Setibanya di apartemen Scott, Detroit yang sudah tidak sabar lagi ingin segera memulai permainannya dengan Scott mendorong pria itu ke dinding dekat pintu masuk apartemen sahabatnya itu dan menutup pintu apartemen itu dengan sebelah kakinya dan menguncinya. Tangannya lalu bergerak menjamah tubuh Scott yang masih mengenakan pakaiannya sementara dia mengarahkan wajahnya ke dekat telinganya sembari berbisik di telinga Scott, yang kini mengeluarkan suara desahannya itu.
“Apa kamu ingin kita melanjutkannya di sini atau di kamarmu, Scott?”
“Hngg… lebih baik jika kita melakukannya di kamar saja, Master… Asal Master tidak keberatan dengan permintaanku… Ah…"
“As you wish.” sahutnya, dengan sigap menggendong tubuh Scott tanpa kesulitan hingga mereka ke kamar sahabatnya itu. Setibanya di kamar, dia menurunkan tubuh Scott di atas tempat tidur dan memandangi sosok Scott yang menatapnya dengan tatapan seakan pasrah menunggu apa
Halo pembaca! Terima kasih karena telah membaca 'Promise Me, Macchiato' di Goodnovel! Jika kalian menyukai karya ini, kalian bisa meninggalkan komentar di bawah dan mendukung cerita ini dengan gem di bagian voting ya!
Begitu melihat reaksinya tadi, dia kembali melanjutkan kegiatannya untuk menandai satu per satu bagian tubuh Scott dengan gigitannya hingga tiba ke pinggang pria itu. Dia lalu menghentikan kegiatannya tadi dan merasakan selangkangan pria itu yang sudah benar-benar tegang menekan bagian lehernya setelah apa yang dia lakukan terhadap tubuh Scott tadi.“Aku nggak nyangka kamu sebegitu inginnya aku melakukannya denganmu malam ini. Benarkah seperti itu, Scott Sinclair?”Scott menjawabnya dengan gelengan kepalanya sambil meracaukan kata-kata yang tidak dia pahami karena terhalang oleh ball gag yang dipakaikannya itu. Dia kembali mengabaikan reaksi Scott yang berusaha melepaskan ikatan di tangan dan kakinya itu dan melepaskan perlahan thong yang dikenakan sahabatnya itu dengan giginya hingga turun ke arah kedua pahanya. Saat itu dia melihat penis Scott yang segera berdiri begitu dia melepaskan thong yang dikenakannya tadi dan menggeleng
Malam ini Detroit merasa jauh lebih tegang dari biasanya. Beberapa kali dia terus memegangi dan mengecek layar ponselnya, memastikan kalau dia tidak salah waktu pertemuannya dengan Clara Young, wanita yang minggu lalu dia undang untuk datang ke hotel tempat dia dan Scott selalu melakukan 'permainan' mereka itu setiap minggunya itu dengan perasaan gelisah. Seharusnya wanita yang beberapa hari yang lalu telah berganti status dari wanita asing yang mendekati dia dan Scott di kedai kopi tempat Lewis Hall bekerja itu menjadi pacar perempuan dari sahabatnya itu sudah datang lima belas menit yang lalu di tempat yang mereka sepakati minggu lalu, namun anehnya dia sama sekali tidak melihat tanda-tanda keberadaan pacar perempuan dari sahabatnya yang juga menunggu wanita itu dengan perasaan yang sama gelisahnya dengannya. “Apa kamu yakin dia akan datang malam ini, Scott?” “Iya, aku yakin banget. Soalnya dia sempat meneleponku tadi siang kalau hari ini dia bisa pulang lebih awal
Seharusnya akhir pekan adalah waktu yang tepat bagi Lewis untuk menikmati hari liburnya dengan bersantai di depan layar televisi sambil merebahkan tubuhnya di atas kursi sofa berwarna cokelat tua favoritnya tanpa gangguan dari siapa pun. Dan saat dia mengatakan tanpa gangguan dari siapa pun, itu artinya tidak ada seorang pun yang boleh mengganggu akhir pekannya. Termasuk dari Clara, kakak perempuannya, yang tiba-tiba saja datang ke apartemennya dan langsung mematikan layar televisinya itu tanpa menunggu persetujuannya, yang tentu saja tidak setuju dengan apa yang baru saja kakak perempuannya itu lakukan padanya. Atau lebih tepatnya, kakak perempuannya berhasil menghancurkan rencana akhir pekannya yang sempurna. "Kok Kakak matikan sih? Nggak liat apa, kalau aku lagi nonton film kesukaanku?" "Maze Runner? Sudahlah, menyerah saja kalau kamu berencana untuk menontonnya hari ini. Kamu kan, bisa menontonnya kapan pun kamu mau. Daripada itu, aku ingin mengajakmu ke su
Sepertinya memang bukan ide bagus untuk menuruti Clara, kakak perempuan tirinya yang terpaut sepuluh tahun darinya itu, untuk meninggalkan apartemennya dan pergi ke suatu tempat yang bahkan sampai saat ini kakak perempuannya masih belum berniat untuk memberitahunya soal tempat tujuan mereka berikutnya. Hanya itu yang terlintas di pikirannya ketika melihat begitu panjangnya antrian kendaraan yang mengular hingga beberapa kilometer di depan mereka saat ini. Melihatnya saja sudah lebih dari cukup baginya untuk menyesali keputusannya yang setuju dengan ajakan kakak perempuannya itu. Kalau saja dia tahu akan seperti ini jadinya, tentu dia tidak akan membiarkan kakak perempuannya memaksanya untuk ikut dengannya dan membatalkan rencana akhir pekannya untuk menonton Maze Runner, salah satu film kesukaannya yang sudah lama sekali tidak dia tonton sejak kali pertama film itu rilis di bioskop dekat sekolahnya beberapa tahun yang lalu."Dam
Lewis langsung menelan ludahnya begitu mendapati kedua orang yang berdiri di hadapannya saat ini. Terutama salah satu dari dua orang itu yang sangat dia kenal bahkan sebelum mereka bertemu di depan gedung hotel yang ada di samping mereka saat ini. Seluruh tubuhnya terasa membeku dan sulit untuk dia gerakkan dengan leluasa, apalagi orang yang ada di hadapannya itu kelihatannya juga tidak menyangka kalau mereka akan bertemu di tempat tujuannya dan kakak perempuannya yang sebenarnya.Dia terus mematung selama beberapa saat, seakan tidak memercayai apa yang dia lihat saat ini sebelum mengikuti Clara, yang sudah membungkukkan tubuhnya di depan kedua orang itu. Hal yang selalu kakak perempuannya lakukan sebagai cara untuk menghormati orang lain, terutama dengan orang yang lebih tua darinya dan cara mereka untuk berterima kasih pada orang lain. Atau sebagai cara untuk meminta maaf atas kesalahan yang mereka lakukan. Dalam kasus mereka, kakak
Sekarang dia berada dalam satu lift yang sama dengan Detroit Thompson. Orang yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan bertemu di saat dia seharusnya bersantai menikmati hari liburnya di apartemen miliknya. Beberapa kali dia melirik sekilas ke arah Detroit, yang tampak begitu santai menunggu lift yang mereka naiki saat ini tiba di lantai tujuh belas, yang menjadi tempat tujuan mereka berikutnya dan segera memalingkan pandangannya begitu dia merasa pria itu menyadari tatapannya tadi. Dalam hati, dia berharap semoga saja pria yang ada di sampingnya saat ini tidak akan menyadari apa yang dia lakukan tadi.Sambil mengetukkan jemarinya di saku jaketnya, Lewis mencoba untuk menyembunyikan perasaan tegangnya karena dia sama sekali tidak tahu apa yang akan Detroit rencanakan bersama dengan kakak perempuannya. Dan juga Scott Sinclair, pria yang tadi sempat menunggu kedatangannya dan kakak perempuannya di depan pintu masuk hotel yang dia datangi saat ini.Dia
Pria itu kembali menutup bibirnya rapat-rapat saat mengucapkan sesuatu yang sepertinya berhubungan dengan pertanyaan yang dia ajukan pada Detroit tadi. Kedua mata pria itu lantas memandang lurus ke arahnya, sementara kedua tangannya yang masih menahan tangannya semakin mempererat cengkeramannya."Detroit?""Hm?""Tolong lepasin tanganmu sekarang. Sakit.""Oh. Sorry about that."Belum sempat Detroit melanjutkan perkataannya, suara dering ponselnya sepertinya berhasil mengalihkan sejenak perhatian Detroit darinya dan perlahan melepaskan kedua tangannya darinya."Lebih baik kamu angkat dulu teleponnya.""Iya. Ini juga mau angkat kok. Bawel.""Tadi kamu bilang apa?"Buru-buru dia beranjak dari tempat tidur dan mengambil ponselnya dari saku celananya, tanpa memedulikan Detroit yang dari nada bicaranya tadi, terlihat sama sekali tidak suka dengan tanggapan yang dia berikan pada pria itu tadi. Namun dia memilih untuk meng
Beberapa hari berlalu sejak dia dan Scott bertemu dengan Clara dan Lewis di hotel tempat dia dan sahabatnya sering menghabiskan akhir pekan mereka, dan sekarang dia mendapati dirinya sendiri tengah termenung di meja kerjanya. Kedua matanya sibuk memandangi butiran pasir yang ada di dalam jam pasir pemberian Scott di ulang tahunnya beberapa tahun yang lalu itu yang turun ke bawah dengan begitu cepat melalui sebuah lubang kecil yang ada di tengah jam pasir miliknya.Sesekali dia menghela napas panjang, memikirkan kejadian beberapa hari yang lalu dengan Lewis Hall, satu-satunya barista yang bekerja di Raymond Café. Kedai kopi baru yang menjadi tempat Lewis bekerja itu menjadi salah satu tempat favoritnya di mana dia bisa bertemu dengan Lewis. Dia selalu menyempatkan diri untuk menemui barista itu di sela-sela pekerjaannya maupun setiap kali dia pulang kerja. Karena itu, rasanya sulit baginya untuk membayangkan akan ada hari