Share

Bab 4

Ketiga orang di depanku semakin merunduk begitu tahu hp yang berbunyi bukan dariku.

"Angkat saja jika penting!" Aku meminta siapa saja yang merasa hp-nya berbunyi untuk tidak berlama-lama merespons teleponnya.

“Baik Pak, maaf. Mohon izin sebentar,” dengan kikuk Sheily memberanikan diri berbicara.

Kuberi isyarat agar cepat merespons. Ternyata hanya pesan katanya. Selebihnya ia kembali kikuk dan salah tingkah. Seperti ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Barangkali ia menunggu responsku.

“Dari siapa Sheil?” Tanyaku memastikan.

Ia menujukkannya langsung tanpa banyak suara. Kubaca dan pesan itu datang dari ayah yang memang menyimpan nomornya sebagai nomor cadangan jika aku sulit dihubungi atau karena hal mendesak lainnya.

“Maaf jika kau sibuk, Ayah hanya ingin beritahu kalau besok adalah acara yang sudah kita agendakan jauh hari untuk memancing di kolam dekat danau. Sekali lagi maaf, Nak.”

Sesederhana itu yang sampai mengganggu mood baikku pagi yang seharusnya dipenuhi dengan kegembiraan karena kabar sangat baik atas peluang profit yang menggila sebagaimana yang di sampaikan barusan. Besok? Bukankah hari itu aku ada janji? Janji untuk meeting lanjutan mega proyek besar bersama Bapak Komisaris?

Bukankah selalu kutekadkan dalam hati untuk selalu memprioritaskan segala yang prioritas dan menomor kesekiankan hal lain yang kalah prioritas?

Apakah prioritas pekerjaan sudah kugadaikan dengan keluarga? Khususnya prioritas ayah. Ah! Itu kan dulu. Sekarang aku sudah dewasa. Sudah bukan anak kecil. Tak perlu diatur-atur seperti masih anak-anak dulu.

Namun tiba-tiba rasa sesal muncul mengaduk-aduk dada. Benar-benar bercampur antara senang dan sebal. Senang karena rencana realisasi mega proyek terbesar itu dan sebal karena sikap ayah yang sudah seharusnya tidak ia lakukan padaku. Hari belum genap siang dan sinar mentari masih hangat dirasakan jika berada di luar tapi masih sepagi ini moodku sudah terganggu. Dirusak oleh ayah lebih tepatnya.

Aku semakin sebal saat tiba-tiba bayangan sekelebat itu muncul. Tepatnya berhari-hari ini dimana ayah sering menanyakan dan memastikan acara memancing itu. Segera tidak kujawab karena sebagaimana kebiasaan ayah jika aku sedikit saja merespons maka runtutan kejadian berikutnya akan lebih panjang, sementara aku terlalu sibuk untuk meladeni celoteh ayah yang seperti anak kecil itu.

“Hari Minggu kau kosong kan, Nak?”

Weekend ini kau ada acara ke luar?”

“Yuk pergi ke taman kota?”

“Temenin ayah dong Nak, semenjak diterima kerja kau jadi jarang main sama Ayah.”

Atas semua ajakan dan pertanyaan itu tidak begitu kuhiraukan. Sesekali aku menjawabnya dengan mengiyakan atau bilang kalau aku sedang ada acara atau sibuk.

Ketiga bawahanku di depan sana tak berani bersuara. Bahkan mendongakpun jadi pantangan di saat seperti ini. Bertahun-tahun bersamaku agaknya mereka paham dengan sifat dan karakterku. Namun heranku kenapa ia betah dan kuat berlama-lama kerja dibawah tekananku?

Padahal seringkali aku marahi dan tegur dengan kasar jika melakukan salah. Karyawan yang lain mungkin lebih memilih hengkang. Tapi beda dengan mereka. Setia dan berdedikasi penuh terhadap pekerjaan.

Terbukti saat aku memberinya tugas dan perintah. Dalam banyak hal mereka bisa dan patut diandalkan. Terlepas dari itu semua aku pernah menanyakan alasan yang mengganjal itu. Kenapa ia masih saja mau bekerja dibawah tekananku. Jawabnya cukup sederhana, kata mereka.

Kami bisa belajar banyak dari Bapak tentang apa saja dan dimana saja soal pekerjaan.

**        **

Sepulang kerja badan dan sekujur tubuhku rasanya remuk. Seharian di kantor dan remote ke beberapa tempat untuk meeting yang meski beberapa sudah kupangkas membuat tubuhku rasanya seperti diremas-remas. Pegal sekali rasanya. Kepala mulai mendekati pusing dan mata tak sestabil biasanya. Tanda aku harus segera istirahat agar besok bisa kembali fit. Namun bagaimanapun aku paksakan untuk fokus dan stabil saat mengendarai mobil yang membawaku ke rumah ini.

Hari ini aku belum sama sekali menelepon Renata sebagaimana yang biasa aku lakukan karena masih menunggu balasan pesan suara yang sampai sekarang belum ada tanda-tandanya. Padahal sekadar mengabari keadaannya saja itu lebih dari cukup untuk membuatku tenang dan tidak berlarut-larut kepikiran. Tapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan kesempatan baik itu.

Mobil yang kukendarai memasuki pekarangan rumah. Mpok Yanti, asisten rumah tangga keluargaku membuka garasi dan mobil segera kumasukkan. Keluar dari mobil kulihat mobil bagian depan yang peok. Aku belum sempat meminta orang kantor membawanya ke bengkel tadi pagi begitu tiba, karena siangnya harus kupakai. Karena badan sudah tak nyaman dan rasa pusing sudah mulai menguasai kepala, aku bergegas ke kamar tapi begitu aku membuka pintu tiba-tiba…

Ayah menahanku di belakang pintu. Antara sebal bercampur lelah. Mulut ini rasanya ingin berteriak lebih kencang puluhan kali dari tadi pagi di telepon. Di saat bersamaan terdengar panggilan telepon yang setelah kulihat ternyata dari Renata yang seharian ini sangat kutunggu-tunggu kabar apapun darinya.

**           **

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status