POV Ryan.
Aku berada di dalam taksi menuju rumah sakit. Tidak mungkin berputar balik arah, menghampiri Mama dan Alisha ke mall, karena pasti mereka sudah pulang. Jadi kuputuskan ke rumah sakit melanjutkan dinas malamku.
Mendesah berat saat kubuka ponsel, ada dua kali panggilan dari Mama, dan lima kali panggilan dari Alisha. Pasti Mama bingung dan khawatir karena aku pergi tanpa pamit. Apalagi panggilan darinya tidak kuangkat sama sekali. Ada satu pesan dari Alisha.
["Kakak pergi kemana? Al sama Mama cemas."] Membaca pesan dari Alisha, membuat perasaanku semakin tidak nyaman.
Kucoba segera menghubungi Mama. Memberikan kabar, bahwa anaknya baik-baik saja.
***
"Halo, Ryan. Kamu dimana?" Mama langsung bertanya tanpa mengucap
Gelas di depan mata hanya kuputar-putar pelan. Sesekali, mengelap embun di sisi gelas dengan jari. Air es di dalamnya masih tersisa setengah. Belum kuhabiskan. Pikiranku melayang, mengingat kejadian saat bertemu Alisha dan ucapan Ruby.***"Aku ingat, bukankah kamu ketemu dengannya waktu itu di toko-ku?" Ruby melirik ke arahku sekilas, lalu fokus kembali ke depan jalan.Aku mengangguk."Kamu sudah kenal dia 'kan sebelumnya?" tanyanya lagi."Cuma tahu namanya, nggak kenal dekat."Ruby membuang napas. "Aku nggak suka sama ucapannya. Dia memojokkanmu. Kukira dia alim." Ruby mendengkus dengan menarik sudut bibir ke atas.Aku mendesah. "Bukankah patokan kealiman dan ketakwaan seseorang bukan yang terlihat
"Sudah, jangan tegang begitu wajahnya. Santai. Sekarang kita lanjut makan dulu, setelah ini, baru kita bahas yang tadi," ucap Mama Ira tanpa beban. Dia sangat santai mengatakannya, sambil menikmati makan dengan lahapnya. Sedangkan aku, Masih dalam kebingungan. Beberapa kali melirik ke arah dokter Ryan. Dia hanya fokus ke makanan, tapi gerakannya tidak secepat tadi, lebih lambat dan kadang terhenti seperti ada yang dipikirkannya. Mungkinkah memikirkan ucapan Mamanya, sama sepertiku?Menikah? Apakah maksudnya aku dan dokter Ryan? Ah, itu tidak mungkin. Mama Ira sepertinya sedang mengerjai kami. Pasti dia sedang bercanda."Yan, sudah kenyang?" tanya Mama Ira. Matanya menyorot ke piring dokter Ryan yang masih menyisakan sedikit makanan, tapi sendok sudah diletakkannya di atas piring. Dokter Ryan mengangguk mengiyakan."Wah, sayang dong nggak dihabiskan. Pasti
"Alhamdulillah, Non. Mbok senang dengarnya." Senyum Mbok Yem mengembang, usai kuceritakan tentang lamaran tidak langsung dokter Ryan, tiga hari yang lalu."Menurut Mbok, apa yang saya lakukan itu benar atau salah?" Akhirnya aku curhat juga sama Mbok Yem. Aku merasa lebih enak ngobrol dengannya, karena Mbok Yem bisa memberikan masukan atau saran yang baik untukku. Mungkin pengalaman hidupnya yang jauh lebih banyak, membuatnya lebih bijak dalam menyikapi suatu masalah."Kalau dibilang salah, nggak juga. Kalau benar, harusnya sih nggak begitu." Jawaban ngambang Mbok Yem membuat mataku menyipit."Saya tidak mengerti, Mbok. Jangan bermain kata, kepala lagi puyeng, Mbok," rutukku dengan menyesap kopi hangat buatannya.Wanita paruh baya yang duduk di sebelahku hanya nyengir kuda.
POV Dr. Ryan. "Benar 'kan itu Delia, Ma?" Aku bertanya memastikan. Gegas kuhampiri Mama, setelah melihatnya selesai video call dengan seseorang."Menurutmu?" Mama malah balik bertanya. Matanya lekat menatapku balik."Ma, please …. Ryan serius." Dengan memelas aku menekan suaraku.Mama malah terkekeh pelan sambil mengusap rambutku."Kamu sangat mencintainya?" Aku terkesiap mendengar pertanyaan Mama. Dari raut wajahnya tidak ada kemarahan di sana. Cara bicaranya pun lembut.Dengan menganggukkan kepala, kuiyakan."Tunggulah sampai masa Iddahnya selesai, baru dekati dia.""A--apa, Ma?" ulangku. Aku tidak ingin salah dengar. Suara Mama terdengar pelan dan kecil di t
Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?Mungkin Kalam Tuhan itu cocok untukku saat ini. Setelah berbagai cobaan menguji, lalu datang kebahagiaan setelahnya. Apa mungkin aku tidak mensyukurinya? Apa mungkin aku mendustakannya? Nikmat Tuhan mana yang kudustakan saat diberiNya sosok lelaki sesempurna dia. Sempurna di mataku. Lelaki yang rela menyimpan cintanya utuh bertahun-tahun untuk wanita sepertiku.***Setelah perdebatan panjang antar dua keluarga dalam menentukan tanggal pernikahan kami, akhirnya disepakati kalau tanggal 4 di bulan 4 menjadi tanggal istimewa dalam hidupku dan Dr. Ryan. Berharap permasalahan hukum yang menderaku berakhir terlebih dulu, sebelum tanggal cantik tersebut hadir. Aku sudah tidak peduli lagi, hukuman apa yang divoniskan hakim pada mereka. Begitupun dengan nasib Mas Heru. Kuharap setelah mendapatkan hukuman terseb
Pov Author.Delia menggeliat dengan mata mengerjap. Diliriknya ke samping, lelaki yang membersamainya semalam meneguk indahnya surga, masih terlelap nyenyak dengan memeluk tubuhnya. Dirabanya pelan wajah mulus Ryan dengan senyum terkembang.'apa karena dia dokter, jadi wajahnya semulus ini,' rutuknya dalam hati. Saat ingin menjauhkan tangannya, ternyata tangannya malah ditarik, membuat Delia tersentak kaget. Ryan membawa tangan Delia ke dadanya."Jangan terlalu dipandang, takutnya kamu minta lagi yang malam tadi," ucap Ryan dengan mata terpejam. Refleks wajah Delia memanas mendengar godaan suaminya. Ditariknya paksa, tangan yang masih dicengkeram kuat Ryan."Tetap begini, aku ingin seperti ini saja saat ini." Mata Ryan terbuka, menatap penuh cinta ke Delia. "Terima kasih," imbuhnya lagi setelah mendaratkan sebuah kecupan di kenin
POV Mama IraApa impian terbesar seorang ibu untuk anaknya? Bahagia. Seorang ibu ingin anaknya hidup bahagia. Sesimpel itu. Saat anak jatuh sakit, betapa menderitanya kita sebagai ibu. Kalau bisa, biar sakitnya pindah ke kita. Sekhawatir itukah seorang ibu? Jawabnya ya. Sebesar itukah pengorbanan ibu? Iya. Apapun akan dilakukan seorang ibu untuk anaknya.Sama sepertiku. Aku hanya mempunyai satu orang anak, seorang putra. Namanya Ryan. Dengan umurku yang sudah memasuki setengah abad ini, apa lagi impian terbesarku untuknya, kalau bukan melihatnya menikah. Entah apa yang terjadi pada Ryan. Sampai umur hampir mendekati tiga puluhan, dia belum juga mempunyai calon istri untuk dinikahi. Apa yang salah pada dirinya? Ganteng iya, mapan, baik, sangat menghormati perempuan. Kok tahu? Karena aku ibunya. Aku merasakan bagaimana cara dia memperlakukanku. Sangat baik. Perhatian, lembut. Tipe yan
18 tahun kemudian."Yah, bagaimana caranya memanaskan hati cowok yang dingin?" Pertanyaan dari Shanum membuat Mas Ryan menyemburkan kopi yang baru saja diteguknya.Aku yang sedang mengoleskan selai cokelat kesukaan Bian terhenti dan mengarahkan tatapan heran ke Shanum."Kalau dipanaskan, takutnya hatinya gosong, 'kan nggak enak buat dimakan," sahut Mas Ryan bercanda, sembari mengelap meja bekas kopi yang tidak sengaja disemburkannya menggunakan tisu. Sepertinya Mas Ryan mencoba bersikap sesantai mungkin menanggapi pertanyaan Shanum tentang lawan jenis."Yah, Shanum serius." Wajahnya cemberut dengan bibir manyun. Diraihnya segelas susu dan menyesapnya perlahan karena masih panas."Ayah juga serius," tukas Mas Ryan membuatku menggelengkan kepala. Shanum itu adalah versi perempuannya Mas Ry