouza."Istirahat dulu sana, biar lebih segar besok," kata Mouza menghempaskan bobotnya di samping Rendi.Rendi menggeleng tak mau. Dia masih ingin memandang wajah yang seminggu ini dirinduinya."Tapi, kau memang harus pulang, aku mau kerja," tandas Mouza tegas."Aku antar. "Mouza hanya bisa pasrah menuruti. keinginan Rendi, karena ditolak bagaimana pun, Rendi akan tetap ngotot. Setelah mengantar Mouza, Rendi pun kembali ke rumah menuntaskan kantuk yang kembali menderanya. Rencananya dia hanya tidur beberapa jam saja, tapi, kenyataannya dia sudah tidur hingga hampir tengah malam.Suara dering ponselnya mengagetkannya. Diraih benda pipih i
Rendi menggeleng keras. Dia tidak biasa bayangkan, baru tadi siang dia bertemu Mouza, lalu, sekarang Mouza entah dimana. Sejak tadi adik Mouza menghubunginya meminta kepastian dari kabar pencarian kakaknya, semua masih belum menemukan titik terang."Ren, aku mau tanya, tolong kau jujur samaku, apa masalahmu dengan Marko?" Rini bertanya dengan nada serius.Rendi terdiam, dia tak tau harus jujur pada Rini atau tidak, yang jelas ini adalah hal terburuk yang ia lakukan sepanjang hidupnya."Ren, kita akan temukan jalan keluarnya kalau kau jujur, Marko itu teman kecilku, aku bisa bantu kau kalau kau bisa jujur," ucap Rini tegas.Rendi menarik nafas dalam, dia tak sanggup mengingat kejadian buruk menimpa Miska karena ketidak prikemanusiaannya. Entah dimana Miska sekarang. Dia memang pantas menerima ganjaran yang setimpal atas perlakuannya, tetapi bukan kepada Mouza.Dia berbalik menatap Rini, di bawah cahaya remang jala