"Arini?"
Dua bola mata Abi menatap Arini lekat.
"Arini?"
Abi mengulang panggilan, seolah tak percaya wanita yang dia cari selama bertahun-tahun kini ada di hadapannya. Tangan lelaki itu hampir saja menyentuh lengan Arini, tapi tiba-tiba ...
Bruuukkk!
"Astaghfirullah, Abi ... Mamamu!"
Abi terhenyak, ia segera membalikkan tubuh dan begitu terkejut saat mendapati mamanya jatuh tersungkur ke lantai. Ia abaikan Arini dan berlari menolong sang ibu.
Hati Arini terasa sakit. Air mata kembali mengambang di kedua pelupuk. Ia memandangi lelaki itu yang terlihat begitu khawatir akan ibunya. Ia ingin berlari, tapi ikut khawatir pada perempuan yang masih berhak ia panggil ibu mertua itu.
Arini berdiri mematung di tempatnya. Sedang di kejauhan ...
"Mama kenapa, Ma?"
Wanita paruh baya di hadapan Abi memegang dadanya kuat. Melihat hal itu sang anak semakin kalut.
"Tolong ambilkan obat di dalam tas Mama, Tante," pinta Abi pada wanita yang berjongkok di sisinya. Wanita itu segera mengambil dan menyerahkan obat tersebut.
Dengan segera Abi memasukkan sebutir obat ke dalam mulut mamanya dan meminumkan sedikit air. Tanpa bicara ia menggendong sang ibu dan membawa keluar hingga masuk ke mobil.
Air mata Abi menetas, ia menangisi takdir yang begitu curang padanya. Kenapa, kenapa disaat ia menemukan Arini, hal ini justru terjadi. Abi tak mungkin tega membiarkan ibunya dan memilih untuk berbicara dengan Arini. Ibu sekarat, itu lebih utama.
Tapi Abi sadar, apa yang dilakukannya itu, pasti membuat Arini kembali merasa sakit dan merasa tak diutamakan.
Abi mengusap wajah ketika sudah duduk dibalik kemudi.
"Tolong beresi semuanya, Tante. Aku bawa Mama ke rumah sakit terdekat," pesan Abi pada Tantenya.
Setelah itu Abi menghilang dari pandangan. Selepas kepergian Abi, berikut menyusul di belakang, Raden Ayu dan keluarganya. Juga seluruh keluarga pihak Abi yang datang ke rumah itu untuk menghadiri acara pertunangan tersebut. Semua menyusul ke rumah sakit.
*
"Ma ...."
Panggilan Naina membuyarkan lamunan Arini. Wanita itu mengusap mata.
"Kita pulang ya, Nak?"
Naina mengangguk.
"Ma, Om Abi kemana?"
"Om Abi membawa ibunya ke rumah sakit, Nak. Ibunya pingsan."
"Kenapa pingsan, Ma?"
"Mungkin kena serangan jantung."
"Ayo kita ikut menjenguk, Ma."
"Tidak usah, Nak. Kita tidak tahu beliau dibawa kemana."
"Tanya sama Bunda Raden Ayu, Ma. Naina pengen lihat Mamanya Om Abi."
"Jangan sekarang ya, Nak. Kita tunggu sampai tenang dulu baru nanti kita jenguk."
Lagi-lagi Naina terpaksa berdamai dengan penolakan mamanya. Arini memilih keluar dari rumah itu sembari menggenggam tangan sang anak. Ia berjalan keluar perumahan, hingga sampai ke pinggiran jalanan.
Arini berjalan beberapa meter hingga menemukan sebuah halte. Di tempat itu ia duduk menunggu bus yang akan membawanya pulang ke rumah.
Akhirnya sebuah bus berhenti di depan Arini.
Wanita itu segera menaiki kendaraan tersebut. Hanya ada satu bangku kosong. Ia segera berjalan ke tempat tersebut.
Arini memberi sebuah senyuman pada lelaki yang akan menjadi teman duduknya di bus tersebut. Sungguh terkejut, saat mendapati lelaki itu tak lain adalah yang ia temui tadi di rumah Raden Ayu.
"Mas Khalif?"
Lelaki di hadapan Arini tersenyum.
"Mari duduk," sapanya sambil bergeser lebih dalam. Dengan perasaan sungkan Arini duduk di sebelah Khalif.
"Hallo anak manis, namamu siapa?"
Naina menatap lelaki di hadapannya.
"Namaku Naina, Om."
"Nama yang bagus, sini yuk duduk di pangkuan Om, biar Mamamu nggak kecapean mangku."
"Eh, jangan Mas. Biar saya aja yang pangku."
Arini duduk sempurna dan mendudukkan Naina di atas kedua pahanya.
"Kalian pulang kemana?"
Arini menyebut alamat rumahnya.
"Mas nggak ikut Raden Ayu dan keluarga menjenguk calon mertuanya Adinda?"
"Ngapain, bukan urusan saya. Mending nemenin kamu."
"Nemenin saya?"
Arini menunjuk dirinya.
"Iyalah. Nemenin kamu sama Naina. Kamu mau nggak Om nemeni sampai rumah?" tanya Khalif pada Naina. Bocah itu hanya mengangguk.
Arini tak lagi bertanya, dia memilih diam dan memandang ke samping. Bukan tak ingin ramah pada Khalid, tapi di benaknya peristiwa tadi di rumah Raden Ayu masih melintas lalu.
Pandangan Abi, suaranya, ah Arini sangat rindu bisa bersama kembali.
Tapi tentu saja itu hanya akan menjadi asa yang tak pernah bisa ia gapai. Baru melihatnya saja, ibu mertua sudah kena serangan jantung. Apalagi jika Abi kembali ingin bersama. Pasti kejadian tujuh tahun silam akan kembali terulang.
Arini menghela napas berat. Ia menanamkan niat kuat dalam hati, bahwa sekarang dan sampai kapanpun, tidak akan membuka hati kembali untuk Abi. Jika memang mereka berkesempatan bertemu, maka itu hanya akan digunakan untuk menuntut talak. Tidak lebih.
Naina boleh saja tahu bahwa Abi adalah papanya, tapi berharap kembali, bocah itupun harus paham bahwa jika bersama akan menyakiti banyak orang, maka lebih baik berpisah.
"Naina udah sekolah?"
Pertanyaan Khalif membuyarkan lamunan Arini.
"Udah Om."
"Udah kelas berapa?"
"Baru kelas satu, Om."
"Sekolah dimana?"
Naina menatap sang ibu.
"SD Negeri 30, Mas."
"Kenapa nggak disekolahkan di SD swasta saja, Arini? Pasti sistem pendidikannya lebih bagus."
"Saya tidak punya biaya, Mas. Lagi pula, dimanapun sekolah asalkan si anak itu serius, pasti sukses."
"Kalau Oom pindahkan kamu ke sekolah yang lebih bagus mau nggak?"
"Mau banget, Om."
"Jangan Mas, Naina udah cocok sekolah di tempat biasa. Sekolah yang lebih bagus itu diperuntukkan bagi mereka yang punya penghasilan minimal lima juta perbulan. Bukan untuk kami, Mas."
"'Kan tadi saya bilang saya yang biayakan. Naina nanti tiap pagi Om yang jemput, terus pulangnya Om yang antar."
"Mau, Om."
"Naina!"
Arini menatap sang anak dengan dua mata ia lebarkan. Kemudian ia kembali menatap Khalif.
"Tolong Mas, jangan bujuk Naina untuk menyukai hal-hal yang tidak cocok untuk dia."
Khalif tersenyum, menatap wanita ayu di hadapannya yang menyiratkan kemarahan, entah kenapa semakin membuat degup tak biasa di dalam dada.
Arini memalingkan wajah, saat menyadari Khalif tersenyum mendapati amarahnya.
Bus terus berjalan, Khalif terus membercandai Naina. Sedang Arini semakin merasa tak nyaman. Ketika bus berhenti, Arini segera bangkit untuk turun. Ia pikir Khalif hanya akan mengikutinya sampai di situ, ternyata tidak. Khalif ikut turun.
Arini menghentikan langkah dan menatap lelaki itu.
"Mas mau kemana?"
"Mau ke rumah kamu."
"Siapa yang ajak?"
"Naina."
Arini menatap Naina tak percaya."
"Benar kamu yang ajak Om Khalif?"
Naina tersenyum.
"Mama tadi nggak dengar di bus? Kalau nggak boleh, harusnya Mama larang waktu Naina ajak Om Khalif ke rumah."
Arini menghela napas. Kapan putrinya dan lelaki itu berbicara demikian, kenapa ia tidak dengar? Mungkin karena terlalu sibuk memikirkan Abi.
"Mas nggak akan lama kok, Mas cuma mau tahu aja, posisi rumah kalian dimana?"
Arini terdiam, dan tak lagi mempermasalahkan. Ia berjalan lebih dulu.
"Jangan seperti orang marahan gini donk."
Khalif mencoba mengejar Arini.
"Terus harus seperti apa, Mas?"
Khalif berdiri di samping Arini.
"Begini. Jalannya berbarengan. Naina maukan pegangan sama tangan kiri Om?"
Naina mengangguk, membuat pandangan Arini kembali tertoleh pada Khalif. Lagi-lagi, lelaki itu hanya tersenyum. Senyum yang membuat Arini merasa jengkel.
Sampai di rumah.
"Ini rumah kami, Mas."
Khalif mengangguk.
"Yasudah Om pamit, ya. Tapi besok masih boleh main ke rumah nggak?"
"Boleh, Om."
"Naina."
Arini mencoba memperingatkan sang anak. Naina tersenyum malu.
Akhirnya langkah sang lelaki kembali terangkat. Ia semakin yakin pada niatnya untuk mendekati Arini. Ia tak butuh Mas Arya untuk mendapatkan wanita itu, Khalif lebih suka tantangan. Baginya Arini adalah tantangan yang harus ia dapatkan.
Bagaimanapun caranya.
*
Arini menatap langit-langit kamar, setelah mengalami kejadian tadi di rumah Raden Ayu sedikitpun ia tak bisa berhenti memikirkan Abi. Wanita itu membalikkan badannya menatap Naina.
Arini mengelus dan mengecup pucuk kepala sang anak. Enam tahun membesarkan putrinya seorang diri. Tapi ia kuat dan tegar.
Arini berbicara seorang diri.
Naina, dahulu Abimu meminta agar Mama mengugurkanmu, Sayang. Dia menuruti kemauan ibunya. Tapi Mama tidak melakukan hal itu. Mama ingin kamu hidup dan menebar kebaikan bagi banyak orang.
Terbukti, banyak yang menyukaimu. Dan kamu selalu melakukan apa yang terbaik.
Sekarang saat Abimu kembali muncul di hadapan kita, entah kenapa Mama merasa takut.
Arini mengusap mata yang tiba-tiba basah. Kesedihannya hilang saat mendengar salam yang berasal dari depan rumah.
Arini membangunkan tubuh lalu berjalan ke depan. Ia membuka pintu tanpa mengecek dahulu seperti yang ia lakukan tiap ada yang bertamu malam-malam.
Begitu pintu terbuka, dua netra Arini terbelalak. Tangannya dengan segera hendak kembali menutup pintu. Tapi lengan kekar lelaki yang berdiri di depan pintu dengan cepat menahan pintu tersebut.
"Tolong jangan ditutup pintunya Dek, Mas ingin bicara sama kamu."
***
Bersambung
🥺
Semoga Arini kuat menghadapi setiap masalah dalam hidupnya.
Terima kasih.
Utamakan baca Al-Qur'an
Arini tahu akan ada dua pilihan jika mereka kembali membuka ruang untuk bicara, terluka dan tersakiti. Dua pilihan yang tak akan pernah berpihak padanya. Tapi ucapan Abi selanjutnya membuat hati wanita itu luluh."Mas mohon Dek, Mas rindu sama kamu."Perkataan itu, membuat Arini mengerjap berkali-bali. Ia berusaha mengusir sekian banyak air mata yang hendak mendesak keluar. Baru mendengar satu kali saja kata rindu dari mulut Abi, hatinya sudah patah ara. Bagaimana jika yang lain."Arini ...."Abi mendorong pintu lebih lebar. Dua netranya kini berhasil menatap Arini lekat. Sungguh, wanita itu juga dapat menyaksikan bulir bening yang membasahi mata lelaki di hadapannya, dan itu benar-benar membuat hati Arini perih."Mas sangat bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama tak saling mengetahui kabar, kini kita kembali bertemu, Arini."Arini membuang wajah."Katakan kenapa kamu pergi, Dek? Kamu membenci suamimu ini? Kamu membenci pria brengsek yang tega menyuruh seorang istri menggugurkan kandu
Mengenai permintaan Abi, Arini sudah beristikharah. Kini hanya menunggu kepastian dari Allah. Ketika pagi menyapa, seperti biasa Arini sudah siap memasak, beres rumah dan mencuci pakaian. Tepat pukul enam dia membangunkan Naina, dan mengajak putrinya itu untuk bersiap-siap ke sekolah.Sekolah Naina hanya berjarak 1 kilometer dari rumah, biasa mereka menaiki ojek agar dapat sampai ke tempat tersebut. Meski terlihat tenang, sebenarnya Arini berkali-kali mengecek ke luar rumah. Dia teringat akan kata-kata Abi semalam untuk datang menemui Naina pagi ini.Bukan serupa pengharapan, mungkin keingintahuan. Benarkah lelaki itu akan menepati ucapannya?Arini pasrah, saat mendapati jam sudah menunjukkan pukul tujuh tapi tak ada satu manusiapun yang sampai ke rumahnya."Yuk Nak, kita pergi."Arini mengajak sang buah hati. Tapi, kedatangan sebuah mobil membuat degup tak biasa menyentak jantung Arini."Mobil siapa itu, Ma?"Arini menatap lekat, ia tak bisa menandai mobil siapa yang kini terparkir
Abi turun dari mobil, ia memutuskan untuk tidak langsung kembali. Lelaki itu duduk di kios kecil pinggiran jalan. Memesan kopi panas sekadar mengusir rasa sakit yang tiba-tiba memenuhi dada.Semenjak kecil, Abi memang terbiasa dimanja oleh orang tuanya. Setelah sepuluh tahun kelahiran sang kakak, barulah Abi kecil hadir di rahim sang mama. Hal itu membuat dia tidak hanya dimanja oleh mama ataupun papa, tapi juga oleh kakak perempuan dan kakak lelakinya.Abi anak penurut, semua keinginan keluarganya hampir tidak ada yang ia tolak untuk dilakukan. Hanya soal cinta, itupun Abi terpaksa harus diam-diam menikahi Arini. Demi menjaga perasaan sang ibu.Nikah bawah tangan, awalnya Arini menolak keinginan tersebut. Tapi karena kegigihan Abi, juga janji yang diucapkan lelaki itu, Arini luruh. "Nikah tanpa restu itu berat, Nduk. Ibu takut kamu akan menderita setelahnya."Itu adalah perkataan ibunda Arini yang tidak hanya diucapkan di hadapan sang anak gadis, juga di hadapan Abi. Selaku lelaki y
"Naina ... Om ini adalah."Abi menghentikan ucapannya dan menatap Arini. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa tak siap. Dari pertama bertemu sampai detik ini, Naina begitu menyayangiya. Bagaimana jika gadis kecil itu tahu apa yang sudah terjadi tujuh tahun silam, akankah Naina membencinya?"Katakanlah, Mas."Abi menarik napas."Naina, Om ini adalah Papamu, Nak."Dua bola mata Naina membelalak tak percaya."Papa?""Iya, Sayang. Ini Papa.""Ma, benar apa yang dikatakan Om Abi?"Naina kini menatap Arini. Benar sedang mencari pembenaran."Iya, Sayang. Om Abi itu Papa kamu."Naina kembali menatap Abi. Lelaki itu tak lagi mengulur waktu, dengan segera ia membawa sang anak dalam dekapan. Air mata mengalir begitu saja dari kedua pelupuk mata.Sedang di samping mereka, Arini ikut menyeka dua pipinya. Tak pernah sekalipun dalam tujuh tahun ini, Arini membayangkan akan bertemu kembali dengan Abi. Dan yang tidak pula ada dalam angannya, akan ada rasa seperti ini bila mereka bertemu."Maafkan Papa, N
"Saya minta Mas Khalif dan Mas Abi pulang, ini sudah magrib. Saya tidak mau didatangi orang satu kampung hanya karena Mas sekalian berdebat di sini! Dengan sangat memohon, saya minta agar semuanya pulang!"Abi tampak menghela napas. Jujur ia berjanji tidak akan beranjak sebelum Khalif yang terlebih dahulu meninggalkan rumah Arini. Tapi permintaan khusus yang ditujukan Arini padanya, membuat sang lelaki tak ada pilihan lain."Arini mohon, Mas Abi."Abi dengan berat mengiyakan permintaan Arini. Ia memasuki kembali mobil lalu menghilang dari pandangan.Selepas kepergian Abi,"Saya tidak paham kenapa ada lelaki seperti suamimu itu!""Maksud Mas?""Harusnya kalau dia mencintaimu, dia bertahan meski dunia membencinya."Arini terdiam."Sekarang dia seperti memakan buah simalakama, memilihmu akan menyakiti hati orang yang dia sayangi. Memilih Dinda akan menyakitimu dan Naina. Harusnya jika dia mau bertahan, dari dulu dia sudah bersikeras!"Arini merasa dadanya tertusuk kuat. Benar apa yang d
Degup Jantung Arini menyentak saat mendengar permintaan Abi. Sungguh dia ingin secara tegas menolak permintaan lelaki itu. Namun lagi-lagi, pertanyaan Naina berikutnya membuat hati wanita itu kembali terenyuh."Ma, bisa nggak ya Allah menghentikan waktu?"Arini mendelik, dia membawa Naina dalam pangkuan."Tentu bisa jika Allah sudah berhendak, Nak. Tapi kenapa Naina pengen Allah menghentikan waktu?"Gadis kecil di hadapan Arini tersenyum malu."Soalnya Naina takut kalau udah malam, Papa bakalan pergi lagi, Ma?"Pandangan Arini kembali terlempar pada Abi. Ada yang membuat dadanya terasa nyeri. Ya Allah, bagaimana jika nanti mereka benar akan berpisah? "Papa nggak akan tinggalin kamu, Nak. Malam ini kita akan menginap di hotel. Iyakan, Ma?"Arini menarik napas berat saat Abi melempar pertanyaannya. Mengapa situasi selalu tak berpihak pada. Arini terpaksa mengiyakan demi kebahagiaan Naina."Iya, Sayang.""Hore asyik."Naina bersorak gembira, demikian dengan Abi. Lelaki itupun diam-diam
"Tidak Mas, jangan sentuh saya."Bulir air mata berderai dari sudut mata Arini. Abi yang menyaksikan merasa begitu terluka."Jangan menangis, Arini.""Jangan sentuh saya, Mas.""Tapi Mas rindu sama kamu. Tujuh tahun Mas menanti, apa salah ketika bertemu Mas menginginkannya.""Saya ingin kita berpisah, Mas.""Kamu ingin Naina terluka?""Bukankah ia sudah terluka semenjak dahulu?""Tapi kita bisa memperbaikinya.""Bukan kita, Mas. Tapi kamu saja!""Baik, benar Mas yang salah. Maka itu ijinkan Mas memperbaiki semuanya. Mas ingin membahagiakan kamu dan Naina."Abi terlihat begitu memohon."Bagaimana jika Mama tetap tak merestui, Mas? Bukankah sejak dahulu kamu ingin menjadi anak yang berbakti?""Mas sudah pernah menuruti keinginan, Mama. Sekarang Mas ikhlas menjadi durhaka asalkan bisa bertanggung jawab padamu dan Naina."Arini memejamkan matanya, jujur ia bahagia mendengar ketegasan itu akhirnya keluar dari mulut Abi. Tapi entah kenapa ia masih saja merasa takut.Sebuah kecupan diberikan
"Silahkan masuk, Mbak.""Aku nggak mau masuk!" sanggah Dinda dengan cepat."Jelaskan di sini saja, Arini. Mbak nggak bisa lama-lama."Wajah Raden Ayu yang biasa begitu ramah, kini seakan memerah menaruh amarah. Arini tak ragu, ia mengatakan statusnya tanpa ditutupi."Saya minta maaf, Mbak. Semua demi Naina.""Apa maksud kamu, Arini?"Dulu, saya pernah cerita sama Mbak, bahwa saya terpaksa meninggalkan suami karena ibu mertua memaksa untuk menggugurkan kandungan saya?"Raden Ayu tampak berpikir."Lalu apa hubungannya dengan Abi?""Mas Abi adalah lelaki yang saya tinggalkan itu, Mbak?"Seketika Raden Ayu dan Dinda tampak terhenyak."Mas Abi?"Kedua mata Dinda kini basah."Tidak mungkin Mas Abi?""Saya tidak bohong, Mbak.""Mbak Ayu, Dinda nggak mau kehilangan Mas Abi, Mbak. Dinda cinta sama Mas Abi."Dua bola mata Adinda sudah berlinangan cairan. Raden Ayu segera memeluk adiknya tersebut. Sedang di hadapan mereka, Arini benar-benar dilema."Jika memang benar yang kamu katakan, apa Abi m