Tama mengangsurkan botol minum yang segelnya sudah dibuka. "Minum dulu." Aku menerima dan untuk menghormatinya, aku meminumnya langsung. "Makasih," ucapku pelan. Kami lantas jalan beriringan menuju lift. "Malam banget baru pulang? Tadi diantar siapa?" tanya Tama. Kami berhenti di depan pintu lift. Hanya sebentar karena pintu besi itu segera terbuka. Kami lantas masuk. "Itu tadi Danar. Kebetulan dia lembur juga." "Jadi kalian satu divisi? Dan Danar pemimpinnya?" Aku mengangguk. Aku melihat ke arah angka digital di atas pintu, menghitung tiap lantai yang sudah kami lewati. "Giko juga, tapi beda divisi, begitu kan?" "Iya, benar.""Pantas kalian itu makin akrab." Ada senyum kecil yang aku lihat samar di sudut bibirnya. Lalu hening menguasai kami. Aku heran pada diri sendiri, yang menjadi pendiam jika sedang berdua dengan Tama. Aku pikir setelah malam kemarin itu, aku nggak akan menemukan situasi canggung seperti ini. "Boleh tanya sesuatu?" Aku menoleh ketika Tama bersuara kembal
Aku meringis kaku. Mendapati laki-laki lain di unit Tama. Namun.... "Wina, unit aku di sini." Aku menoleh ke samping kanan. Ternyata aku yang salah alamat. Aku nyengir melihat lelaki asing yang masih bengong di ambang pintu. "Sori, salah alamat." Lalu segera melipir ke unit di sebelahnya. "Nomor unitku itu 1378," ujar Tama begitu aku di depannya. "Sori lupa. Aku ganggu, ya? Maaf, terpaksa malam-malam gini aku ganggu tidur kamu." Aku menggaruk belakang leher. Merasa nggak enak. Lelaki itu sudah memakai piyama tidur. "Nggak apa-apa. Kamu masuk dulu aja." Hah? Nggak. Aku nggak mau sampai masuk ke unitnya. Aku mengibas-ngibaskan tangan di depan dada. "Di sini aja, aku cuma mau pinjam baju kamu boleh?" tanyaku sekaligus mengutarakan tujuanku menemuinya malam-malam."Bajuku?" Tama terlihat bingung. Aku juga bingung bagaimana cara menjelaskannya. Aku berpikir keras bagaimana cara memberitahu Tama agar dia nggak berpikir macam-macam. "Kamu butuh bajuku? Kamu mau pake baju aku?" tanya
Tama menoleh padaku. Ada gestur gusar yang aku lihat di wajahnya. Tatapnya seolah bertanya 'kenapa kamu izinkan Giko menginap di sini?' Lalu dia membuang napas kasar dan menyusul Giko ke balkon. Sejenak aku melihat Giko menawarinya rokok, tapi Tama menolak. "Gue ngantuk. Boleh gue tidur?" tanyaku, menahan mata yang sudah terasa berat. Beberapa kali aku menahan kuap. "Lo istirahat aja gih. Jangan lupa kunci pintu kamar biar Tama tenang," sahut Giko. Aku mengernyit sebentar, tapi nggak menimpali ucapan Giko. Masa bodo dengan mereka yang sedang mengobrol aku pun beranjak ke kamar. Paginya aku dikejutkan pemandangan yang menakjubkan. Kedua lelaki itu tidur di sofa dengan kaki naik ke atas meja. Giko di sisi kanan, Tama di sisi kiri. Keduanya tidur dengan posisi kepala meneleng, saling menjauh. Tidur mereka terlihat nggak nyaman, padahal sofa itu bisa diubah menjadi bed. Tangan keduanya melipat di depan dada. Aku baru sadar pendingin udara di ruangan ini juga dimatikan. Aku pikir Tam
Untuk pertama kalinya aku menaiki mobil Tama. Ya Tuhan ampuni dosaku, nggak seharusnya aku berada di sini. Aku lemah di depan dia, nggak bisa menolak tegas tiap ajakan yang dia tawarkan. "Daripada naik bus atau taksi, kamu bisa kok berangkat bareng aku. Kantor kita kan searah," ucapnya saat kami dalam perjalanan menuju kantor. Jalan raya mulai padat. Tapi, untungnya nggak terlalu macet. Sedikit macet di persimpangan lampu merah dan akan terurai dengan cepat. Aku biasanya memilih alternatif naik bus trans-Jakarta. Cukup satu kali naik, dan bisa turun langsung di depan gedung kantor yang berada di pusat kota. "Itu kayaknya enggak efisien buat kamu karena harus nungguin aku.""Enggak masalah, Wina. Paling juga sebentar, nggak mungkin kan kamu berangkat siang. Kecuali kalau kamu memang bangun kesiangan." Ada nada pemaksaan yang bisa kudengar. Tapi, aku nggak peduli. Nggak mungkin juga setiap hari aku nebeng padanya. Meski dia menawarkan, aku cukup tahu diri. "Aku memang sering bangun
Aku benar-benar menemukannya di lobi. Ya Tuhan, kenapa dia nekat sekali? Padahal jarak kantornya dengan kantorku lumayan memakan waktu. Lima belas menit memang singkat, cuma kondisi jalanan Jakarta yang bisa membuat waktunya menjadi panjang. Aku tersenyum tipis saat melihat keberadaan Tama. "Kita jalan kaki aja, ya. Kafenya dekat kok," ujarku sesampainya di depan lelaki itu. Tama menurut dan tersenyum. "Sori, ya. Jadi ganggu waktu kamu."Mau bagaimana lagi? Dia sudah mencuri start dengan lebih dulu sampai di lobi. Aku nggak mungkin menolaknya. Mungkin saja, tapi... Entahlah. "Selama nggak korupsi banyak waktu nggak akan mengganggu, kok." Kami lantas beriringan melewati pintu otomatis lobi.Tama terkekeh dan berjalan menyeimbangi langkahku yang pendek. "Tadi aku ada meeting di gedung sebelah. Jadi, aku ingat kamu makanya sekalian ke sini." Berarti aku yang bodoh. Seharusnya aku tetap menolak ajakannya. Tapi mungkin karena aku juga ingin, makanya bisa sampai di sini sekarang. Kami
"Prospek kalian kali ini gagal?" tanyaku, mengingat tampang kecut Danar tadi. Arin menoleh dan menggeleng. "Prospek gue nggak mungkin gagal, soalnya kan bareng Pak Danar." Dia nyengir. Lalu menarik beberapa berkas dan mulai membukanya. "Gue pikir gagal. Soalnya tampang Danar asem! Kayak mangga setengah mateng." "Kan setting-an dia memang seperti itu. Dingin-dingin gitu deh." Aku mengarahkan bola mata ke atas. Sekali bucin tetap saja bucin. Setelah menyelesaikan proposal permintaannya, aku segera menuju ke ruangan Danar agar dia bisa mengeceknya sebentar sebelum aku membuat janji pada bagian finansial. "Ada yang kurang engga?" tanyaku sedikit melongok, menatap proposal yang sedang dicek oleh Danar. "Anggaran buat sosial media nggak lo tambah?" Danar masih memperhatikan dokumen tanpa menoleh padaku. "Enggak, sih. Gue pikir segitu juga cukup." "Selain membuat adsens sendiri kita juga akan membuat iklan singkat di Youtube, kan?" "Iya, sih." "Tambahin aja anggarannya. Kalau nggak
Tama : Oh gitu ya.Balasan dari Tama terlalu singkat, aku kurang nyaman membacanya. Tapi mungkin itu bentuk kekecewaannya karena aku menolak pulang bersama lantaran akan pulang bersama Danar. Aku berusaha bersikap tidak peduli dengan tidak membalas pesannya lagi. Arin sudah pulang terlebih dulu ketika Danar menghampiriku. Akan menyebalkan kalau wanita berponi itu mencurigaiku memiliki perasaan terhadap Danar seperti biasanya. Aku bosan mendengar dia terus memastikan akan hal itu. "Pulang sekarang?" tanya Danar seraya melepas jas dan menyampirkannya ke partisi. Dia lantas membuka kancing lengan kemejanya. Lalu menggulungnya hingga siku. Aku yang memang sudah bersiap sejak tadi berdiri dan meraih tas. "Yuk!" Sekilas aku melihat dia mengambil jasnya kembali dan menaruhnya di siku. Sebelah tangan lainnya menjinjing tas kerja. Kami lantas berjalan bersisian melewati pintu divisi. "Giko beneran nggak aktifin HP-nya. Gue rasa masalahnya kali ini lumayan besar," ujarku ketika kami menung
Masa periodeku masih sekitar seminggu lagi. Namun, menghindari pertanyaan aneh-aneh yang mungkin Danar lontarkan, aku terpaksa berbohong. Hm, ya, berbohong lagi. Aku memang terlalu overthinking. Bisa jadi Tama sudah menjelaskan kenapa dia bisa tinggal di gedung ini. Semua tanpa kesengajaan. Baiklah, over ini timbul karena aku memiliki perasaan lebih kepada Tama. Seharusnya aku bersikap biasa saja agar Danar atau pun Giko nggak curiga. Tapi nyatanya aku kucing-kucingan begini. Aku takut dua lelaki itu mengetahui perasaanku, mengingat status Tama yang sudah tidak sendiri lagi. Aku memperhatikan dua botol minuman kunyit yang katanya bisa meredakan nyeri datang bulan. Tanpa sadar aku menyunggingkan senyum. Danar dan Giko itu sering melakukan hal-hal yang nggak terduga. Minuman ini mengingatkan aku saat Giko tiba-tiba memepetku ke dinding. Saat itu aku lagi banjir-banjirnya datang bulan. Aku memelotot horor. "Tembus, ya?" Aku mendadak kaku dan tidak mau bergerak. Giko mengangguk. "Bawa