"Apa?" tanya Kevin yang sudah berada di balkon bersama Julio.
"Mmm... mmm..." Julio terbata-bata.
"Aku akan pergi kalau begitu." Namun Julio langsung menarik ujung baju Kevin.
"Kau berani menarik bajuku!?"
Refleks, Julio langsung melepas pegangannya, "Ah... maaf, Yang Mulia," katanya sambil menundukkan kepala.
"Mereka sudah pergi?" tanya Kevin mulai serius.
"Ya.”
"Bagaimana dengan respons mereka?"
"Wanita itu tentu saja marah!" seru Julio, "Tapi Tuan Ben... dia hanya menanggapinya dengan tenang," jelasnya.
"Ben bersikap tenang? Ini tidak biasanya. Pasti ada sesuatu yang dia katakan, bukan?"
"Ya. Dia menyuruhku untuk menyampaikan padamu bahwa takdir Yang Mulia adalah menjadi pemimpin Klan Raltz."
"Maksudnya menjadi pemimpin boneka? Haahhh... dia membuatku ingin tertawa. Aku sudah muak dengannya. Diatur dan terus diatur. Jika dia mau, ambil saja takhta ini. Aku tidak membutuhkannya
Benedict berjalan memasuki sebuah gedung tua seorang diri. Di sana sudah berdiri seorang pria yang menunggu kedatangannya sejak tadi. "Kau terlambat," ucap pria ini. "Ada remah-remah yang harus aku bersihkan," balas Ben. "Bagaimana keadaannya?" "Tidak terlalu buruk, kita masih bisa terus mengeksploitasinya." "Dan dia?" "Ahh... dia? Aku berpikir apa yang harus aku lakukan dengannya. Dia sudah tidak memiliki apapun, bahkan tidak untuk sebuah jantung," ucap Ben dengan senyum yang mengerikan. "Wanita pembawa jantung ini, bagaimana kau akan menemukannya?" tanya pria ini. "Sebuah bau." "Bau?" "Sama seperti ibunya, dia memiliki bau Bunga Lily." *** Dengan terburu-buru, Julio berlari untuk menemui tuannya—Kevin. Kedatangan vampir itu sudah ditunggu-tunggu oleh Julio sejak kemarin. Tapi, setelah mendengarnya telah kembali, Julio langsung berh
"Jadi dia tidak mengingat namanya, di mana dia tinggal atau bahkan keluarganya?" dan satu anggukan mengikuti akhir pertanyaan ini. "Lalu kau berencana menjadikannya Ratu Raltz bahkan saat dia sendiri tidak mengetahui siapa dirinya?" tanya Julio. "Sebenarnya siapa pemimpin di sini? Kenapa kau lancang sekali melarangku melakukan ini dan itu?" kesal Kevin pada tangan kanannya—Julio. “Jelas aku melarangnya. Ini bukan hanya tentang seorang wanita atau manusia. Tapi ini masalah tentang siapa yang akan menjadi Ratu! Kau tidak bisa seceroboh ini dalam menentukan segalanya.” “Jaga bicaramu, kau hanya seorang tangan kanan. Akulah pemimpin di sini.” "Lupakan tata karma dan posisi saat ini! Yang aku lakukan hanya menjagamu!" seru Julio. "Jika begitu, jaga aku darinya! Vampir busuk itu... enyahkan dia!!" Dengan pandangan mata yang langsung dialihkan, Julio membalas, "Itu tidak mungkin. Dia adalah Tuan Benedict de Waltz. Pen
Pagi hari dan tidur Diana harus sudah terganggu dengan kehadiran si kembar yang mencoba membangunkannya sejak tadi. Mereka terus saja mengganggu tidurnya. "Tidak geli," lirih Diana mengomentari tindakan mereka yang menggelitiki telapak kakinya menggunakan ilalang. "Selamat pagi, Kak Diana!" sapa Ika ceria. "Ngghh...” suara Diana mengerang, mencoba merelakskan tubuhnya yang menegang setelah tidur. “Kalian sudah tidak bersembunyi lagi?" "Hmm—" angguk Iki, "—tapi kami tetap tidak berani bertemu dengan Kak Rai," ucapnya. "Apa Rai sangat menakutkan?" tanyanya dengan mata setengah terpejam. "Kak Diana tidak mengetahuinya?" tanya Ika. "Mengetahui apa?" "Dibalik sifat dinginnya, Kak Rai adalah vampir yang kejam. Dia kasar dan juga arogan," jelas Iki. "Bahkan dia tidak pernah mengunjungi kami selama di Raltz. Kami hanya mendapat kabar dari Al yang datang ke sana setiap dua bulan sekali," tambah
Iki dan Ika sedang berkonsentrasi membuat mahkota bunga yang akan diberikan ke Diana. Tetapi, mereka sesekali melirik ke arah Rai yang sekarang sedang berbicara dengan Al di sisi lainnya. "Mata kalian akan berpindah ke samping kalau kalian tetap seperti ini," kata Diana mengomentari perilaku keduanya. "Ah... tidak... kami tidak melihat apapun," balas Iki gugup. Diana menghela napasnya. Ia sangat tahu kenapa si kembar selalu melirik ke arah Rai, ini karena mereka takut Rai akan mengirim mereka kembali ke Raltz. Sepertinya Raltz adalah tempat yang buruk. Walau sebenarnya Diana sendiri tidak tahu seberapa buruknya tempat itu, tapi dia bisa menilai dari penolakan keras si kembar yang sangat tidak mau kembali ke sana. Maka sudah dapat dibayangkan bahwa memang tempat itu bukanlah sesuatu tempat yang nyaman untuk ditinggali. "Kenapa kalian bisa tinggal di sana?" tanya Diana. "Maksudnya Raltz? Itu—” Ika menjeda katanya, merasa
Rai yang sedang berbicara dengan Al merasa heran melihat tingkah laku si kembar yang dari tadi terus meliriknya walaupun sedang berinteraksi dengan Diana. Ia merasa ada sesuatu yang salah. "Ada apa dengan mereka? Kenapa mereka selalu melihat ke arahku?" "Itu karena kau mengatakan akan mengirim mereka kembali ke Raltz," jawab Al santai. "Tapi aku tidak jadi melakukannya." "Katakan pada mereka kalau begitu," balas Al dan pergi dari sana. Menuruti apa yang dikatakan Al, Rai melangkahkan kakinya mendekati mereka bertiga. Melihat Rai yang menuju ke arah mereka, Iki dan Ika langsung pamit pada Diana lalu kabur begitu saja. Rai berdecak, “Kenapa sekarang mereka malah melarikan diri!?". Diana tidak berkata apapun, dia hanya menatap Rai dengan mendongakkan wajahnya. Rai merasa tidak nyaman terus diperhatikan. Ia membalas tatapan wanita ini dengan tatapan tajam, namun Diana sama sekali tidak gentar. "Lehermu akan
Kevin kembali mendapati Pine tidak berada di kamarnya. Wanita itu selalu saja menghilang. Meskipun ia telah diberitahu untuk tidak meninggalkan kamar, tapi tetap saja Pine tidak pernah mendengarkan. Namun, Kevin sangat tahu keberadaan wanitanya sekarang. "Pine, aku sudah katakan untuk tidak berada di luar," tegurnya yang menemui Pine di luar kastel. "Vin..." lirihnya, "Ada apa dibalik ranting-ranting ini?" Kevin memandang heran, "Maksudmu?" "Aku merasakannya... Aku merasakan kehadiran seseorang di sana.” Kevin terkejut namun dia berusaha mengontrol dirinya. "Ini hanya beberapa ranting tidak beraturan. Tidak lebih," balasnya. "Akh...!" pekik Pine ketika tiba-tiba saja rasa sakit menyerang kepalanya. Kevin langsung maju dan mengkhawatirkannya, "Ada apa? Kenapa? Kamu baik-baik saja?" dan dengan masih memegang kepalanya, Pine mengiyakan. "Ayo kita kembali ke kamar. Kondisimu belum sepenuhnya pulih," ajak Ke
Gail kembali termenung. Ia memandangi botol kecil yang sedang ia pegang. Botol berbahan dasar kaca yang dengan jelas memperlihatkan isinya, yaitu cairan pekat kental berwarna merah darah."Kamu akan melubanginya," kata Ann melihat anaknya yang terus menerus memandangi botol ini."Ibu bilang ini racun, tapi aku sama sekali tidak percaya," balasnya tanpa menoleh sedikit pun.Ann duduk di hadapan anaknya lalu memangku wajahnya, "Ibu tidak berbohong, itu memang benar-benar racun," jelasnya.Gail memandang ibunya, "Racun apa kalau begitu? Aku tidak pernah menemukan racun seperti ini dalam hidupku.""Ibu tidak bisa mengatakannya. Kamu sudah tahu terlalu banyak," ucapnya lalu bangkit dari tempat duduknya."Jangan perlihatkan ini ke ayahmu, atau dia akan menggila," Ann memperingatkan sebelum meninggalkan anaknya."Racun...? Ibu pasti berbohong. Jika ini racun berarti vampir itu menyuruh kami untuk mati dalam keadaan terde
Pine memandang hamparan salju dari jendela kamarnya. Pikirannya menerawang entah ke mana. Namun dibalik kekosongan pikirannya, dia masih menyadari langkah kaki Julio yang mendatangi kamarnya.“Apakah yang Kevin katakan itu benar? Apakah yang dia ceritakan adalah kebenaran?" Pine bertanya pada Julio.Tap.Julio melangkahkan kakinya, mendekati Pine, "Cerita apa yang kau maksud?" tanyanya."Kisah Raja."Hening.Julio langsung meniadakan suaranya. Hamparan salju yang luas membuat Pine kembali mengingat kisah yang diceritakan oleh Kevin. Kisah yang seharusnya hanya diketahui oleh keluarga utama Klan Raltz. Kisah yang tidak seorang pun tahu akan keberadaannya. Kisah yang disebut dengan Kisah Raja.***"Dahulu, ada seorang Raja. Dia adalah pemimpin dari kerajaan yang dikenal dengan nama Kerajaan Lefko. Kerajaan yang seluruh daerahnya tertutupi oleh putihnya salju," Pine memut