Entah sudah keberapa kali Vincent mengalami hal ini. Namun intinya, baru kali ini jantungnya terasa bertalu. Ia bisa saja mendobrak ruangan di depannya dan memaksa mereka mengizinkannya menemani Jane. Namun logikanya masih bermain dengan baik. Jangan sampai yang ia lakukan malah merusak segalanya. Tangannya meremas rambutnya menjadi lebih berantakan. Tepukan pelan di pundak membuatnya menoleh, mendapati Jeremy yang menatapnya prihatin. Temannya itu tak mengatakan apapun namun tatapannya sudah menunjukkan semuanya. Ujung mata Vincent melirik Jasmine yang dalam rengkuhan kekasihnya, wanita itu terlihat sangat lemas lantaran terlalu lama menangis. Dua jam lalu, saat Jeremy menghubungi Jasmine dan saat itu bertepatan dengan Jane yang tengah ada dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kedatangannya dan Jeremy ke rumah sakit, mereka langsung disambut tangisan Jasmine. Wajahnya terlihat sangat berantakan dan pakaiannya penuh dengan noda darah, sementara pria muda yang baru Vincent ketahu
Jane terbangun pada jam setengah satu siang. Dengan pandangan memburam, mengedar dan tatapannya hanya tertuju pada bola lampu yang ada di atas plafon. Tak terasa ujung matanya secara tiba-tiba basah ketika mengingat apa yang terjadi. Menghela nafas pelan ketika untuk yang kesekian kali, percobaan bunuh dirinya gagal kembali. Ya, Jane pernah melakukan hal semacam itu beberapa kali. Masa lalunya yang sudah getir, ia perjuangkan untuk untuk menjadi lebih baik dan layak tetap berpijak di bumi. Ketika semua sudah sempurna, kedua orang tuanya kembali seakan ingin membuatnya hancur. Jane tidak tahu sebenarnya apa niat orang tuanya menemui dirinya kembali setelah dibuang dan setelah semua luka yang dirinya terima selama ini. Jane sangat ingin bertanya, namun hanya dengan menatap mereka saja tubuhnya sangat lemas. Ia seperti kembali ditarik paksa ke masa lalu, masa kelamnya. ‘Apakah semua telah berakhir?’ batinnya dengan air mata yang masih mengalir. Ingatannya kemudi kembali pada berita se
“Seseorang bersembunyi di balik berita ini,” ucap Thomas ketika ia duduk di hadapan pria muda yang nampak sekali memiliki ambisi besar untuk memiliki modelnya. Ia sempat tersenyum kecil ketika melihat bagaimana pria itu sangat posesif dan defensif saat dirinya mencium kening Jane ketika wanita itu tidur. “Ini sesuau yang biasa sebenarnya karena kami dan Jane sering menangani hal semacam ini. Kau tahu dunia hiburan memang sangat beracun dan tidak pernah menutup kemungkinan semua orang akan kena imbasnya.” “Lalu?” “Aku ingin kali ini kau yang melakukan segalanya. Aku tahu kau memiliki banyak koneksi di kota. Banyak hal yang perlu dikerjakan dan kurasa waktuku untuk membantu Jane telah selesai.” Alis kanan Vincent bertaut, memandang pria yang lebih tua itu dengan agak bingung. Awalnya ia pikir Thomas adalah sugar daddy dari Jane, namun melihat bagaimana tutur kata yang disampaikan oleh Thomas, ia berpikir jika pria itu tidak sebrengsek yang dirinya kira. Jadi ketika Thomas secara te
Vincent terlihat sangat berbeda ketika mengenakan pakaian formal. Jeremy bahkan harus beberapa kali menarik kekasihnya kembali menghadap padanya, Jasmine nampak terpesona dengan ketampanan Vincent. Rahang tegas, rambut mulet dan hidungnya yang tinggi, jangan lupakan bagaimana lengannya yang berotot terlihat segar ketika menggulung kemeja putihnya ke siku. “Bisakah kau cepat pergi?” ucap Jeremy sembari mengenakan pakaian kerjanya. Hari ini adalah pertama kalinya ia akan masuk ke tempat kerjanya yang baru, dan ia sungguh merasa jengkel lantaran Jasmine malah perhatian pada Vincent ketimbang dirinya. Tidak!! itu hanya bualan belakang pria pencemburu. Jasmine juga sangat perhatian padanya, hanya saja wanita itu sesekali melirik Vincent yang memang ikut tinggal di apartemen yang dekat dengan milik Jane. Sementara Jane, wanita itu belum keluar kamar. Ia memilih mengasingkan dirinya di kamar ketimbang pergi kemanapun. Agensi, atau lebih tepatnya Thomas juga tidak pernah memaksa wanita it
Lilibet dan Jasmine sudah pulang ke rumah masing-masing ketika Vincent sampai kembali ke apartemen Jane. Pria itu sudah berganti pakaian dengan baju santai yang biasa digunakan, kaos besar dan celana pendek coklat. Rambutnya basah dan masih ada handung melingkar di lehernya ketika ia sampai di apartemen Jane. Lilibet sempat mencibirnya aneh sebelum berlenggang pergi, berbeda dengan Jasmine yang semat terpaku sejenak. Wanita muda itu seperti tengah menikmati pemandangan malam paling indah yang pernah ia lihat di dua puluh dua tahun hidupnya. Terlebih ketika dengan senyuman kecil,Vincent mengusap rambut basahnya. Nampak hot sekali. Sayangnya momen mari mengagumi ketampanan Vincent harus hancur ketiak pria itu mencium kening Jane dan Jeremy yang datang dengan tampang kasihan. Pria itu mengeluh jika pekerjaannya berjalan lancar namun sang bos lebih kejam ketimbang bosnya yang lama, membuat Jasmine yang kasihan pada sang kekasih memilih untuk ikut menginap di apartemen tempat tingga
Jane terus menggenggam tangan Vincent yang kini duduk di sampingnya. Pandangan mereka tertuju pada dua orang yang juga berada di balik kaca. Mereka nampak berantakan dan pucat. Sejak dua menit lalu, keheningan berlalu. Tidak ada seorangpun yang memulai pembicaraan, bahkan Vincent sekalipun juga memilih bungkam. Pria itu berpikir jika ia hanya menemani dan tidak ingin mengintervensi masalah keluarga Jane. Disisi lain, sejujurnya Jane tidak memiliki sesuatu yang bisa ia katakan lantaran semuanya sudah dilupakan. Kebencian, dendam, dan kenangan tentang kedua orang tuanya sudah sejak lama ia hilangkan dari memorinya. Ia–tidak ingin bertemu dengan mereka lagi. Namun, lihat kini. Mereka bertemu tanpa kata. Meskipun sebenarnya, pertemuan itu adalah langkah awal yang diambil Jane untuk menyelesaikan segalanya. Semua hal yang pernah terjadi di masa lalunya.“Apa kabar, Jane?”“Aku tidak pernah baik,” ucap Jane dingin. Ia berusaha mempertahankan raut wajah datarnya. Tidak ingin menunjukkan
Jane menyentuh sebuah berkas yang tadi sempat diberikan Thomas. Kepalanya miring ke kanan terlihat berpikir keras ketika tahu apa yang ada dalam berkas-berkas tersebut. Sebuah laporan tentangan orang tuanya yang memang sudah lama menghilang. Banyak hal terjadi, salah satunya adalah kejahatan yang dilakukan ayahnya. Bukan sesuatu yang baik untuk ia lihat, sebenarnya. Namun Jane sudah mengantisipasinya dengan obat penenang sesuai dosis yang diberikan Lilibet. Sudut bibir Jane terangkat. Entahlah, ada banyak hal yang kini ia pikirkan sampai-sampai semuanya terasa sangat runyam. Ayah dan ibunya benar-benar menjadi penjahat.Ada banyak kasus perampokan, penculikan, dan baru-baru ini satu pembunuhan juga menimpa ayahnya. "Jika kau mengajukan data-data ini, kedua orang tuamu akan memiliki masa hukuman yang jauh lebih berat." "Lalu—bagaimana dengan Jack?" Thomas mengedikkan bahu. "Aku sudah menemuinya dan ku dengar kekasihmu juga sempat melarangnya mencoba mendekatimu. Kali ini ia han
Niat yang sudah Jane bulatkan kini kembali mendapatkan rintangan. Jane meremas tangan Vincent. Jika biasanya dirinya hanya akan berdiri di belakang Lukas, dengan Vincent, ia berdiri di samping pria yang kini nampak tenang. Bahkan ketika beberapa paparazi terus membombardir pria itu dengan pertanyaan yang sungguh memuakkan. “Jadi benar Anda meninggalkan kekasih Anda hanya untuk mengejar Jane?” tanya seorang paparazi yang masih dengan setia menyodorkan mic perekam berada dekat dengan bibir Vincent. Mereka tengah berada di pusat makanan di waktu yang hampir tengah malam. Tak banyak orang lalu lalang dan pria itu kira tidak akan ada banyak orang yang datang atau mengenali mereka. Namun ternyata dugaannya salah. Banyak paparazi yang berjalan ke arah mereka. Menyiapkan banyak pertanyaan tak masuk akal dan kadang-kadang gak nyambung sama sekali. Ujung mata Vincent melihat Jane yang juga terlihat tenang, seperti biasa, gadis itu pandai sekali mengendalikan raut wajahnya meskipun ia b