Kring...
Apa yang paling membahagiakan bagi anak sekolah?
Sangat jelas dari suara bel pertanda pulang sekolah. Namun, hanya beberapa siswa yang menganggap itu adalah kebahagiaan karena ada siswa yang harus beberapa kali pergi ke tempat bimbel mereka.
Rania tak pernah ikut bimbel selama ini. Salah satu alasannya adalah karena kondisinya yang tak memungkinkan untuk melakukannya seperti anak lainnya.
"Apa yang kamu katakan pada Fani kemarin?" Desfa membuka pembicaraan untuk memecahkan kesunyian yang ada.
"Aku tak ada berkata pada Fani," elaknya.
"Bohong, aku lihat kamu berbisik padanya." ujar Desfa.
Rania tetap diam menatap jalan lurus ke depan. Tak jarang ia harus menendang batu yang berserak dan mungkin akan menyakiti kakinya.
"aku bilang terserah pada Fani,"
"Ran, kamu nggak bohong? Kalau gitu ren
2005"anak anda terkena leukemia stadium satu. Kami akan memberikan antibiotik sebagai tahapan awal. Kita akan menunggu perkembangan untuk pengobatan selanjutnya." dokter itu menutup map-nya dan melepas kacamatanya. Ia menatap sekilas pasien dihadapannya yang bergetar cemas dan ketakutan."Saya nggak mau kehilangan anak sulung saya. Berapapun akan saya berikan, asalkan dokter melakukan segala cara agar anak saya bisa sembuh" Vita pasrah, menjambak rambutnya pelan dan menyembunyikan wajahnya di pundak suaminya, Doni."Anak kalian sangat kuat dan semangat dalam hidupnya. Saya yakin Rania bisa melewatinya" Ucap dokter seperti biasa guna menenangkan pasiennya.Doni menghela nafas dan menggenggam tangan istrinya itu.______________________________(2015)"Indonesia tanah air ku, tanah tumpah darahku....."Semua siswa berbaris dan horm
"Bel akan berbunyi dalam waktu lima menit lagi! Bapak harap peserta baru berkumpul dilapangan sesuai kelompoknya masing masing." Hampir saja telat. Untung lari Rania lumayan kencang. Ia mengambil nafas sembari menyeka peluh di dahinya sesekali menatap kesal arah belakang."Hufft, Liat aja! nanti Rania bakal buat kak Rino jadi makanan kucing!" gumamnya."masuk!"Rania setengah berlari menuju lapangan tempat peserta MOS berlangsung. Matanya melirik ke kanan dan Ke kiri hingga ia mendapati sahabatnya tengah mengangkat kedua tangannya memanggil Rania."Sini," ucap Desfa dengan bahasa bibirnya."Oke!"Ketua osis beserta anggotanya berdiri dengan tangguh di depan. Ada yang berkacak pinggang memarahi siswa yang tak bisa diam, ada yang saling menggoda demi memenuhi kencan mereka, dan berbagai macam tipe yang dapat merrka temukan."Kali ini kakak
"Kak Rania aku mau nunjukin sesuatu."Rania yang baru saja pulang sekolah segera meletakan tasnya asal dan berjalan menuju adiknya."emang ada apaan?" Rania menelusuri ruangan yang pintunya telah ditutup oleh Fani."Cerpen Fani bakal terbit di majalah anak dan Fani bakal dapat uang. Nanti, Fani beliin kakak hadiah!"Fani membuka laptopnya dan menunjukan bukti pengiriman cerpen di email dan sudah di setujui oleh pihak penerbit."Wow!! Keren! Sejak kapan kamu jadi suka nulis?" tanya Rania."Udah lama. Sebenarnya, bukan ini aja cerpen Fani yang sudah terbit. Masih ada, tapi nggak Fani kasih tau."Fani tersenyum menatap Rania. Tampak dari raut wajah Fani tersimpan sesuatu yang tersembunyi. Fani enggan bercerita karena takut salah bicara."Tapi kenapa?" tanya Rania karena ia merasa ada sesuatu yang tidak beres pada Fani. Jujur, F
Desfa pulang untuk mengambil barang pentingnya sebelum menginap beberapa hari di rumah Rania.Hari sudah gelap, rumah tampak kosong. Mobil milik bibi-nya tak nampak terparkir. Desfa yakin kalau Bibinya sedang pergi.Perlahan Desfa berjalan meraih knop pintu. Nafasnya tertahan berharap tak ada yang memergokinya. Desfa mengehela nafas saat dilihatnya tak ada sepupunya yang biasa duduk di kursi."Uwh, si pungut pulang. Aku pikir sudah mati. Padahal, aku sudah berharap loh"Sepupu Desfa datang tiba tiba. Ia duduk di kursi menyilangkan kakinya bagaikan model.Desfa diam saja tidak membalas, ia bahkan langsung pergi ke kamarnya kembali dengan tujuannya."Buku, baju, tas, oke. Apalagi ya?" Desfa mengingat-ingat apalagi yang dibutuhkannya."Kayaknya sudah semua, deh"Desfa menggandeng tas-nya dengan bertatih-tatih. Beratnya tas itu sungguh mengham
Rania memandangi wajah Gama yang ada di albumnya. Dia sedang membayangkan bagaimana bentuk bingkai yang akan dia beli nanti.Rania melirik jam dinding yang mengarah pada jarum jam ke tiga sore. Rania ingat kalau ia dan Desfa belum makan siang, pantas saja perutnya berbunyi meminta hak-nya."laper, nih!" ujar Rania."Delivery aja, yuk!" Jawab Desfa.Rania pun meraih ponselnya dan memesan makanan dari rumah makan padang langganan mereka. "Kamu mau lauk apa?" tanya Rania.Desfa pun mendekat pada Rania dan menimbang-nimbang apa yang ingin dia makan."Hmmm, nasi kuning pake rendang jangan lupa perkedelnya""Oke aku telepon, ya."Rania pun menekan nomor pemilik rumah makan itu. Seperti biasa, penjualnya akan langsung menjawab."Halo, bang. Mau mesan nasi padang, rendang, perkedel, sama ayam pedas m
Lagi-lagi kembali ketempat itu. Tempat yang sebenarnya dinobatkan sebagai tempat yang ingin Rania jauhi, tapi apadaya dirinya yang harus kesana tiap kali tubuhnya lemah."Bagaimana anak saya, dok!!"Terdengar suara samar dari luar ruangan, tak lain adalah ibu dan ayah Rania yang berusaha datang secepat mungkin."Anak anda tidak memakan obatnya dengan teratur. Ia juga kelelahan karena melakukan aktifitas berlebihan. Anda pernah saya sarankan untuk membatasi aktifitas putri anda, bukan?"Vita dan Doni tak mampu menjawab Dokter Rio. Mereka benar-benar tak mampu untuk berpikir. Mereka hanya bisa takut dan cemas pada putrinya itu."Rania tiga hari disini dulu. Supaya bisa istirahat. Kamu kan sudah mama bilangin nggak boleh kelelahan!" perintah Vita pada putrinya.Rania yang baru saja sadar dari pingsannya mau tak mau mendengarkan ocehan mamanya itu."Maaf, Ma!" sesaln
Tiga hari sudah lewat, kini gadis berkucir satu dengan senyuman manisnya sudah siap untuk pergi sekolah. Ia bersenandung kecil sembari menunggu Fani selesai memakai sepatunya."Yuk, pergi bareng!" ajak Rania.Bukannya menjawab, adiknya itu malah memasangkan kedua telinganya headphone dan pergi mendahului Fani."Fani kenapa, ya?" ujar Rania sembari menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatifnya.Rania masuk ke mobilnya dan melirik Fani yang menatap keluar jendela."Fan!" panggil Rania tetapi adiknya itu tak mendengarkan.Rania memilih untuk berhenti daripada harus membuat masalah di pagi hari."Pak, turunin saya disini!" perintah Fani pada Sopir."Kamu mau kemana? Sekolah kamu 'kan belum sampai!"Fani hanya membalas Rania dengan menaikan satu alisnya.Hati Rania menjadi tak tenang.
"Lari!!""Larinya kenceng dong!""Kelompok kita kalah!"~~Ricuh terdengar dari siswa siswa yang antusias mengikuti pelajaran olahraga, kecuali Rania yang harus duduk dan hanya melihat keseruan mereka. Gadis itu terlihat lesu dan kecewa karena di selalu dikecualikan dalam kegiatan apapun."Kamu ngapain ikut duduk?" tanya Rania.Desfa mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi BBM yang tertera di layar utama. Desfa menunjukan pesan singkat pada Rania."Sepupumu sudah pulang, kau aman sekarang!" Ana.Desfa memasukan ponselnya ke sakunya kembali, waspada jika ketahuan membawa ponsel."Serius? Berarti kamu nggak di rumah aku lagi dong!" Ucap Rania."Yaiyalah, kalau aku dirumah kamu