Di Kastel Raltz, Pine sedang duduk di sofa sambil memperhatikan Kevin yang sibuk dengan setumpuk dokumen di hadapannya. Membuatnya bahkan tidak perhatikan Pine.
"Vampir juga bekerja?" tanya Pine.
Masih dengan kesibukan memeriksa dokumennya, Kevin menjawab, "Karena aku si Pangeran," jawabnya.
"Pangeran selalu berdampingan dengan Raja bukan? Di mana Raja kalau begitu?"
Kevin meletakkan alat tulisnya dan menatap Pine, "Di dunia manusia.”
"Dia tidak ada di sini? Bukankah dia ayahmu?"
"Dia adalah Rajamu, Pine," kata Kevin menopang dagunya
"Rajaku?" tanya Pine tidak mengerti.
"Ayahku adalah Raja di Kerajaan Antro. Kerajaan yang memerintah dunia manusia. Oleh karena itu, dia tidak berada di sini."
Pine mengerutkan keningnya, "Maksudmu... dia adalah Raja Antro?" tanyanya tidak percaya. "Ta-tapi Ayahmu adalah vampir, aku tahu ayahmu adalah Raja, kau mengatakannya sebelumnya. Tapi bagaimana mungkin... dia ad
Rena terus berbicara menjelaskan keadaan kerajaan namun Dominic tidak mendengarkan. Ia hanya diam, dan terlarut dalam pikirannya saat ini. Perkataan Rena sama sekali tidak ia dengarkan, Rena pun menyadarinya dan berusaha memanggilnya."... Mulia?" samar-samar telinga Dominic menangkap suara."Yang Mulia...?""Yang Mulia Dominic de Lefko?" panggil Rena karena Dominic terus saja melamun.Tidak juga mendapat respons. Mau tidak mau, akhirnya Rena memutuskan memegang bahu Dominic. Tindakan yang tidak sopan dan lancang memang, namun dia melakukannya karena terpaksa.Hap!Terkejut. Dominic langsung mencengkeram tangan Rena dengan tenaga vampirnya, membuat suara retakan sedikit terdengar. Dominic hampir saja menghancurkan tangan wanita ini. Pupil mata Rena membesar, namun ia menahan emosinya. Ia mengatupkan kedua bibirnya dan menatap Dominic."Maaf karena mengejutkan Anda, Yang Mulia. Saya sudah berusaha memanggil An
Gail kembali mendatangi tempat kerja si pria tua. Tempatnya sangat berantakan, meja yang dipenuhi dengan bahan-bahan herbal untuk diteliti menjadi obat, buku-buku yang berserakan, dan banyak alat yang tersimpan di tempatnya dalam keadaan kotor.Singkatnya, tempat itu lebih mirip seperti gudang dibandingkan tempat kerja Kepala Dokter Kerajaan, itu karena si pria tua terlalu malas untuk membersihkannya, dan dia selalu menggunakan alasan sibuk untuk menghindari sebutan malas pada dirinya ini.Di lain pihak, Gail selalu memunculkan dirinya melalui jendela. Karena tidak banyak ruang, maka ia memilih untuk duduk di kusen jendela. Alasan lainnya adalah karena kusen ini adalah tempat duduk favoritnya."Kau masih hidup? Aku kira kau sudah mati," ujar si pria tua melihat kedatangan Gail.“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Bagaimana bisa kau terpilih menjadi Kepala Dokter Kerajaan padahal kau adalah seorang yang malas dan juga jorok?&r
Tinggal tiga minggu lagi sebelum acara pernikahan antara Pine dan Kevin. Sekarang Pine sedang mempelajari pengetahuan yang akan ia gunakan saat menjadi Ratu, serta tentu saja pengetahuan tentang vampir."Kamu belajar terlalu keras, Pine," kata Kevin mendekatinya."Aku hanya berusaha sebaik mungkin," balasnya dengan senyuman.Kevin membalas senyum itu dan mengelus pucuk kepala Pine dengan sayang, "Ikutlah denganku," ajaknya.Kevin kemudian membawa Pine yang tidak tahu apapun ke ruang kerjanya, di sana Julio sudah berada di dalam dengan memegang nampan berisikan cawan berbahan perak."Duduklah," ujar Kevin dan Pine mematuhinya.Pine menatap Kevin dan Julio bergantian. Kevin lalu menyuruh Julio membawa nampan yang ia bawa ke hadapannya. Dengan hati-hati Julio membawa nampan tersebut."Apa itu?" tanya Pine melihat nampan yang tertutup.Kevin membuka tutup nampan, “Ini adalah Cawan Perak.”"Ah!" s
Suasana kastel tiba-tiba berubah menjadi ramai. Ika dan Iki saling berteriak, wajah mereka mengeras dengan manik mata berwarna merah darah mereka. Ini terjadi karena keinginan dan perasaan mereka kembali diabaikan."Tidak! Kami tidak mau!" tolak Iki."Kak Rai tidak tahu apapun!" tambah Ika."Sudah kami bilang, kami tidak akan kembali ke sana!" Iki tetap pada keputusannya"Kak Rai jahat!!!" dan Ika mengakhiri perseteruan ini.***Semua bermula ketika Rai memanggil si kembar lalu memberitahukan mereka untuk kembali ke Raltz. Tentu saja, baik Ika dan Iki tidak mau pergi. Seperti yang pernah mereka bilang, Raltz bukanlah untuk tempat berlindung. Hidup sampai sejauh ini pun sudah keajaiban bagi mereka.Mereka langsung protes keras. Bagaimanapun mereka tetaplah anggota keluarga utama Haltz, dan mereka berhak untuk tinggal di kastel ini. Tidak menemui penyelesaian, akhirnya mereka berdua pergi dar
Dua buah mobil limosin hitam berjalan beriringan menembus Kota Antro. Di dalam salah satu mobil itu, Rena yang duduk berhadapan dengan si pria tua merasa gerah dengan kelakuannya yang tidak bisa diam.Pria ini terus saja bergerak ke sana kemari seperti merasa tidak nyaman. Ia terus saja melihat ke arah jendela seakan berniat untuk meloncat dari mobil saat ini juga. Rena ingin sekali menendangnya keluar namun ia urungkan."Apa aku harus pindah ke mobil lain?" tanya Rena."Ah... tidak, tidak, tidak," balas pria ini cepat dan kemudian memeluk ranselnya erat, "Aku hanya memiliki banyak pertanyaan, dan ini membuatku tidak bisa berhenti berpikir.”"Kau bisa bertanya. Raja menyuruhku untuk menjawab semua pertanyaan.""Benarkah?""Ya,” singkat Rena."Emm... sebenarnya...” si pria terlihat ragu, namun sedetik kemudian ia memberanikan dirinya.“Sebenarnya kita mau ke mana? Karena aku lihat kita ba
"Ada apa ini...? Aku kira mereka semacam sekutu, tapi kenapa malah bersitegang? Lagi pula, siapa orang ini? Dan siapa yang dimaksud dengan Yang Mulia? Aku benar-benar tidak mengerti. Sepertinya aku dikirim ke lawan untuk dijadikan sandera," batin si pria tua."Tentukan pilihan Anda, saya tidak punya waktu untuk bernegosiasi," tambah Julio karena Rena hanya terus melihatnya.Rena lalu melihat rombongannya dari sudut matanya, sejenak dia berpikir, "Biarkan mereka masuk untuk menaruh barang-barang," jelasnya."Saya sudah katakan, tidak ada yang diperbolehkan masuk selain Anda dan dokter yang kami minta," balas Julio tegas.Tik. Tok. Tik. Tok.Waktu terus berjalan. Sementara itu, Julio memperhatikan rombongan yang dibawa oleh Rena, "Sepertinya keputusan Anda masih sama, saya anggap pertemuan ini batal. Kalau begitu, saya akan kembali masuk ke dalam. Terima kasih atas kedatangan—“Rena langsung memotong, "Kalian pula
Al melangkah kakinya menyelusuri lorong yang memiliki sebuah pintu kayu tua yang tampak masih kokoh di ujungnya. Ia kemudian membuka pintu dan mendapati Diana ada di dalamnya sedang melihat ke luar melalui jendela satu-satunya yang ada di kamar tersebut."Apa kau bertengkar lagi dengan Rai?" Al memasuki kamar dan mendekatinya."Apa dia yang menyuruhmu datang kemari?" Diana balik bertanya tanpa mau melihat wajah vampir hibrida ini."Tidak,” jawabnya, “Ini inisiatifku sendiri.”Diana menghela napasnya, "Aku hanya tidak suka vampir itu selalu mengusik Ika dan Iki. Bukankah dia kakaknya? Kenapa dia selalu mengirim adik-adiknya pergi? Apa dia memang sekejam itu? Apa dia takut kekuasaan direbut oleh adiknya? Hah... ini sangat lucu.”"Aku datang ke sini bukan untuk menjawab pertanyaanmu. Aku hanya ingin bilang, percayalah pada Rai. Dia punya alasan mengapa dia melakukannya. Beban pemimpin itu berat, bahkan kau tida
Rai menerjang maju, mendekati Diana hingga hanya tersisa jarak satu sentimeter di antara keduanya. Matanya memandang lurus ke manik mata Diana, memperhatikan setiap detail iris biru miliknya."Apa kau tipe orang yang selalu mengalihkan pembicaraan?" Rai bertanya."Aku tipe orang yang akan diam jika merasa tidak perlu berbicara.”"Kau harus membuka mulutmu kali ini," ucap Rai seraya mengusap bibir Diana, "Karena aku sudah tidak menyukai rahasia lagi."Diana membuang wajahnya, "Apa yang akan kau dapatkan dengan mengetahui rahasiaku?"Rai memundurkan tubuhnya, "Kita bisa melihatnya nanti.”Diana menghela napasnya, "Aku akan menjawab pertanyaanmu jika kau berhenti mengganggu si kembar," jelasnya mengajukan syarat."Siapa yang mengganggu mereka?" heran Rai."Aku akan diam kalau begitu."Rai kemudian terlihat berpikir, "Ini akan sulit, tapi aku akan mencobanya.”"Aku tidak meminta perc