Masa periodeku masih sekitar seminggu lagi. Namun, menghindari pertanyaan aneh-aneh yang mungkin Danar lontarkan, aku terpaksa berbohong. Hm, ya, berbohong lagi. Aku memang terlalu overthinking. Bisa jadi Tama sudah menjelaskan kenapa dia bisa tinggal di gedung ini. Semua tanpa kesengajaan. Baiklah, over ini timbul karena aku memiliki perasaan lebih kepada Tama. Seharusnya aku bersikap biasa saja agar Danar atau pun Giko nggak curiga. Tapi nyatanya aku kucing-kucingan begini. Aku takut dua lelaki itu mengetahui perasaanku, mengingat status Tama yang sudah tidak sendiri lagi. Aku memperhatikan dua botol minuman kunyit yang katanya bisa meredakan nyeri datang bulan. Tanpa sadar aku menyunggingkan senyum. Danar dan Giko itu sering melakukan hal-hal yang nggak terduga. Minuman ini mengingatkan aku saat Giko tiba-tiba memepetku ke dinding. Saat itu aku lagi banjir-banjirnya datang bulan. Aku memelotot horor. "Tembus, ya?" Aku mendadak kaku dan tidak mau bergerak. Giko mengangguk. "Bawa
Tama tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Mereka nggak akan betah tinggal di Jakarta. Sintia juga tidak mengizinkan." "Oh." Aku mengangguk. Seandainya aku istrinya, aku nggak mungkin membiarkan suami tampan seperti Tama berkeliaran di kota metropolitan ini sendirian. Bahaya. "Enak es krimnya?" tanya Tama melirik mangkok es krimku yang baru aku sentuh sedikit. "Enak. Kamu sering nyetok es krim begini?" "Nggak, sih. Aku beli es krim karena ingat kamu. Dulu waktu sekolah kamu suka makan es krim, kan?" Tama menoleh, dan menyeringai. Bagaimana dia bisa tahu hal itu? "Setiap kali aku menemui Giko di kelas, kamu pasti sedang menyantap es krim." Aku menatapnya takjub. Aku bahkan tidak ingat sedang posisi bagaimana saat itu. Fokusku hanya mendengar percakapan mereka dan mencuri pandang ke arah Tama. "Iya, kah? Aku suka es krim sih, tapi enggak terlalu. Biasanya Giko atau Danar yang membelikannya." Dua lelaki itu dulu sering jajanin aku. Mereka sangat tahu kondisi keluargaku yang pas-pasan
Pintu IGD terbuka, dan sosok Tama muncul dari sana. Dia berjalan mendekati kami dengan seulas senyum. "Lo datang sama Tama?" tanya Giko yang agak kaget melihat kedatangan Tama. Aku hanya mengangguk pelan, dan diam-diam melirik Danar. Lelaki itu nggak bereaksi apa pun. "Kalian kenapa bisa babak belur gini?" tanya Tama begitu langkahnya sampai ke depan kami. "Biasalah namanya juga cowok. Nggak babak belur nggak afdol," sahut Giko seraya terkekeh. "Siapa yang melakukannya? Kalian nggak lapor ke polisi?" Giko dan Danar saling tatap selama beberapa saat, lalu kepala Giko menggeleng. "Ini cuma urusan sepele nggak perlu melibatkan polisi. By the way, thanks, ya udah nganterin Wina ke sini." "Nggak masalah."Aku bergeser ke sisi Danar dan melihat luka di wajahnya. "Mudah-mudahan Arin masih suka liat muka bonyok lo gini," ujarku pada manusia sok pemberani ini. Danar mendengus, tampak nggak berminat menanggapi ucapanku. "Jadi kalian dirawat inap?" tanya Tama lagi. "Gue enggak. Tapi kal
Aku nggak berniat membalas chat Tama, dan langsung mematikan data internet. Lalu menarik ujung selimut dan merapatkan mata. Kejadian hari ini membuatku teramat lelah. Semoga Danar dan Giko baik-baik saja. Seandainya tidak dalam kondisi luka, aku yakin kemunculan Tama bersamaku akan menjadi masalah. Meski sejauh ini belum ada reaksi dari dua lelaki itu. Entah mengapa aku yakin mereka akan segera menyadarinya. Sekitar pukul setengah enam pagi aku keluar dari apartemen. Sengaja bangun cepat setelah baru pulas pukul dua belas malam. Aku berencana mampir ke rumah sakit dan membelikan Giko sarapan. Karena tidak ada jatah makanan bagi penunggu pasien. Kedua lelaki itu masih tidur ketika aku membuka pintu. Giko tidur di atas sofa sambil meringkuk. Sementara Danar tidur dengan napas teratur di atas ranjang. Aku menyimpan makanan yang aku beli di atas meja, lalu mendekati Danar. Aku sedikit terkejut karena mata Danar terbuka ketika aku berdiri di dekatnya. Dia menggeliat dan meringis. "Sete
Hasil rapat nggak memuaskan. Bagian keuangan tidak menyetujui proposal tambahan budget marketing yang kami ajukan. Danar pasti nggak akan suka mendengar berita ini. Orang keuangan kenceng banget menggenggam duit anggaran. Padahal yang kami lakukan agar bisa menarik banyak nasabah dan memajukan perusahaan. Arin mendesah, menjatuhkan diri ke atas kursi. "Pak Danar pasti kecewa. Gimana dong, Win?" Jujur aku paling males berhadapan dengan orang keuangan. Hal tentang pengajuan anggaran baru biasanya Danar yang maju. Dia lebih pandai memersuasi dan menekan lawan. Tidak seperti kami yang ketika ditolak hanya bisa pasrah. Ah, tidak. Arin di rapat tadi sempat mendebat kepala bagian keuangan berkepala botak yang terkenal pelit itu. "Nggak apa-apa. Nanti gue yang bilang aja." Arin kembali menegakkan punggung dan menyeret kursinya mendekat padaku. "Pak Danar sakit apa?" Aku belum sempat memberitahu Arin tentang kondisi Danar karena kami sudah disibukkan dengan persiapan meeting. "Tangan kan
"Wina!" Aku baru saja memasuki lobi ketika mendengar suara Tama memanggil. Suaranya akhir-akhir ini sering berkeliaran di sekitarku. Jadi, tanpa melihat pun aku tahu itu suara miliknya. Aku menoleh dan mendapati lelaki tinggi itu setengah berlari menghampiriku. Di tangannya membawa sebuah kantong plastik, mengingatkan pada beberapa hari lalu saat kami bertemu dalam situasi yang sama. "Lembur lagi?" tanya dia sesampainya di depanku. Aku mengangguk dan melirik kantong plastik yang dia bawa. "Kamu habis dari mana?" "Take away dari restoran di ujung itu. Kamu udah makan belum? Aku beli dua nasi bebek," ujarnya mengangkat kantong plastik itu. Modus apa lagi ini? Kenapa Tama seolah tahu jadwal pulangku sehingga kerap kali tanpa sengaja bertemu seperti ini? "Nggak usah, Tam. Kamu makan aja. Aku masih kenyang, kok." Aku berjalan menuju pintu lift diiringi Tama di sampingku. "Aku beli dua karena aku yakin kamu belum makan malam." Aku diam-diam menghela napas panjang. "Lain kali jangan
Perlu waktu lama untuk membujuk Tama agar tidak mengantarku ke rumah sakit. Aku nggak mau Giko dan Danar makin salah paham. Kemunculan Tama yang terlampau sering memang sudah menimbulkan kesalahpahaman. Tapi, tentu saja aku nggak mau dua sahabatku berpikir yang bukan-bukan tentang hubungan kami. Pada akhirnya aku berhasil ke rumah sakit sendiri dengan taksi yang Tama pesankan dari aplikasi ponsel. Alasannya apalagi kalau bukan demi keamananku. Itu yang dia bilang meski bagiku itu teramat sangat berlebihan. Aku membawa martabak manis dan telur yang aku beli di dekat apartemen. Danar dan Giko pasti butuh camilan. Aku mengetuk pintu kamar rawat Danar sebelum mendorongnya. Kedua lelaki itu langsung menoleh ke arah pintu saat aku masuk. Aku meringis seraya menunjukkan plastik martabak yang kubawa. "Sori, telat. Aku tadi beli ini," ujarku, lalu mendekat. Giko mendengus. "Telat beli martabak apa telat karena berduaan sama Tama?" Aku mendesah, belum sempat duduk, tapi Giko sudah mengiba
Aku bertukar jaga dengan Giko. Dia pamit hampir tengah malam. Dalihnya sih ingin menyelesaikan semua masalah dan minta maaf kepada Luffy. Danar sendiri sudah pulas dari pukul sebelas malam. Aku lantas beranjak ke sofa, bergelung di dalam selimut. Aku sempatkan melihat ponsel sebelum memejamkan mata. Ada beberapa chat dari Tama yang belum aku balas. Aku yakin Tama sudah tidur, dan mungkin ponselnya sudah nggak aktif, jadi aku iseng membalas. Namun, siapa sangka aku malah mendapat balasan langsung. Aku melihat tanda online di room chat-nya.Aku baru akan mengetikkan balasan, tapi panggilan video dari dia masuk. Sontak hal itu membuatku terperanjat dan secara refleks membuka selimut. Aku melirik Danar yang tampak tertidur pulas, lalu kembali melirik layar ponsel yang masih menyala. Dengan satu tarikan napas panjang, aku akhirnya menerima panggilan itu. Wajah bening Tama langsung muncul begitu aku mengaktifkan panggilan video. Aku tersenyum melihat Tama yang tampak kebingungan, lantaran