Reno berkendara mengikuti mobil Elrissa, namun di tengah perjalanan dia intai oleh mobil Alano. Mau tidak mau, dia terpaksa menepi. Mereka berdua keluar mobil dan bertemu. Tidak ada yang ingin keributan, apalagi di pinggir jalan ramai begitu. "Jangan ikut campur urusan orang lain, sebaiknya kamu pulang." Alano menyarankan. Reno berkata, "aku sebenarnya juga nggak mau tahu, tapi apa yang kamu lakukan itu kriminal. Berani sekali kamu menggunakan obat nggak jelas untuk membuat saraf Elrissa terganggu. Kamu berusaha membunuhnya?" "Nggak. Itu nggak ada efek buruknya." "Aku nggak bisa diam kalau begini. Dokter yang telah kamu suruh itu sudah mengaku, cepat atau lambat, kalian akan dalam masalah." "Kamu yakin kalau aku ikut campur urusan ini? Aku nggak kenal dengan dokternya. Aku memilih rumah sakit itu karena permintaan Elrissa— aku nggak kenal siapapun.“ ”Sudah ketahuan pun mengelak?“ ”Apa buktinya aku menyuruh dokter itu memberikan obat dariku?“ "Dia berkata sendiri.”
Mobil Alano? "Itu 'kan mobil Alano? Apa dia disini? Semalaman? Tapi ... Disini hujan deras ... Pasti dingin sekali.” Elrissa berkata sendiri. Tanpa disadari, sebenarnya dia sangat khawatir terhadap Alano. Dia keluar dari kamar, dan pergi ke pintu depan. Begitu pintu dibuka, angin berembun mengembus ke arahnya. Dinginnya sampai mampu membuat gigi gemeratak. Cepat atau lambat pasti terjadi hujan badai disini. "Alano ..." Elrissa melihat Alano ternyata duduk di kursi teras. Alano masih terlelap, padahal dalam keadaan kedinginan diterpa hujan, ini sangat berbahaya. Elrissa segera mendekat, membungkuk demi kondisi wajah Alano. Lalu, dia meraba kulitnya yang sangat dingin, nyaris kaku. "Alano? Alano, bangun! Hei, bangun ..." Alano bisa membuka matanya, tapi dia memang kedinginan. "Rissa ..." "Apa kamu sudah gila? Apa kamu semalaman disini? Kamu kedinginan!" Elrissa mengomel sambil terus memperhatikan kulit pucat Alano. "Nggak apa-apa, aku hanya ingin menjagamu. Aku nggak ma
"Apa aku keterlaluan?" Elrissa bertanya ke diri sendiri. Dia terus memikirkan ucapan kejamnya kepada Alano selama beberapa jam. Tubuhnya terbaring di atas ranjang, terbungkus selimut tebal. Dia enggan keluar sebenarnya, terlebih di ruang tengah ada Alano. Namun, ketika hari menjelang malam—mau tak mau dia harus keluar. Dia khawatir juga dengan kondisi pria itu. Ia berjalan pelan, nyaris seperti pencuri yang mengendap-endap di rumah sendiri. Untuk mencapai dapur harus melewati ruang tengah. Ternyata, pria itu sudah tidak ada di ruang tengah. Di atas sofa hanya ada selimut. "Alano?" Elrissa melihat ke luar jendela, anginnya masih kencang, tidak mungkin pria itu sudah pulang. Dia mencarinya ke dapur, dan benar saja— pria itu sedang membersihkan meja dapur. "Apa yang kamu lakukan?“ Elrissa kaget. Suasana dapur menyatu dengan ruang makannya ini menjadi rapi seketika. "Aku mencari sesuatu untuk menghangatkan tubuh.” "Maaf, tapi nggak ada alkohol di rumahku." "Nggak, Saya
David hendak mencari sesuatu di dapur. Namun, dia tidak mengira mendapati pemandangan yang cukup panas disini. Iya, sepupunya, Daniel sedang akan berhubungan intim dengan Sarah di situ. Kedua tangan Sarah terlihat bertumpu di atas meja makan. Tangan Daniel yang kekar mendorong punggungnya sedikit membungkuk sampai Sarah agak menungging. Sarah membuka kakinya, dan Daniel cepa-cepat menyatukan tubuh mereka. Terlihat di wajah keduanya yang sama-sama tak bisa menahan hasrat. David terpaksa harus berdiam diri di balik tembok dekat pintu masuk, tak ingin melihatnya. Walau tidak melihat, tapi dia bisa mndengar suara rintihan dan desahan Sarah. Ia berusaha untuk tidak terangsang. Dalam hati, dia bingung— kenapa mereka masih berhubungan? Dan kenapa seenaknya melakukannya di tempat seperti ini padahal ada dia? Daniel jelas tidak peduli apapun, ia terus menghujam Sarah dari belakang hingga menit demi menit berlalu. Hingga kemudian, persetubuhan singkat itu selesai. Usai sam
Alano mengetuk pintu kamar Elrissa beberapa kali. "Rissa Sayang? Aku sudah buat burger untukmu. Ayo keluar dan makan siang denganku," katanya merayu. Tak ada jawaban dari Elrissa. Wanita ini masih tetap duduk di samping jendela kamar, memandangi hujan yang tidak kunjung usai dari kemarin. "Kenapa aku terjebak di rumahku sendiri dengan pria ini." Ia geram. Alano kembali merayu, "Rissa, ayo buka pintunya, aku nggak mau merusak pintumu lagi. Kalau pintumu rusak nanti nggak bisa dipakai lagi— kamu yakin bisa tidur di kamar tanpa pintu? Sementara aku ada disini ...“ Elrissa mendadak takut. Dia teringat sebelumnya pintu ini dirusak paksa oleh Alano. Ini satu-satunya kamar yang bisa dikunci. Kalau sampai dirusak, maka dia takkan bisa tidur nyenyak sementara ada pria itu disini. Alano kembali bicara, ”Aku hanya perlu dua kali mendobrak pintu ini sampai rusak. Kuhitung sampai tiga sekarang ... Satu ...“ "Oke, oke, aku keluar!” teriak Elrissa buru-buru membuka pintu kamarnya.
Berhari-hari hidup seatap dengan Alano sangat tidak enak, tidak bebas. Elrissa masih takut dengannya, tapi tak bisa apa-apa, pasrah di dalam kamar. Hingga kemudian, dia mendapat pesan dari Daniel, meminta agar bertemu di alamat tertentu. Penasaran dengan topik bahasannya, dia pergi diam-diam dengan berkendara sendiri. Alano diam-diam juga mengikutinya. Tidak mungkin dia tidak tahu kalau kekasihnya itu pergi menemui Daniel. Bangunan yang dituju oleh Elrissa berada di kawasan padat penduduk, dan bertingkat dua, cukup besar. Itu adalah rumah Daniel, ditempati bersama David dan Sarah. Daniel gembira melihat kedatangan Elrissa. Senyumnya merekah kala wanita itu menaiki teras rumah. Elrissa merasa tidak enak, entah karena cuaca akhir-akhir ini buruk atau memang stress. Dia tidak terlalu semangat bertemu Daniel. Tidak ada 'gelora' di dalam hatinya saat menatap wajah pria itu. Apa rasa cintanya sudah hilang? "Rissa, kamu mau datang?“ Daniel mempersilakan masuk. "Ayo masuk!" Tid
Muka muram Daniel itu bertahan hingga di dalam dapur. Dia melihat Sarah mengaduk coklat panas di atas meja dapur. “Kamu lama lama banget, sih? Rissa itu kalau belum diberikan yang manis-manis susah sekali dirayu, seperti anak-anak saja ... Sial,” gerutunya. “Kamu nggak senang berduaan dengannya?” Daniel berhenti tepat di belakang wanita itu. "Aku senang, tapi melihatnya seperti ini agak menjengkelkan. Dia nggak bisa didekati, kucium saja nggak mau." "Oh iya, kamu tadi kenapa malah mengenalkanku sebagai sepupu?" "Maksudmu aku harus bilang kalau kamu itu mantan kekasihku? Serumah dengan mantan kekasih? Dia pasti langsung pergi." "Ya kamu 'kan bisa mengatakan kita teman." "Nggak, kalau kamu keluargaku, maka dia nggak akan pernah curiga. Ada untungnya ternyata dia hilang ingatan permanen. Setidaknya kita nggak usah banyak sembunyi-sembunyi seperti dulu ..." Sarah agak senang mendengarnya. Ini membuktikan Daniel tak bisa lepas darinya. "Benar juga ya ... Kamu ini padahal ma
Alano mengetuk pintu beberapa kali. Tak hanya itu, dia juga memencet bel. David membukakan pintu saja. Melihat Alano di depan mata, dia langsung melotot dan panik. "Bagaimana kamu bisa ..." Tanpa bicara, Alano menyemprot mata pria itu dengan botol yang dia bawa. "Aargh!" David kesakitan sampai mundur-mundur. Dia memejamkan mata, menguceknya. "Apa ini, Brengsek! Perih sekali!" "Sayang? Rissa? Ayo pulang!" Alano berjalan masuk ke dalam rumah, menghiraukan David. Dia kelihatan seperti seorang ayah yang hendak menyeret anaknya pulang. Elrissa, Sarah dan Daniel yang tadinya makan siang keluar untuk melihat kegaduhan itu. Ketiganya kaget ada Alano di hadapan mereka. Elrissa ditarik mundur, disembunyikan dibalik punggung oleh Daniel. "Beraninya kamu membuat kegaduhan di rumahku," kata Daniel melototi pria itu. Alano tersenyum. "Oh, hai, kamu sudah sembuh? Kukira sudah mati." "Brengsek." "Aku kemari untuk menjemput istriku pulang!" "Masih halusinasi kamu! Rissa bukan istr