Acara telah usai, Arini kembali ke kamar setelah sekian lama menyambut tamu hingga kakinya terasa pegal. Wanita itu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Sepertinya bayi kecil yang berada di dalam rahimnya tidak suka jika dia terlalu lama berdiri. Semenjak tadi siang sampai detik ini, sang bayi tidak berhenti menendang. Jika sudah begini, tak ada lain obatnya selain jemari sang papa yang bertugas mengusap-usap perut.Arini menghela napas, ingin menyuruh ART untuk memanggil Abi. Tapi rasa segan menuntunnya untuk menunda keinginan itu. Sekitar lima belas menit berlalu, Arini sudah bangkit, duduk, tidur, tapi rahimnya masih tak tenang. Sang bayi masih tak mau berhenti berputar dan menendang. Tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Wajah Arini seketika berbinar. Dalam bayangan pasti itu Abi. Tapi ternyata ..."Ma ...."Arini menarik napas berat, ternyata Naina?"Masuk Sayang, ada apa?"Naina melangkah menuju ranjang tempat sang ibu duduk. Lalu dia naik menyeimbangkan duduk dengan sang i
Tiga bulan kemudian ...Arini tersentak dari tidur, dia merasa ranjang tempat ia berbaring sudah basah oleh cairan. Arini segera bangkit untuk mengecek. Ia berdiri, namun sesuatu seperti meletus dari jalan lahir wanita itu.Astaghfirullah, Arini begitu ketakutan saat tahu jika yang keluar tersebut adalah air ketuban. Dengan bersegera ia membangunkan sang suami."Mas bangun, Mas."Abi yang baru saja tertidur sekitar dua jam karena baru pulang dari klinik terlihat berat membuka mata."Ada apa, Sayang?"Abi masih berbicara dengan tenang. Tapi tidak dengan Arini."Mas, pecah ketuban?"Mendengar ucapan sang istri, Abi tersentak hebat, ia bangkit hingga ke posisi duduk."Mana coba Mas lihat?"Arini menunjuk lantai yang sudah basah oleh cairan ketubannya."Astaghfirullah, kita ke rumah sakit sekarang? Kamu duduk dulu, jangan banyak bergerak. Biar Mas beresin baju-baju sama perlengkapan bayi."Abi membantu Arini duduk, dia segera mengganti pakaian dan setelah itu memilihkan pakaian ganti untu
"Ma, Papa aku itu orangnya gimana, sih?"Naina bertanya dengan wajah serius? Terhitung minggu ini dia sudah bertanya sosok sang ayah hampir setiap malam. Tapi tetap saja pertanyaan itu lagi yang dia ajukan pada ibunya.Arini yang sedang sibuk menyelesaikan cerpen untuk mengisi rubrik pada sebuah majalah remaja, terpaksa menghentikan kegiatannya lalu memfokuskan diri pada sang buah hati."Papa kamu itu orangnya tampan, baik, taat ibadah dan sayang sama ibunya."Jika empat malam kemarin Naina terlihat tidak lagi mengajukan pertanyaan. Tapi kali, dia masih duduk sembari berpikir."Ada apa lagi, Sayang?" Arini kembali bertanya, sebab melihat raut wajah Naina yang menyiratkan ketidakpuasan."Memangnya selain tampan, baik, taat ibadah dan sayang sama ibunya, Papa nggak punya ciri khas lain ya, Ma?"Dua netra Arini mendelik sedang bibirnya berusaha mengulum senyum."Misalnya, Papa itu punya tubuh yang tinggi, kulitnya sawo matang, rambutnya lurus, terus apalagi Ma?""Emm, semua yang Naina s
Arini dan Naina sudah berada di dalam kios telpon umum. Sang ibu akan menepati janjinya kemarin untuk menelpon papa. Meski berat Arini menguatkan diri untuk menekan beberapa nomor telpon Abi.[Hallo ....]Degup jantung Arini menyentak kuat tatkala suara yang dahulu begitu ia candui, kini terdengar kembali di telinga. Sejenak tenggorokannya tercekat.[Mas ....]Dua bola mata Arini seketika basah. Sedang di seberang tak ada jawaban.[Mas ....][Arini? Kaukah itu?]Sebulir air mata luruh di kedua pipi Arini. Sungguh ia tak kuasa jika harus berbicara kembali dengan Abi.[Kaukah itu Arini? Jawab Arini.]Seketika Arini menutup telpon. Ia menekan dada dengan kuat. Bagaimana mungkin Abi masih mengenali suaranya? Hal ini benar-benar membuat Arini lemah.Ia kuatkan diri untuk melangkah keluar dari ruangan kecil yang dibayarnya untuk menelpon tadi. Sang anak yang menanti di luar tampak bersemangat."Diangkat Ma telponnya?"Naina bangkit mendekati sang ibu. Arini hanya menghela napas berat. Tidak
Arini berjalan ke arah dimana suara hanya bersumber dari tempat itu. Begitu terhenyak saat melihat pemandangan dimana putrinya duduk di samping sang papa yang akan melangsungkan lamaran pada seorang wanita. Arini menekan dada yang tiba-tiba terasa sakit. Dua netranya basah. Ada rindu dan keinginan untuk menumpahkan segala kegalauan diri selama ini. Juga ada cemburu yang bersiap menguasai diri. Serta yang paling tidak dia harapkan, ada kecewa yang semakin menusuk dada."Aku akan mendoakan kebaikan untuk niatmu ini, Mas. Tapi sebelum pernikahan itu terjadi, kita harus bertemu. Kamu belum menjatuhkan talak untukku."Arini membalikkan badan hendak pergi, tapi gerakannya yang cepat berhasil membuat ia menabrak sesuatu."Astaghfirullah, maaf saya tak sengaja."Arini memandangi sosok yang baru saja ia tabrak itu. Seorang lelaki. Raden Mas Arshakalif. Dia adalah adik sepupu suami Raden Ayu yang tempo hari terus saja digodain sebagai calon ayah Naina."Maaf Mas, saya tidak sengaja."Arini men
"Arini?"Dua bola mata Abi menatap Arini lekat."Arini?"Abi mengulang panggilan, seolah tak percaya wanita yang dia cari selama bertahun-tahun kini ada di hadapannya. Tangan lelaki itu hampir saja menyentuh lengan Arini, tapi tiba-tiba ...Bruuukkk!"Astaghfirullah, Abi ... Mamamu!"Abi terhenyak, ia segera membalikkan tubuh dan begitu terkejut saat mendapati mamanya jatuh tersungkur ke lantai. Ia abaikan Arini dan berlari menolong sang ibu. Hati Arini terasa sakit. Air mata kembali mengambang di kedua pelupuk. Ia memandangi lelaki itu yang terlihat begitu khawatir akan ibunya. Ia ingin berlari, tapi ikut khawatir pada perempuan yang masih berhak ia panggil ibu mertua itu. Arini berdiri mematung di tempatnya. Sedang di kejauhan ..."Mama kenapa, Ma?"Wanita paruh baya di hadapan Abi memegang dadanya kuat. Melihat hal itu sang anak semakin kalut. "Tolong ambilkan obat di dalam tas Mama, Tante," pinta Abi pada wanita yang berjongkok di sisinya. Wanita itu segera mengambil dan menyer
Arini tahu akan ada dua pilihan jika mereka kembali membuka ruang untuk bicara, terluka dan tersakiti. Dua pilihan yang tak akan pernah berpihak padanya. Tapi ucapan Abi selanjutnya membuat hati wanita itu luluh."Mas mohon Dek, Mas rindu sama kamu."Perkataan itu, membuat Arini mengerjap berkali-bali. Ia berusaha mengusir sekian banyak air mata yang hendak mendesak keluar. Baru mendengar satu kali saja kata rindu dari mulut Abi, hatinya sudah patah ara. Bagaimana jika yang lain."Arini ...."Abi mendorong pintu lebih lebar. Dua netranya kini berhasil menatap Arini lekat. Sungguh, wanita itu juga dapat menyaksikan bulir bening yang membasahi mata lelaki di hadapannya, dan itu benar-benar membuat hati Arini perih."Mas sangat bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama tak saling mengetahui kabar, kini kita kembali bertemu, Arini."Arini membuang wajah."Katakan kenapa kamu pergi, Dek? Kamu membenci suamimu ini? Kamu membenci pria brengsek yang tega menyuruh seorang istri menggugurkan kandu
Mengenai permintaan Abi, Arini sudah beristikharah. Kini hanya menunggu kepastian dari Allah. Ketika pagi menyapa, seperti biasa Arini sudah siap memasak, beres rumah dan mencuci pakaian. Tepat pukul enam dia membangunkan Naina, dan mengajak putrinya itu untuk bersiap-siap ke sekolah.Sekolah Naina hanya berjarak 1 kilometer dari rumah, biasa mereka menaiki ojek agar dapat sampai ke tempat tersebut. Meski terlihat tenang, sebenarnya Arini berkali-kali mengecek ke luar rumah. Dia teringat akan kata-kata Abi semalam untuk datang menemui Naina pagi ini.Bukan serupa pengharapan, mungkin keingintahuan. Benarkah lelaki itu akan menepati ucapannya?Arini pasrah, saat mendapati jam sudah menunjukkan pukul tujuh tapi tak ada satu manusiapun yang sampai ke rumahnya."Yuk Nak, kita pergi."Arini mengajak sang buah hati. Tapi, kedatangan sebuah mobil membuat degup tak biasa menyentak jantung Arini."Mobil siapa itu, Ma?"Arini menatap lekat, ia tak bisa menandai mobil siapa yang kini terparkir