Selasa pagi terasa cerah dengan semua orang yang kembali bekerja, aroma kue dapat Jane cium ketika ia berlalu melewati kopi shop yang ada di dekat agensi. Sayangnya Jane sudah terlampau hafal jika akan ada yang merusak hari indahnya ketika kaki jenjang miliknya menapaki lobi kantor sendirian, tanpa Jasmine dan Lucas. Kepergian Vincent bersamaan dengan badai yang kembali menerpa Jane. Wanita itu menghela nafas pelan. Belum juga apa yang tengah dihadapi berlalu, ada lagi hal yang membuat ia merasa seperti narapidana mati ketika berkunjung ke agensi. Banyak pandangan yang menyesakkan tertuju padanya. Orang-orang yang dulu terlihat menghormatinya, menunjukkan sikap aslinya. Buka hal baru, pun Jane juga tak terlalu ingin peduli pada apa yang dikatakan orang lain tentang dirinya. Ada banyak hal yang yang ia lakukan dan sungguh–mendengarkan perkataan orang lain tidak akan membuat perutnya kenyang. "Bukankah sangat memalukan jika ia benar-benar mantan seorang pemain? WTF, terlebih ketika
Jane masih belum bisa mengatakan apapun pada pria yang sedari kedatangannya hanya menatapnya. Tatapannya yang tajam benar-benar membuatnya muak. Ini bahkan sudah hampir tengah malam, namun pria itu tak kunjung pergi dari ruangannya setelah pembicaraan yang tak pernah Jane inginkan sama sekali. “Kenapa harus aku?! bukankah sudah ku katakan jika aku tidak pernah ingin menjadi kekasih gelapmu?” ucap Jane dengan suara lantang. Jack terdiam. Pria itu berdiri dari posisi duduknya dan mendekat pada Jane yang berdiri membelakanginya. Pandangan wanita itu masih fokus pada bangunan-bangunan yang ada di ibu kota yang kini terlihat mirip taburan bintang. Tanpa diduga pria itu malah memeluknya. Erat. Kepala Jack menumpu di bahunya dan nafas tenang Jack membuat Jane merinding. Kepanikan itu ada padanya, namun sungguh akan lucu jika pria bajingan itu tahu kelemahannya. “Jane—aku tak pernah menginginkan pernikahan itu, bukankah kau tahu jika semuanya hanya karena bisnis. Kau tahu jika—” “Stop J
Bunyi gedebuk kecil tak membuat Jane beranjak dari tempat tidurnya, bahkan hanya untuk membuka mata pun wanita itu terlihat enggan sekali. Ia bahkan mengabaikan tirai jendela kamar yang terbuka, juga cahaya matahari yang beranjak masuk. Jane tipe wanita malas dengan rutinitas pagi normal seperti sekedar membuka jendela, oleh karena itu ketika ia merasa ada sedikit kejanggalan, barulah ia sedikit terusik. Namun tetap saja, hal itu juga tak lantas membuatnya langsung beranjak bangun dan memeriksa apa yang terjadi. Tubuhnya yang masih cukup pegal lantaran pekerjaan kemarin/ Ditambah lagi dirinya yang terlalu lama duduk di kursi. Thomas seperti sengaja membuatnya sibuk di ruangan seharian. Ia merasa jengkel, namun juga tidak bisa protes pada sang bos. Ketika alam bawah sadarnya menariknya kembali ke alam mimpi, bunyi gedebuk keras membuat Jane mengernyitkan dahi. Agak terganggu dan merasa kesal secara bersamaan karena rencana yang sudah ia pikirkan sejak semalam adalah bangun siang, t
Jasmine mendengus ketika ibunya datang ke tempat usaha miliknya. Toko roti, yang dulu ia bangun hanya sebatas iseng semata dan coba-coba kini sudah lebih ramai, ditambah dirinya yang semakin meluangkan waktu untuk ikut andil melayani pelanggan selain membuat kue. Jasmine tak ingin terlalu tertekan dengan dunia entertainment yang memang sejak lama membuatnya jengah. Keputusan yang sudah tentu hanya didukung oleh sang sahabat, nyatanya tak membuat Jasmine meyesalinya, ia malah bangga bisa membangun usaha sendiri. Bangunan toko rotinya yang berada di pojok jalan taman kota, cukup strategis dan Jasmine memang memiliki insting kuat ketika membeli bangunan yang semula rumah sewa tak terawat. Dengan dekorasi vintage dan arsitektur semi modern, membuat tokonya terlihat menarik dari luar dan dalam. Wanita itu juga tak pernah lupa berterima kasih pada sang kekasih, berkat kepiawaian memotret Jeremy, situs tokonya ramai dibahas di forum online dan berdampak pada omset penjualan rotinya.
Gambaran malam terlihat jelas dari balik jendela ruang tamu apartemen mewah itu. Bintang tidak terlihat lantaran polusi perkotaan. Namun ketimbang biasanya, malam itu cuaca serta udara tidak menyesakkan ketika siang. Bulan di ujung nampak melambai, menunjukkan dirinya ada meskipun sendirian. “Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Vincent ketika Jane duduk di sampingnya dengan segelas coklat panas dan kopi hitam untuknya. Meletakkannya di meja, sebelum melempar diri dalam pelukan hangat sang kekasih. Ya, pria yang sebenarnya memiliki tempat tinggal sendiri itu memilih untuk bermalam di apartemen Jane beberapa hari terakhir. Tangan kanannya yang tadi tengah mengetik, kini beralih meraih pinggang Jane untuk lebih mendekat padanya. Aroma bunga mawar segar langsung tercium dari area leher Jane, membuat Vincent mendekat dan mencium pundak Jane yang memang terekspose. Membuat Jane mendorong sang pria pelan. Jika tidak dihentikan, mereka akan menghabiskan semalam penuh untuk bercinta tanpa r
Jasmine hampir terantuk pintu ketika wanita itu datang dengan keadaan yang kacau. Kemeja maroon yang dikenakan nampak kusut dan rambutnya yang biasanya tergerai rapi, kini malah mirip orang yang tak pernah menggunakan sisir selama hidup. Acak-acakkan dan juga ada daun kering yang menempel. Jane yang ada di ruangan agak penasaran, hal buruk apa yang menimpa kawannya itu. Bagaimana bisa Jasmine yang perhatian dengan segala produk kecantikan dan fashionable itu terlihat buruk di siang bolong ini. Berbicara tentang siang, Jane sempat mendapatkan kabar jika sang kekasih nanti akan menjemputnya untuk makan siang bersama. Brak!! “Bajingan, harusnya aku memang tak mengizinkannya ikut proyek itu!!” teriaknya dan duduk di sofa yang memang ada di tengah ruangan Jane. Kepala Jasmine menunduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Setelahnya pundak wanita itu nampak naik turun disertai sesengguk kecil namun bisa didengar jelas. Jasmine menangis. Jane tadinya tengah sibuk dengan beberapa maja
Jane tidak pernah keluar untuk berkencan. Mungkin terdengar seperti bualan. Terlebih mereka yang kemakan oleh gosip omong kosong yang sering diedarkan oleh berita abal-abal. Penulis berita akhir-akhir ini memang amat menyukai penulisan kontroversi ketimbang prestasi dan Jane jelas tidak heran dengan itu karena masyarakat pun juga lebih menyukai mengkonsumsi berita heboh dan viral ketimbang sebuah prestasi. Jane memang sempat dekat dengan Jack, ketika mereka kuliah. Namun sebenarnya tidak benar-benar mengenal kecuali hanya sebatas tahu pria terkenal dan gadis kutu buku, Jane memang sempat tertarik namun bukan sampai benar-benar suka lantaran keberuntungan memihaknya, memberi tahu jika Jack bukanlah pria baik. Jane kini terlihat malas, dirinya juga tidak tahu apa yang harus disiapkan dan lagi—ia tidak tahu kemana Vincent akan membawanya, membuatnya bingung memakai pakaian apa yang akan cocok dengan tempat kencan mereka. “Jadi Vincent tidak mengatakan ia akan membawamu ke mana? sang
Lilibet dengan wajah tenangnya terus mendengarkan apa yang Jane ceritakan. Wanita itu memang menganjurkan Jane untuk tetap aktif berkonsultasi agar tahu progres tentang kesehatan mentalnya. Jane mengakui tentang perasaannya akhir-akhir ini. Tentang sesuatu yang membuatnya tidak nyaman dan mengganggu pikiran. Apa yang terjadi di masa lalu tentu bukan sesuatu yang bisa dikatakan mudah disembuhkan atau bahkan mustahil. Sebuah keberuntungan ia memiliki Lilibet dan Jasmine yang selalu ada di sampingnya. “Akhir-akhir ini aku hanya merasa—hampa.” Jane mungkin sudah gila ketika ia mengatakan ada perasaan hampa yang menyelimuti dirinya saat ini. Kehampaan yang terasa begitu mengganggu dan membingungkan. Khususnya tentang kehampaan yang ia rasakan dalam hubungan yang dimilikinya bersama Vincent. Sejauh ini hubungannya dengan Vincent mulus-mulus saja. Pria itu masih sangat perhatian bahkan ketika ia tengah dipadatkan dengan pekerjaan pria itu di kafe yang bahkan baru buka, juga beberapa pe