POV. Dr. Ryan
"Delia?" Aku bergumam sendiri.
"Kenapa Dok, kamu kenal?" Ternyata dokter Richard mendengar gumamanku.
Aku kaget saat membaca rekam medis seseorang bernama Delia. Apalagi saat melihat nama ayahnya. Sangat kukenal, bukan kenal lagi, tapi hafal sampai di luar kepala.
"Namanya seperti familiar, Dok," jawabku tersenyum.
"Tahu Angkasa group, pasti pernah dengar kan?" Aku mengangguk.
"Nah, Delia ini anak dari pemilik perusahaan tersebut," jelas dokter Richard.
"Oh," balasku.
Berarti aku tidak salah, ini benar Delia.
Di SMA Tunas Bangsa, siapa yang tidak kenal Delia. Gadis cantik berambut panjang lurus, d
"Sore Pak, dengan Bapak Yudhatama?" Siska bertanya saat kami sudah berada di depan meja atas nama Yudhatama.Aku hanya diam saja. Kubiarkan Siska yang berbicara memulai percakapan. Mataku fokus menatap sosok yang kukenal berada di depanku. Dia tidak membalas tatapanku, padahal aku menatapnya terus tanpa berkedip.Ada yang berbeda dari penampilan dokter Ryan saat ini. Dia memakai jas menutupi kemeja putihnya. Pakaiannya terlihat lebih formal. Apa yang dilakukannya di sini? Siapa yang dia temui sehingga pakaiannya begitu formal?"Ya sudah, gue pergi dulu Bro, ntar kita sambung lagi," ucap dokter Ryan bangun dari duduknya, sambil merangkul laki-laki di sampingnya, yang kuduga pasti Pak Yudhatama. Mereka tampak seumuran, teman atau ada hubungan keluarga, aku tidak tahu."Sip, bisa diatur," balas Pak Yudhatama.
"dokter Ryan?" Aku berseru pelan."Dunia ini terlalu sempit ya sampai harus ketemu kamu lagi," tuturnya membuatku menautkan alis."Kamu pikir aku sengaja ngikutin Dokter sampai ke sini? Dokter kepedean," jawabku mencebik kesal padanya tidak mau kalah."Lalu ngapain kamu ke sini?" Netranya menatapku dari bawah ke atas. Seperti sedang menguliti penampilanku. "Nggak mungkin 'kan kamu sholat," imbuhnya lagi mematahkan keberadaanku di sini.Apa sesempit itu pemikirannya tentangku? Apa orang kayak aku mudah ditebak tingkat ibadahnya? Hingga dari penampilan saja dia bisa menilainya."Kenapa diam? Benar 'kan?" Tudingnya lagi tanpa rasa bersalah.Entah kenapa ada rasa sesak saat komentar itu keluar dari mulutnya. Bibirku terkatup rapat. Tenggo
Kuhampiri Pak Darwin dengan sorot mata bertanya. Namun dibalas oleh Pak Darwin dengan gelengan kepala."Jadi kamu yang namanya Delia? Selingkuhannya Dilan?" Wanita berkerudung cokelat yang duduk sebelah kiri langsung bertanya kepadaku dengan tudingan yang tidak kumengerti.Keningku berkerut dengan menatap tajam Dilan. Apa maksud pertanyaan orang tua ini, kenapa dia menyebutku begitu?"Saya Fatimah, Tantenya Dilan. Sejak ayah Dilan meninggal, maka saya yang bertanggung jawab mengurus Dilan," lanjutnya menjelaskan, dengan nada ketus."Tunggu, apa maksud anda menuding saya begitu? Selingkuhannya Dilan. Siapa? Saya? Sepertinya terjadi kesalahpahaman di sini," elakku membantahnya."Alah, jangan sok polos, kemarin Dilan membatalkan pertunangan kami dan meminta putus, apa coba kalau
"Mbak!" Panggil Pak Darwin ke pramusaji. Perempuan muda mengenakan seragam khas berlogokan cafe yang kami datangi ini, bergerak maju ke arah meja kami."Maaf, bisa minta air mineral? Keponakan saya tersedak," pinta Pak Darwin pada pramusaji yang berdiri di hadapannya. Pramusaji itu mengangguk dan segera pergi mengambilkan."Ehem." Kucoba berdehem beberapa kali, menetralisir ketidaknyamanan di dalam tenggorokanku. Rasa kopi yang kuminum sangat terasa di tengah tenggorokan. "Ini, cepat minum!" Pak Darwin memberikan segelas air mineral kepadaku yang telah tersedia di depan meja. Kumbil dan kuteguk segera."Om, apa-apaan sih. Delia aja belum cerai dari Mas Heru sudah diminta nikah sama dokter jutek," protesku tidak setuju setelah bisa berbicara."Iya nanti kalau ka
Aku menjadi gugup dengan dada berdebar, ketika melihat Lastri turun dari tempat tidur dengan mata nyalang menatapku. Kugenggam erat tangan ibunya Lastri."Delia, dimana Delia? Aku benci nama itu, kamu!" Jari telunjuknya mengarah ke diriku. "Kamu siapa? Kamu Delia?" Lastri maju dengan pelan menghampiriku.Aku diam. Sepertinya Lastri tidak mengenalku. Namun aku tetap berdiri di belakang ibunya seolah mencari perlindungan. Aku tidak tahu kenapa jadi ketakutan begini. Mungkin karena momok orang gila di benakku sudah tertanam menakutkan."Sayang, Lastri …, dia bukan Delia, dia teman kamu." Ibunya Lastri mencoba menenangkannya dengan berbohong.Aku terkesiap saat tangan Lastri menarik lenganku dengan kuat."Kamu bukan Delia 'kan? Aku benci Delia. Dia mengambil semua yang kui
Kuambil ponselku dan menghubungi seseorang.Nada sambung terhubung tapi tidak diangkat.Kulihat mobil Om Darwin mulai pelan beranjak pergi. Mungkin sedang menyetir, karena kulihat beliau duduk di kursi kemudi, makanya teleponku tidak diangkatnya. Kusimpan kembali ponsel ke dalam tas.Mobilku pun juga sudah keluar dari SPBU dan menuju ke kantor. Aku masih kepikiran dengan wanita di dalam mobil Om Darwin. Bagaimana mungkin mereka bisa satu mobil dan terlihat akrab? Itu artinya Om Darwin dengan wanita muda tersebut saling kenal. Sepertinya aku harus berhati-hati juga dengan Om Darwin. Di depanku terlihat baik, siapa tahu ikut menusuk dari belakang. Katanya ingin menjodohkanku dengan dokter Ryan, dan tidak setuju dengan calonnya si dokter, la kok malah akrab sama wanita tersebut, artinya apa coba, Om Darwin membohongiku dan mempunyai maksud terselubung?
Kalau ada yang bilang dunia ini sempit mungkin itu benar, karena kita bertemu dengan seseorang dalam satu lingkaran yang sama."Ayah?" Sebuah pertanyaan terbit dari seorang ibu paruh baya yang datang bersama dengan sosok lelaki yang kukenal. Dari wajahnya, bolehkah kusimpulkan kalau mereka adalah ibu dan anak?"Iya, Ma Ira. Ini Ayah saya," jawabnya pasti dengan tersenyum sumringah."Yah, kenalkan. Ini Mama Ira--ibunya Kak Ryan." Gadis berkerudung navy ini terlihat malu-malu saat memperkenalkan Om Darwin dengan ibunya dokter Ryan. Yang membuatku terkejut ternyata gadis ini adalah anaknya Om Darwin. Lalu kenapa ibunya dokter Ryan ikut terkejut pula seolah tidak tahu. Dan yang membuatku bingung, kalau gadis ini adalah anaknya Om Darwin dan Ryan adalah keponakannya, itu artinya dokter Ryan dengan gadis in
POV Heru"Pak, ini tidak bisa dibiarkan! Tolong Bapak bantu saya. Lastri itu bohong! Dia pasti pura-pura gila biar lepas dari jerat hukum, dan semuanya dilimpahkan ke saya. Ini nggak adil." Aku meradang marah mendengar kabar terbaru dari Lastri. Bagaimana mungkin semuanya jadi kacau begini. Seharusnya aku bisa lepas dari tindak pidana pembunuhan berencana, karena memang bukan aku yang melakukan semua itu."Maaf Pak Heru. Saya dan tim sudah berupaya keras untuk membebaskan Pak Heru dari kasus tersebut. Namun, ya … mau gimana lagi Pak. Satu-satunya tertuduh malah terindikasi menderita gangguan jiwa. Apalagi dia kunci saksi utama," ucap Pak Dion--kuasa hukumku.Kukepalkan tangan dengan kuat di atas meja, hingga buku-bukunya memutih. Rasanya kesal sekali mendapati berita gilanya Lastri. Kenapa dia tidak mati saja sekalian. Itu lebih