Abi turun dari mobil, ia memutuskan untuk tidak langsung kembali. Lelaki itu duduk di kios kecil pinggiran jalan. Memesan kopi panas sekadar mengusir rasa sakit yang tiba-tiba memenuhi dada.
Semenjak kecil, Abi memang terbiasa dimanja oleh orang tuanya. Setelah sepuluh tahun kelahiran sang kakak, barulah Abi kecil hadir di rahim sang mama. Hal itu membuat dia tidak hanya dimanja oleh mama ataupun papa, tapi juga oleh kakak perempuan dan kakak lelakinya.
Abi anak penurut, semua keinginan keluarganya hampir tidak ada yang ia tolak untuk dilakukan. Hanya soal cinta, itupun Abi terpaksa harus diam-diam menikahi Arini. Demi menjaga perasaan sang ibu.
Nikah bawah tangan, awalnya Arini menolak keinginan tersebut. Tapi karena kegigihan Abi, juga janji yang diucapkan lelaki itu, Arini luruh.
"Nikah tanpa restu itu berat, Nduk. Ibu takut kamu akan menderita setelahnya."
Itu adalah perkataan ibunda Arini yang tidak hanya diucapkan di hadapan sang anak gadis, juga di hadapan Abi. Selaku lelaki yang akan mempersunting anaknya.
"Yakin pada Arini, Bu. Asalkan bersama Mas Abi, Arini akan bahagia. Mas Abi juga sudah berjanji untuk tidak meninggalkan saya bagaimanapun kondisinya."
Jawaban Arini yang diberikan kepada sang ibu, kembali terngiang di benak Abi. Lelaki itu menarik napas. Terasa sesak bila membayangkan bahwa ia sudah mengingkari janjinya pada Arini.
"Maaf, Dek. Maaf," ucap Abi lirih seorang diri.
Ingatan itu terasa mengoyak batinnya. Abi mencoba mengeluarkan ponsel. Ia pandangi sekian banyak foto Arini yang masih tersimpan di dalam memori benda pipih itu.
Biarpun tujuh tahun telah berlalu, foto-foto Arini kerap menemani hari-harinya.
Tak hanya melihat foto-foto sang istri, untuk mengusir rindu, lelaki itu juga berusaha mendirikan sebuah panti asuhan yatim piatu. Saat ini terhitung sudah ada seratus anak yang ia rawat bersama para donatur. Semua ia lakukan untuk menebus kesalahannya yang sudah meminta Arini menggugurkan kandungannya.
Abi menyesal, penyesalan yang ia bawa terus seperti membawa bongkahan batu besar di pundak. Tapi ia tetap hidup, banyak yang membutuhkan uluran tangannya. Anak-anak asuhan, juga sekian banyak pasien anak yang merasa begitu dekat dan cocok jika dirawat oleh dua tangannya.
Abi melirik jam di tangan. Kurang lima belas menit dari jam dua belas, ia memutuskan melapor pada guru piket untuk meminta ijin membawa Naina keluar lebih cepat. Entahlah, perasaannya tak enak, ia takut kalah cepat dengan Khalif sama seperti tadi pagi.
Abi berjalan mantap, sampai di meja piket ia sampaikan maksud dan tujuan pada seorang gutu. Tak lama menanti, sebuah suara terdengar menggetarkan kalbunya.
Abi berbalik dan mendapati buah hatinya tengah menatap tak percaya. Naina mendekat dan menyentuh lengan sang papa.
"Om kok di sini?"
Dua bola mata Abi terasa menghangat. Inikah putri yang selama tujuh tahun tak pernah bertemu dengannya? Ya Allah ...
"Om ...."
Naina mengambangkan tangan di hadapan wajah Abi. Tak lagi perduli apapun, lelaki itu dengan segera mendekap tubuh gadis kecil itu.
"Kamu sudah sebesar ini, Nak."
"Aku banyak makan Om, masakan Mama enak. Makanya badanku besar."
Abi tersenyum tipis.
"Om kok tahu aku sekolah di sini?"
"Om nanya sama beberapa orang."
"Buat apa Om cari aku?"
"Om mau ajak kamu jalan-jalan."
"Jalan-jalan? Emang Om mau bawa Naina kemana?"
Wajah Naina yang tadinya tampak tak percaya kini berubah merona.
"Ke tempat yang ada wahana bermainnya. Mau nggak?"
"Wah, mau banget Om?"
"Yaudah, ayuk kita pergi sekarang."
Sebelum Abi berhasil mengangkat langkah, Naina terlebih dahulu menarik lengan lelaki itu.
"Biasa kalau Mama jemput, aku selalu nyalam tangannya sama cium pipi, Om."
Abi menyunggingkan selarik senyum. Ia segera memberi jemarinya untuk disalami oleh sang anak. Lalu dengan penuh bahagia, Abi mengecup kedua pipi Naina.
Gadis kecil tersbeut tersenyum dan memeluk sang papa. Hal yang tak pernah mau ia lakukan sekalipun Khalif tadi pagi sempat memintanya. Tapi bersama Abi, entah kenapa Naina merasa ada keterikatan kuat yang memintanya untuk memanjakan diri.
Abi menggenggam jemari kecil sang anak, dia membuka pintu depan mobil dan membantu bocah itu duduk sempurna. Setelahnya Abi pun duduk di kursi kemudi.
"Kita jemput Mama kamu dulu ya, biar nggak kecarian entar?"
"Boleh Om."
Abi mengelus pipi sang anak dengan lembut. Lalu mulai melajukan mobil. Sampai di depan rumah Arini, tampak wanita itu baru saja mengunci pintu depan rumah. Abi bersyukur, ia sampai di rumah tepat waktu.
Dua bola mata Arini membelalak tatkala melihat Abi dan anak gadisnya berpegangan tangan memasuki rumah.
"Naina? Mas Abi?"
Naina yang sudah melihat sang ibu segera melepas pegangan tangannya dan berlari memeluk Arini.
"Ma, Om Abi ngajakin aku jalan-jalan ke wahana permainan. Boleh ya, Ma?"
Arini belum menjawab, matanya terus memandangi Abi yang semakin mendekat.
"Mas mohon, Dek. Kamu juga ikut, ya. Mas berencana jujur tentang siapa diri Mas sebenarnya pada Naina."
Arini menghela napas.
"Mas tidak lupa 'kan pada janji Mas semalam?"
"In Syaa Allah Mas akan menepatinya."
Arini menatap lelaki itu kembali, lalu dia mengajak Naina untuk masuk mengganti pakaian.
*
Arini mencoba mengesampingkan rasa tak enak dalam hati. Ia ingin hari ini menjadi hari teristimewa untuk buah hatinya. Wanita itu bahkan sengaja memakaikan pakaian terbagus yang dibelinya lebaran tahun lalu.
Tak lupa Arini juga memakaikan hijab dengan tambahan pita di bagian kanan kepala. Kini, gadis kecilnya terlihat begitu anggun memesona.
"Naina cantik nggak, Ma?"
"Cantik sekali Sayang, pasti Om Abi suka."
Naina tersenyum bahagia. Ia lanjut berlari keluar kamar.
Selepas kepergian Naina, Arini pun memandangi diri di depan cermin. Entah apa yang mendorong, ia juga memilih gamis terbaik yang ia punya. Memakai jilbab senada dan membubuhkan sedikit cream pada wajah. Tak lupa, wanita itu turut mengoles lipstik pada bibirnya.
Arini menghela napas. Sesungguhnya, ia tak pernah membenci suaminya. Meski sedemikian menyakiti hati. Cinta untuk Abi masih begitu besar. Andai setelah tujuh tahun ibu mertua sudah merestui, ia bersedia memaafkan semua kesalahan mereka dan ingin kembali bersama.
Bukan berpisah.
Tapi ia tahu, Ridha ibu mertua selamanya tak akan pernah ia dapat. Sebab itulah Arini meminta talak pada Abi. Karena ia tak mau kejadian menyakitkan tujuh tahun silam kembali ia alami saat ini.
Arini keluar dari kamar dengan penampilan yang berbeda. Abi yang duduk di kursi teras seketika berdiri dan memandangi dengan tatapan penuh cinta.
Abi menundukkan wajah tatkala rasa tak wajar itu kembali memenuhi ruang dada. Ia ingin kembali merengkuh wanita itu dalam pelukan, Abi tak ingin berpisah.
Tapi lelaki itu mencoba ikhlas. Jika dengan berpisah Arini bisa berbahagia dengan lelaki yang lebih baik. Ia tak ingin menahan hal itu.
Abi sudah memegang tangan Naina, ia hendak meraih jemari Arini agar bisa berjalan berdampingan. Tapi wanita tersebut menarik tangannya.
"Naina mau duduk di depan, Nak?"
"Mau Om."
Dengan cepat Abi membuka pintu depan dan mempersilahkan gadis kecilnya masuk, lanjut membuka pintu belakang. Sesaat sebelum menutup pintu belakang, Abi menatap kembali wanita yang sudah duduk di dalam tersebut.
Ia memberi senyum terbaiknya untuk Arini. Dan jika dari kemarin Arini tak membalas. Kali ini senyumannya bersambut.
Entah mimpi apa, Arini tersenyum pada Abi.
Sepanjang perjalanan, Naina terus bercerita tentang sekolahnya, guru-guru serta sedemikian teman yang baik juga yang tidak baik. Abi menyimak sembari merespon dengan antusias. Kurang lebih satu jam, akhirnya mereka sampai di parkiran. Abi mengajak Arini dan Naina turun.
"Jadi ini yang namanya Jatim Part, Om? Benaran kayak yang diceritain sama teman-teman aku. Ayuk Om masuk."
Naina menarik-narik tangan Abi, membuat lelaki itu harus berlari kecil mengikuti langkah sang anak. Sedang di belakang, Arini memandangi dengan perasaan perih. Ke tempat ini lagi. Dulu, mereka pernah kemari.
Menikmati semua wahana berdua.
Semua ini seperti membawa angan Arini kembali pada masa lalu.
"Ma, cepatan."
Naina kembali untuk menarik tangan Arini. Mereka sampai di tempat Abi berdiri.
"Mas tahu Adek tidak senang pergi sama Mas begini. Tapi demi Naina, berbahagialah, Dek."
Abi mengucapkan dengan rasa sakit yang sekuat tenaga ia tahan. Tapi ucapan itu berhasil membuat hati Arini terketuk.
Ia mencoba memposisikan diri, semua ini untuk Naina.
"Mau coba yang itu, Dek?"
Abi menunjuk Turangga-rangga. Sejenak membuka angan Arini saat dahulu duduk berdua di dua kuda sembari berpegangan tangan. Pelupuk mata Arini terasa berat.
"Ya, Mas."
Hati Abi bagai tersiram air bunga tujuh rupa. Ia bahagia mendapati Arini yang mulai membuka hati.
"Kita naik itu Sayang, yuk?" ajak Abi pada Naina.
"Yuk, Om."
Abi menarik tangan Arini, sejenak wanita itu menatap jemari yang kini menempel di pergelangan tangannya. Ada rasa berbeda yang coba mengaliri tubuhnya perlahan.
Ya Allah, inikah rindu? Kupikir dia sudah musnah, tapi nyatanya masih sedemikian menggebu?
Lagi, Arini harus mengalah pada rasa sakitnya. Ia menuruti kemauan lelaki itu. Mereka menaik permainan tersebut sembari berpegangan tangan.
Setelah selesai, Abi mengajak Arini dan Naina untuk kembali mencoba wahana lain. Kali ini ke istana boneka.
Jujur, Arini sangat enggan. Sebab tahu bagaimana posisi duduk nantinya di atas perahu. Tapi keiyaan Naina membuat Arini kembali pasrah.
Mereka mengambil tempat duduk paling belakang, dengan posisi Naina di tengah. Saat kereta mulai berjalan, Abi mengangkat tangan kiri ke atas hingga mencapai pundak Arini.
Sang wanita yang menyadari hal itu hendak meminta Abi menjauhkan tangannya, tapi lelaki tersebut justru menyibukkan diri dengan bercerita tentang asal muasal boneka-boneka tersebut pada Naina.
Duhai Engkau yang menggenggam hati manusia. Aku meminta pada-Mu, kuatkan hati ini. Jika memang jalan takdir-Mu tidak untukku membersamai lelaki ini. Maka pisahkan kami secara baik-baik.
"Dek ...."
Panggilan Abi membuyarkan lamunan Arini.
"Apa bedanya sekarang dan dahulu?" tanya Abi saat Naina mulai sibuk dengan memotret-motret menggunakan kamera yang ia berikan.
Arini menoleh.
"Bedanya dahulu kita saling mencintai, sekarang tidak."
Abi tersenyum.
"Kalau soal cinta kamu boleh membelah hati ini. Lihat seberapa besar cinta yang Mas punya untukmu, apakah berkurang."
Arini menunduk, tunas-tunas cinta sedemikian bermekaran kembali. Akankah kandas di sepertiga perjalanan?
"Mau Mas kasih tahu bedanya apa?"
Wajah Arini yang tertunduk kini terangkat.
"Dahulu kita berdua, sekarang bertiga."
Abi menggenggam jemari Arini. Meski sang wanita berusaha menarik, tapi genggaman itu tak dilepaskan Abi.
"Apa tidak ada keinginan dalam hatimu untuk kembali bersama, Arini?" bisiknya lirih.
Arini membuang wajah.
"Mas, saya rasa tidak perlu mengulang jawaban yang sudah saya beri semalam."
"Oke. Jika kini ibu merestui."
"Ibu takkan pernah merestui."
"Jika kali ini Mas berhasil meyakinkan."
Arini belum menjawab, tapi kereta sudah berhenti berjalan.
"Udah sampai, Ma."
"Ayo kita turun, Naina."
Arini turun terlebih dahulu lalu memegang jemari Naina agar bocah itu bisa ikut turun. Selanjutnya tanpa menunggu Abi, wanita itu berjalan lebih dulu.
"Kita duduk di sana yuk. Sambil makan es krim."
Arini berbalik saat suara Abi terdengar dari belakang. Mereka akhirnya menuju tempat yang ditunjuk Abi.
"Naina mau es krim yang mana?"
"Padle Pop, Om."
"Oke. Om beli sebentar ya."
Lima menit berlalu, Abi kembali dengan tiga buah es krim di tangan. Naina segera mengambil es krimnya sendiri. Arini masih tak bergerak. Akhirnya Abi yang mengambil es krim dan memberi untuk wanita itu.
"Kamu masih suka Conello 'kan?"
Arini hanya tersenyum dan meraih es krim itu.
"Naina, kamu suka Nak, jalan-jalan seperti ini?"
"Suka, Om. Makasih ya Om."
Naina merangkul badan Abi, Arini yang meyaksikan merasa begitu sakit.
"Naina, apa kamu pernah bertanya pada Mama, siapa sebenarnya papa yang selama ini tak pernah kamu temui?"
Naina mengangguk. Sedang Arini memandangi Abi. Ia menarik napas, takut tak kuat menerima kenyataan yang sebentar lagi akan terbongkar.
"Apa kamu pernah melihat fotonya?"
Naina menggeleng.
"Kamu tahu namanya?"
"Raden Mas Abiyasa Wirahaditenaya. Kata Mama Papa itu keturunan ningrat, Om."
Abi menarik napas berat. Entah kenapa saat mendengar kata ningrat, hatinya perih.
"Jika lelaki itu kini ada di depan Naina, kamu bakalan ngapain?"
Naina akan memeluk, mencium dan tidak akan melepasnya lagi, Om."
Jawaban itu membuat Arini memalingkan wajah. Air mata jatuh perlahan.
"Naina ...."
***
Bersambung
🥺
Bismillahirrahmanirrahim.
Terima kasih.
Utamakan baca Al-Quran.
"Naina ... Om ini adalah."Abi menghentikan ucapannya dan menatap Arini. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa tak siap. Dari pertama bertemu sampai detik ini, Naina begitu menyayangiya. Bagaimana jika gadis kecil itu tahu apa yang sudah terjadi tujuh tahun silam, akankah Naina membencinya?"Katakanlah, Mas."Abi menarik napas."Naina, Om ini adalah Papamu, Nak."Dua bola mata Naina membelalak tak percaya."Papa?""Iya, Sayang. Ini Papa.""Ma, benar apa yang dikatakan Om Abi?"Naina kini menatap Arini. Benar sedang mencari pembenaran."Iya, Sayang. Om Abi itu Papa kamu."Naina kembali menatap Abi. Lelaki itu tak lagi mengulur waktu, dengan segera ia membawa sang anak dalam dekapan. Air mata mengalir begitu saja dari kedua pelupuk mata.Sedang di samping mereka, Arini ikut menyeka dua pipinya. Tak pernah sekalipun dalam tujuh tahun ini, Arini membayangkan akan bertemu kembali dengan Abi. Dan yang tidak pula ada dalam angannya, akan ada rasa seperti ini bila mereka bertemu."Maafkan Papa, N
"Saya minta Mas Khalif dan Mas Abi pulang, ini sudah magrib. Saya tidak mau didatangi orang satu kampung hanya karena Mas sekalian berdebat di sini! Dengan sangat memohon, saya minta agar semuanya pulang!"Abi tampak menghela napas. Jujur ia berjanji tidak akan beranjak sebelum Khalif yang terlebih dahulu meninggalkan rumah Arini. Tapi permintaan khusus yang ditujukan Arini padanya, membuat sang lelaki tak ada pilihan lain."Arini mohon, Mas Abi."Abi dengan berat mengiyakan permintaan Arini. Ia memasuki kembali mobil lalu menghilang dari pandangan.Selepas kepergian Abi,"Saya tidak paham kenapa ada lelaki seperti suamimu itu!""Maksud Mas?""Harusnya kalau dia mencintaimu, dia bertahan meski dunia membencinya."Arini terdiam."Sekarang dia seperti memakan buah simalakama, memilihmu akan menyakiti hati orang yang dia sayangi. Memilih Dinda akan menyakitimu dan Naina. Harusnya jika dia mau bertahan, dari dulu dia sudah bersikeras!"Arini merasa dadanya tertusuk kuat. Benar apa yang d
Degup Jantung Arini menyentak saat mendengar permintaan Abi. Sungguh dia ingin secara tegas menolak permintaan lelaki itu. Namun lagi-lagi, pertanyaan Naina berikutnya membuat hati wanita itu kembali terenyuh."Ma, bisa nggak ya Allah menghentikan waktu?"Arini mendelik, dia membawa Naina dalam pangkuan."Tentu bisa jika Allah sudah berhendak, Nak. Tapi kenapa Naina pengen Allah menghentikan waktu?"Gadis kecil di hadapan Arini tersenyum malu."Soalnya Naina takut kalau udah malam, Papa bakalan pergi lagi, Ma?"Pandangan Arini kembali terlempar pada Abi. Ada yang membuat dadanya terasa nyeri. Ya Allah, bagaimana jika nanti mereka benar akan berpisah? "Papa nggak akan tinggalin kamu, Nak. Malam ini kita akan menginap di hotel. Iyakan, Ma?"Arini menarik napas berat saat Abi melempar pertanyaannya. Mengapa situasi selalu tak berpihak pada. Arini terpaksa mengiyakan demi kebahagiaan Naina."Iya, Sayang.""Hore asyik."Naina bersorak gembira, demikian dengan Abi. Lelaki itupun diam-diam
"Tidak Mas, jangan sentuh saya."Bulir air mata berderai dari sudut mata Arini. Abi yang menyaksikan merasa begitu terluka."Jangan menangis, Arini.""Jangan sentuh saya, Mas.""Tapi Mas rindu sama kamu. Tujuh tahun Mas menanti, apa salah ketika bertemu Mas menginginkannya.""Saya ingin kita berpisah, Mas.""Kamu ingin Naina terluka?""Bukankah ia sudah terluka semenjak dahulu?""Tapi kita bisa memperbaikinya.""Bukan kita, Mas. Tapi kamu saja!""Baik, benar Mas yang salah. Maka itu ijinkan Mas memperbaiki semuanya. Mas ingin membahagiakan kamu dan Naina."Abi terlihat begitu memohon."Bagaimana jika Mama tetap tak merestui, Mas? Bukankah sejak dahulu kamu ingin menjadi anak yang berbakti?""Mas sudah pernah menuruti keinginan, Mama. Sekarang Mas ikhlas menjadi durhaka asalkan bisa bertanggung jawab padamu dan Naina."Arini memejamkan matanya, jujur ia bahagia mendengar ketegasan itu akhirnya keluar dari mulut Abi. Tapi entah kenapa ia masih saja merasa takut.Sebuah kecupan diberikan
"Silahkan masuk, Mbak.""Aku nggak mau masuk!" sanggah Dinda dengan cepat."Jelaskan di sini saja, Arini. Mbak nggak bisa lama-lama."Wajah Raden Ayu yang biasa begitu ramah, kini seakan memerah menaruh amarah. Arini tak ragu, ia mengatakan statusnya tanpa ditutupi."Saya minta maaf, Mbak. Semua demi Naina.""Apa maksud kamu, Arini?"Dulu, saya pernah cerita sama Mbak, bahwa saya terpaksa meninggalkan suami karena ibu mertua memaksa untuk menggugurkan kandungan saya?"Raden Ayu tampak berpikir."Lalu apa hubungannya dengan Abi?""Mas Abi adalah lelaki yang saya tinggalkan itu, Mbak?"Seketika Raden Ayu dan Dinda tampak terhenyak."Mas Abi?"Kedua mata Dinda kini basah."Tidak mungkin Mas Abi?""Saya tidak bohong, Mbak.""Mbak Ayu, Dinda nggak mau kehilangan Mas Abi, Mbak. Dinda cinta sama Mas Abi."Dua bola mata Adinda sudah berlinangan cairan. Raden Ayu segera memeluk adiknya tersebut. Sedang di hadapan mereka, Arini benar-benar dilema."Jika memang benar yang kamu katakan, apa Abi m
Arini mengangguk, menyetujui putri kecilnya mengambil mainan yang diberikan Khalif. Dengan wajah berbinar Naina mengambil benda itu."Terima kasih ya, Om. Aku suka banget."Khalif tersenyum puas."Om senang kalau kamu suka," ucapnya seraya mengusap pucuk kepala gadis kecil di hadapannya."Om mau main sama Naina nggak?""Emang boleh?"Pandangan Khalif tertuju pada Arini. Wanita itu segera menjawab,"Naina, Om Khalif ini ada kesibukan. Nanti kamu main sama Mama aja ya, Nak.""Yaudah deh, aku masuk ke dalam dulu ya, Om."Khalif tampak mengangguk. Ia memerhatikan Naina yang terlihat berjalan kembali ke dalam rumah. Hatinya sakit, mengingat seumur hidup dia tak pernah tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi Arini? Khalif menghela napas berat."Makasih ya Mas untuk hadiahnya. Maaf Arini nggak bisa membalas dengan apapun.""Tidak perlu membalas, saya memberi tanpa mengharap balasan."Arini hanya bergeming."Jika kamu memutuskan untuk kembali pada Abi, maka saya akan mundur. Suatu saat
Dengan mata yang basah, Abi membawa sang ibu ke rumah sakit. Sampai di UGD, ibundanya dengan segera dilakukan penanganan awal. Sementara itu, Abi mencoba menelpon sang kakak yang juga bertempat tinggal di Jakarta Pusat.Sesaat ia terlupa akan seorang wanita yang tengah menunggu kabar darinya. Arini."Ibu Syntia mengalami stroke ringan dokter Abi. Tapi tidak mengapa, In Syaa Allah bisa terapi untuk memperbaiki segala gejala yang timbul. Hanya harus diingat, jauhi beliau dari hal-hal yang bisa memicu terjadinya serangan stroke yang sebenarnya. Karena stroke ringan ini adalah lampu kuning, bahwa ada yang lebih berbahaya lagi yang kita takutkan akan terjadi ke depan. Sebab itu harus bisa dijaga dan sebisa mungkin dicegah faktor pemicunya."Dokter spesialis jantung di hadapan Abi bercerita panjang lebar. Abi dan kakak kandungnya mengangguk bersamaan. Mereka lalu memasuki kamar untuk mengetahui keadaan sang ibu."Ma ...."Begitu melihat Abi, sang ibu langsung membuang wajah. Hal itu membuat
Wajah ibunda dokter Abi terlihat kaku, mata dan bibir sebelah kiri lebih jelas terlihat penurunannya. Sementara itu lengan sebelah kanan kaku, tak dapat digerakkan dengan bebas, sedang jemari tampak menegang. Wanita paruh baya itu bahkan tak dapat berbicara jelas. Sungguh jika diperhatikan dengan seksama, rasa iba begitu dalam membelai jiwa.Dalam rasa sakit yang juga harus ia pikul sebab tak dapat makan dan minum dengan normal, namun amarahnya pada sang anak dan menantu belum jua surut.Ia justru menuduh menantu tak diharapkan itu sebagai penyebab penyakit yang kini menimpa tubuhnya.Abi masih menanti di luar kamar, kedua saudara kandung yang sudah berada di ruang rawatan tak mengijinkan adik semata wayang mereka untuk masuk ke dalam. Akhirnya, demi dapat berbicara dengan sang ubu, ia dan istri bersedia menunggu jam berputar meski hanya duduk di kursi tunggu.Jam menunjukkan tepat pukul dua belas siang. Karena bosan menunggu, Naina jadi tertidur di pangkuan sang papa."Mas, Arini s