Tapi, bagaimana caranya agar dia mau tidur bersama di sini. Argh, kenapa jadi tak terkendali begini. Ruwet, ruwet, ruwet!Aku terjebak permainan sendiri. Namanya perempuan bisa tahan tak berhubungan fisik dalam rentang waktu lama. Kalau lelaki justru tak bisa begitu. Gara-gara menuruti omongan mba Winda, aku sendiri yang nelangsa.*Pagi hari, aku akan bangun jika makanan sudah siap di meja. Karena si kembar, dua-duanya di pondok, kami hanya berdua di rumah. Karena itu porsi masaknya tak banyak. Mita tak ambil pembantu. Masak sendiri, nyuci di laundry. Cuci piring tak banyak dan rumah jarang berantakan karena tak punya anak kecil. Kadang, aku juga suka bantu membersihkan rumah atau cuci piring. Kalau masak tak bisa, takut rasanya aneh.Sebelum makan, kami harus sudah mandi. Itu kebiasaan dari awal menikah. Mau sedang junub atau tidak, komitmennya begitu.Kami paham kebiasaan mandi di pagi hari bagus untuk kesehatan. Makanya konsisten dilakukan.Mita sudah duduk di meja makan. Ia hany
MITAOh, jadi seperti ini tingkah mas Dodi di belakangku? Ia dan mba Winda merencanakan makar menjijikkan. Demi motor, mereka rela berbuat jahat pada orang yang tak perhitungan dalam membantu.Hati mba Winda benar-benar busuk, sementara mas Dodi lemah dan mudah terhasut. Lelaki itu seperti angin, berembus ka sana-sini, tak punya pendirian tegas. Tergantung pada orang yang menguasainya. Oke, Mas! Kamu bikin makar, aku pun bisa!Aku balik lagi keluar rumah agar mas Dodi tak curiga. Biarkan dia menganggap aku baru pulang hingga tak mendengar pembicaraannya di telpon dengan mba Winda. Langkah kaki dilakukan sepelan mungkin, harus dipastikan tak bergesekan dengan lantai. Dipikir jadi kayak maling di rumah sendiri Aku harus pura-pura tak tahu soal makar itu. Jadi bersikap biasa saja di hadapannya. Jangan sampai memperlihatkan kemarahan. Bicara seperlunya, tak perlu marah atau merayu-rayu.Sebelum tahu makar ini, aku sebenarnya mau mengibarkan bendera perdamaian. Bahkan berencana akan mera
MITAMeski sudah habis-habisan membantu, tetap saja suka dibilang jangan pelit sama saudara . Boro-boro ucapan terima kasih, yang ada malah dinyinyiri. Kok, aku bisa bertahan sejauh ini hidup bersama mereka, ya? Terlalu sabar atau bodoh sebenarnya. Mau saja dijadikan sapi perah oleh orang-orang tak tahu diri. Mereka bersikap manis kalau ada maunya, tak disetujui sedikit langsung menyerang tanpa tedeng aling-aling. Akhir dari obrolan ini, mas Dodi bangkit dan menggebrak meja. Lepas itu menendang kursi yang didudukinya tadi. Ia pasti sangat marah karena kuingatkan soal tanggung jawabnya.Jantungku rasa mau copot saat tangan mas Dodi menghantam atas meja. Bertambah kencang detakannya ketika kursi yang ditendang terguling ke lantai.Takutlah kalau melihat mas Dodi marah begitu. Takut kena tinju atau tamparannya. Bisa sakit banget anggota tubuh yang kena bogemnya. Untung selama ini ia tak pernah menampar apalagi memukul. Kalau penyiksaan itu terjadi sudah kugugat cerai dari dulu. Kubiark
DODI"Maaf, Mba, sepertinya soal motor tak bisa saat ini dilepas. Kami pun sedang kesulitan dana gara-gara uang terkuras oleh mobil."Aku mencoba memberi pengertian pada mba Winda tentang motor. Untuk saat ini aku tak bisa menganggu Mita. Dia bisa makin ganas nantinya."Gimana, sih, kamu, Do? Kok, kalah gitu sama Mita? Laki-laki macam apa kamu, suami takut istri, ya?"Sebenarnya emosi akan naik kalau bicara dengan mba Winda, tapi ditahan biar tak makin panjang urusan. Perempuan itu sulit diredakan mulutnya kalau sudah nyerocos. Lebih baik tidak diladenin."Kamu gak bisa dipegang, ya, ucapannya! Gak guna!"Kutinggalkan mba Winda yang masih ngomong tanpa titik koma. Lebih baik pergi daripada terprovokasi lagi. Atau malah lepas kendali dengan kata-kata pedasnya.Pantas suaminya suka lepas kendali sampai mukul. Perkataan dan perbuatannya saja mancing orang emosi. Sudah tahu sifat mas Agus itu temperamen, dia juga cari masalah saja jadi orang.Hobi mengadukan suami ke sana-sini, tapi tetap
"Kamu memang menyebalkan, ya, Mita. Perhitungan sama saudara. Masa utang segitu ditagih-tagih! Kamu juga Dodi, sama saja dengan istrimu. Dasar suami takut istri. Awas, ya, aku bilang ke mama!""Mba jangan kayak anak kecil, dong! Kami datang pun baik-baik. Gak menghina-hina. Mita tadi udah jelaskan bahwa kami sedang butuh uang.. Jangan dikit-dikit lapor mama. Bersikappah dewasa, Mba. Gini aja sekarang mas Agus dan mba ada berapa untuk cicilan, kami terima.," kataku. Tumben aku bisa ngomong tegas sama mba Winda. Mungkin karena lagi kepepet juga. Lagian kakakku ini memang seperti anak kecil. Main laporkan saja sama mama. Dasar tukang adu domba."Gak ada, kita juga lagi banyak keperluan. Kalau kalian gak punya beras, bawa aja seliter. Entar aku ambilin!""Iya, Ta. Kami sedang banyak keperluan, jadi belum bisa bayar," timpal mas Agus.Benar kata orang. Giliran pinjem ngemis-ngemis, pas ditagih marah-marah atau banyak alasan. Jiwa kerdil, begitu emang, maunya lari dari tanggung jawab."Gel
Kami makan di rumah makan padang pinggir jalan. Mita memesan menu kesukaanku. Katanya ini bonus untuk kami setelah cape nagih utang.Baru lagi kami makan berduaan di luar. Dua tahun belakangan aku dan Mita selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Dia dengan dunia bisnisnya, aku dengan pekerjaan dan teman-teman.Pernikahan yang dulu indah, sempat membosankan. Aku jadi lebih betah bersama teman-teman daripada istri sendiri. Kami hampir jadi orang asing yang asyik dengan dunia masing-masing."Yank, jadi inget awal-awal nikah, ya. Kita makan di pinggir jalan aja indah banget. Maafin aku, ya, yang dua tahun ini cuek sama kamu."Mita menatapku lekat-lekat. Mungkin dia ingin memastikan bahwa ucapan suaminya ini sungguh-sungguh. Bukan sandiwara seperti sebelumnya."Iya, Tuh, padahal aku nungguin diajak makan di luar, loh. Kamunya malah kongkow sama teman.""Iya, iya, aku salah, entar kita makan di pinggir jalan lagi, yuk. Malem tapi biar romantis.""Janji, ya? Awas kalau boong!""Eh, pulang
Aku senang mas Dodi akhirnya mau diajak nagih utang. Artinya dia mulai membuka pikiran tentang keadaan keungan kami saat ini. Tentu saja kesempatan tak boleh disia-siakan, aku harus menjemput rezeki bersamanya.Seperti inilah menagih utang, cape lahir batin. Kami yang berhak atas uangnya, tapi seolah diperlakukan seperti pengemis yang tengah mengiba belas kasihan.Tidak semua orang yang enggan bayar utang karena tak ada uang. Ada di antara mereka yang emang kurang bertanggung jawab atas kewajibannya. Mereka inginnya malah dibebaskan saja, dianggap tak pernah pinjam uang. Dan itu karakter tak bagus. Orang seperti itu seolah lupa bagaimana ketika pinjam. Mengiba dan memberi banyak argumen agar dikasihani. Bahkan, ada yang baper saat tak diberi. Buat status memojokkan orang yang menolaknya. Ada-ada saja emang lakon kehidupan.Ke depan, aku alan pertimbangkan lagi kalau orang-orang sejenis itu datang meminjam. Bukan pelit, tapi tak mau jadi pengemis di kemudian hari. Apalagi pada yang mu
"Musti lezat ini. Mana yang mau dibantu?" seru mas Dodi. Laki-laki itu kini sudah ada di sampingku. Ia merangkul pinggang ini hingga tubuh kami rapat. "Potong-potong aja jengkolnya jadi empat bagian!" perintahku pada lelaki yang memang ingin membantu. Ia pun melepas rangkulan tangannya pada pinggangku. "Siap!"Mas Dodi memang biasa membantu urusan pekerjaan rumah. Apalagi saat kami punya bayi kembar, ia selalu siap sedia bantu istri. Tak masalah walau sudah cape pulang kerja.Maka dari itu, ketika kesal pada sikap buruknya, aku akan mengingat kebaikan-kebaikannya. Hal itulah mungkin yang membuatku mampu bertahan tiga belas tahun di sisinya.Begitulah kehidupan suami istri, ada pasang surutnya. Ada konflik yang kadang membuat hati di ambang keraguan apakah lepas atau bertahan. Tapi, selama masalah bisa diselesaikan tak perlu juga mengambil opsi cerai. Kecuali memang sudah di luar batas kemampuan, daripada menanggung derita berkepanjangan mending berpisah saja. Jadi, perceraian adalah