Share

Bab 5

Aku melengos pergi menghindari ayah yang memintaku untuk makan malam bareng. Makanan sudah disiapkan sebelum aku sampai rumah. Aku menolak tanpa alasan dan bergegas menuju kamar tanpa persetujuannya. Ada panggilan penting yang harus segera kuangkat.

“Iya Sayang, tumben kau baru telepon. Aku menunggu seharian tahu? Sehari tak bertemu seperti setahun rasanya,” kuawali dengan kalimat menggombal dengan harapan membuatnya terbawa dan melupakan peristiwa kemarin malam.

“Maafkan aku Sayang. Kau pasti tahu aku masih sebal. Habis ayahmu sok tahu banget sih. Dan sikapnya yang seperti mengusirku membuatku sangat tersinggung. Jadi malas ke rumahmu lagi.”

“Malas? Bukankah sebelum atau setelah pernikahan kau akan ke sini lagi? Sudahlah, aku minta maaf mewakili ayah ya Sayang.”

“Baik deh, demi kamu. Meski aku gak tahu, apakah ayahmu akan mau menerimaku atau sebaliknya. Pokoknya habis nikah nanti, kita harus tinggal terpisah dari orang tuamu.”

“Tenang Sayang. Sudah kusiapkan tempat tinggal untuk kita berdua setelah menikah.”

“Ha? Benarkah.. Kok aku gak tahu? Wahhhh.. Makasih Sayang.. I love you so much.."

"SimpeL jawabannya, itu akan menjadi salah satu kejutan menjelang pernikahan kita nanti."

"Ha? Salah satu? Berarti ada lagi dong Sayang?"

"Benar cintaku. Pokoknya yang penting kamu gak ngambek dan harus bikin aku seneng."

"Wah siap deh soal itu."

Tampak sangat senang dari nadanya. Sekejap seperti terlupa atas kejadian semalam. Syukurlah. Semoga berkelanjutan hingga hubungan kami selalu baik-baik saja meski tanpa ayah merestui. Dan sebagai upaya menetralkan peristiwa semalam aku ingin mencairkan suasana dengan mengajaknya dinner besok malam selepas kerja. Renata bilang akan mengabari kepastiannya besok pagi. 

**        **

Esok paginya aku bangun lebih awal. Aku tidak mau kecolongan lagi seperti kemarin. Jam beker kupastikan menyala sesuai dengan setting-an tadi malam setelah bertelepon dengan pujaan hatiku, Renata. Sebagaimana biasanya, sebelum berangkat kerja aku melakukan rutinitas pagi. Olahraga pagi sebentar sekadar meremajakan otot dan sekujur badan agar tidak tegang. Kemudian aku mandi, berberes lalu sarapan dan bersiap berangkat.

Pagi ini aku masih punya cukup waktu untuk sarapan. Aku bergegas menuju ruang makan yang ternyata di sana ayah sudah menunggu. Aku urungkan niatku untuk sarapan. Peristiwa kemarin malam bersama Renata masih membekas di hati dan membuatku sebal. Aku berbalik arah ke kamar dan memutuskan untuk langsung berangkat saja demi menghindari bertemu dengan ayah.

Tas kerja kuraih sebelum kupastikan berkas-berkas tidak ada yang tertinggal. Sekali lagi berkaca di depan cermin berukuran besar untuk memastikan penampilanku yang sudah rapi. Mumpung masih ada waktu, aku berkirim pesan ke Renata sekadar mengabarkan rencana ketemuan sekalian dinner usai pulang kantor. Pesan kukirim dan masih centang satu. Mungkin hp belum dinyalakan.

Usai berkirim pesan dengan kekasihku Renata, aku bergegas ke luar kamar dan berpamitan ke ibu lalu berangkat. Di depan kamar usai aku menutup pintu, ibu yang melihatku sudah rapi dan siap berangkat bergegas menahanku.

“Kamu gak sarapan dulu, Vid? Kan masih ada waktu?”

Aku membalas tersenyum.

“Bukankah kemarin kamu sudah tidak sarapan pagi? Lalu sekarang kamu juga tidak sarapan. Ayo sarapan dulu. Nanti perutmu sakit lho.”

Aku tak perlu merespons dan segera meraih tangannya untuk kucium. Tapi sikap ibu seakan memaksaku untuk sarapan dulu. Aku bersikukuh tidak menurutinya dan agaknya ibu mengalah.

“Kalau kamu tidak mau sarapan, temani Ayah sarapan. Ayah sudah menunggu di ruang tamu dari tadi.”

Duh, ibu bagaimana sih. Tujuanku tidak sarapan pagi supaya tidak bertemu ayah pagi ini tapi malah disuruh menemani. Pasti akan ditanya macam-macam dan berceloteh sesukanya lalu ujung-ujungnya aku diminta menjadi pendengarnya. Ogah ah. Aku hanya tak mau menghabiskan waktu pagi untuk hal yang tidak produktif. Mendengarkan celoteh ayah yang kayak anak kecil itu hanya buang-buang waktu saja.

“Tidak Bu. Aku harus berangkat sekarang. Please..” Tatapanku yang memohon membuat ibu mengerti jalan pikiranku. Aku dibiarkan berangkat sekarang.

Aku bergegas mengambil kunci untuk kemudian langsung ke mobil tanpa menemui ayah. Tapi, agaknya aku melupakan sesuatu. Kunci mobil. Terpaksa aku ke ruang depan untuk mencari kunci mobil. Sialnya ruang depan tersebut bersebelahan dengan ruang makan tempat ayah berada saat ini.

“Cari apa Vid?”

Dari sebelah ruangan ayah menanyaiku. Tanpa harus menjawabnya aku melanjutkan pencarianku. Kucari ke beberapa titik yang biasa aku menaruhnya namun hasil tetap nihil. Hingga aku mulai sebal dan sebagaimana kebiasaanku jika sudah sebal. Jika tidak berteriak pasti menggebrak atau menendang apa yang bisa ditendang.

“Kau cari kunci ya?”

Pertanyaan ayah membuat pencariaanku terhenti. Tak lama kemudian aku menemukan jawabannya.

“Di sini kuncinya, Nak. Kamu ngapain cari di sana?”

Kenapa kuncinya ada di sana? Perasaan semalam kutaruh di atas bufet sebelum masuk kamar. Ini pasti ulah ayah. Sengaja benar menyembunyikan dengan harapan aku mau menemaninya ngobrol jika ingin kunci itu dikembalikan.

“Kok di sini sih kuncinya? Bukannya semalam aku taruh di atas bufet sebelum masuk kamar?” Aku menghampiri ayah yang saat itu sudah siap dengan kunci yang ingin diberikan padaku.

“Ini untukmu. Bekal buat cemilan. Siapa tahu kamu lapar saaat bekerja.”

Urusan menjadi semakin lama. Tak banyak merespons, aku sambar kuncinya sembari berucap pamit tanpa sedikitpun menoleh ke wajahnya, apalagi membawa bekal di kotak Tupperware itu. Apa kata teman-teman kantor nanti jika aku membawa bekal anak sekolah itu?

“Aku berangkat dulu. Bekalnya buat ayah saja.”

Segera aku bergegas ke mobil dan membiarkan ayah yang kebingungan atau entah apa yang dirasakannya atas sikapku ini. Biarlah. Biar ayah tahu kalau aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah dewasa dan sudah sepatutnya diperlakukan seperti orang dewasa dan bukan anak kecil lagi.

Ayah sama sekali tidak membahas rencana memancing yang kemarin ia ributkan. Sampai-sampai ayah harus berkirim pesan kepada Sheily agar bisa memastikan hari ini agenda kami berjalan lancar. Syukurlah. Kuharap ayah mengerti anaknya yang sangat sibuk ini. Memancing kan bisa dilakukan di akhir pekan. Kenapa harus pas hari kerja sih? Ayah memang sering mengada-ada. 

Saat memasuki mobil hp memekik. Ada 2 pesan bersamaan masuk. Satu dari Sheily dan sisanya dari Renata.

“Pagi Sayang. Maaf baru kasih kabar. Terkait rencana dinner kita yang semalam kamu tawarkan nanti kukabari lagi ya. Maksimal siang deh. Okay. Kiss you. Mmmuuuaahhh.”

Sontak bibirku menyungging senyum. Sekejap perasaan yang tadi di ruang tamu sempat gaduh menjadi teduh dan tenang.

Lalu, kubuka pesan dari Sheily.

“Pagi Pak David. Maaf menghubungi pagi-pagi. Ini urgent dan harus segera diselesaikan. Saya dapat desas-desus kabar kalau Pak Lucas tidak akan mau menandatangani berkas-berkas untuk memuluskan proyek yang kemarin kita bahas. Konsekuensinya adalah kepercayaan dari Bapak Komisaris terhadap Pak David. Bapak bisa dianggap tidak becus karena ada bawahan yang mencoba membelot dari kepemimpinan Bapak. Dan tentu hal itu juga berpengaruh terhadap reputasi Bapak di mega proyek yang akan dimeetingkan hari ini.

Jika itu terjadi, reputasi dan kesempatan Bapak memimpin dan menghandle di mega proyek yang akan perusahaan kita hadapi ini akan dipertanyakan dan dipertimbangkan kembali. Saya langsung dengar dari Andre, bawahan bapak yang belum sempat menyampaikan ke Pak David. Ini valid dan menurut saya Bapak harus segera ambil tindakan mengingat rapat internal untuk persiapan mega proyek itu akan diadakan bersama komisaris siang ini. Terima kasih Pak.”

Dahiku mengerenyit demi mendengar kabar itu. Lucas? Kenapa mendadak ia tidak setuju? Bukankah selama ini ia selalu satu jalur denganku. Tak hanya itu. Selain itu juga satu visi dan satu level yang sama-sama berkomitmen untuk meraksasakan perusahaan tempat kami bekerja. Dan bukankah selama ini kami berkawan baik dan selalu baik-baik saja? Tambah lagi fakta yang tak terbantahkan. Bukankah aku seorang yang mebawa, memperjuangkan dan meyakinkan ke atasan agar ia diterima di perusahaan sehingga ia mendapat posisi yang cukup prestisius dan menjadi incaran para karyawan lainnya? Ada apa gerangan? Apakah diam-diam dia….

Aku tak mau berspekulasi macam-macam. Aku hanya akan percaya jika aku menyaksikan atau membuktikan sendiri. Mobil segera melesat kencang namun lebih waspada dari biasanya. Aku tak mau kejadian konyol kemarin terulang kembali. Cukup kejatuhan sekali di masa lalu menjadi satu pelajaran berharga di masa depan.    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status