Daripada rasa penasaranku makin menggunung, lebih baik aku keluar dari kamar mandi. Aku bergerak perlahan dan langsung mendapat perhatian dari mereka berdua. Aku tersenyum canggung dan mengangkat tangan ragu. "Hai," sapaku, lalu melirik Danar yang sepertinya tidak mau menjelaskan apa-apa tentang kemunculan wanita cantik itu. "Hai." Wanita itu balas menyapaku lalu menyimpan nampan sarapan Danar dan berdiri. Aku otomatis mendekat dan dia mengulurkan tangan terlebih dulu. "Gue Marissa. Terima kasih, ya, udah jagain Danar. Buat selanjutnya biar gue yang jagain dia aja." Meski bingung, aku menyambut uluran tangannya. "Gue Wina." Seumur-umur mengenal Danar, baru pertama kali aku melihat wanita cantik ini muncul. Siapa dia? "Bisa dilanjut sarapannya?" tanya Danar, terdengar dingin. Itulah kenapa Giko menyebutnya kulkas, karena memang Danar sewaktu-waktu bisa berubah seperti es. Wanita itu langsung duduk kembali. Dia menyempatkan diri mengibaskan rambut sebelum kembali meraih nampan.
Terima kasih ya, yang udah jeli baca cerita ini. Soalnya masih banyak typo yang bertebaran. Wkwk, posting kejar-kejaran memang begini jadinya. Nggak maksimal. ______Belum banyak info yang aku dapatkan tentang wanita bernama Marissa itu, selain panggilan mereka satu sama lain menggunakan aku-kamu. Karena begitu mereka melewatiku, aku langsung kabur. Beruntung, tidak ketahuan sedang menguping. Weekend ini aku berencana menunggui Danar sebenarnya. Namun, karena wanita cantik itu mengusir dengan cara halus, rencanaku berubah. Dari rumah sakit aku langsung ke stasiun Cawang. Memilih alternatif Commuter Line untuk menuju ke Bogor, ke rumah Ibu. Sejak Dendy ditugaskan di Kalimantan, Ibu memilih pindah ke rumah mendiang almarhum Nenek di Ciomas, masih satu kabupaten Bogor, dekat dengan saudara-saudaranya. Ibu sempat memutuskan menjual rumah yang ada di Jakarta untuk membayar rumah Nenek kepada ahli warisnya. Sudah sekitar empat tahun Ibu di sana. Biasanya dua minggu sekali aku datang untu
Aku baru keluar dari kamar mandi ketika mendengar sayup-sayup suara deringan ponsel. Langkahku bergegas menuju kamar, karena benda ajaib itu aku simpan di atas tempat tidur. Aku beranjak duduk dan meraih ponsel yang layarnya bercahaya. Panggilan masuk dari Tama. "Aku nggak tau kalau kamu udah pulang," ujar Tama di sana setelah menjawab salamku. "Aku udah pulang dari pagi. Kamu lagi ada di rumah sakit?" tanyaku, sambil mengusap-usap rambut yang masih basah. "Iya, aku lagi jalan turun ke lobi mau pulang. Aku pikir kamu masih di RS niatnya mau jemput kamu sekalian. Tapi Danar bilang kamu ke Bogor. Beneran itu?" Aku mengangguk, "Iya, benar. Aku di rumah Ibu." Lalu beranjak berdiri dan bergerak duduk di kursi berhadapan dengan cermin. Aku mengaktifkan loud speaker dan menaruh ponsel di atas meja. Tanganku menarik laci tempat penyimpanan sisir dan pelembab yang sengaja aku tinggal. "Asyik, ya. Liburan nggak ngajak-ngajak." Aku yang sedang menuang toner ke telapak tangan tersenyum. "N
Seperti biasa jalanan utama kota sedikit macet. Mungkin karena banyak yang ingin bermalam mingguan sama seperti aku dan Dean. Biasanya kami menonton film cukup di Bogor Trade Mall yang ada di Jalan Juanda, tapi kali ini kami memutari kebun raya menuju Pajajaran ke Botani Square. Gara-gara macet itu, kami ketinggalan film sekitar sepuluh menit. It's okay masih bisa ditoleransi. Dan aku benci dengan film yang Dean pilih. Alih-alih Komedi romantis dia malah memilih film horor. Jadi, selama dua jam duduk di kursi dingin, aku memperhatikan jalannya cerita dengan dada berdebar. "Lo kalau mau nonton horor itu nanti sama cewek lo. Lo tau engga, sih sepanjang film diputar gue nahan kencing?!" omelku begitu keluar dari studio. Dean malah tertawa melihatku mengomel. Manusia satu ini beneran minta aku tampol. "Ya kan tinggal ke toilet aja. Apa susahnya?" Aku menggeleng seraya melepas napas dari hidung dengan kasar. "Kalau hantunya ngikutin gue sampe ke toilet gimana?" "Lebay! Itu kan cuma f
Aku baru membaca pesan Giko dan Danar di whatsapp grup saat sudah sampai rumah. Aku meninggalkan Dean yang langsung menghampiri Ibu ketika kami sampai rumah. Dia sempat membelikan martabak telur pesanan Ibu sebelum pulang. Sekarang keduanya sedang ngobrol seru di ruang TV. Menghabiskan martabak telur dengan dua cangkir teh hangat di atas meja yang Ibu siapkan tadi. GikoDean perasaan makin ganteng ajaItu chat yang Giko tulis, di bawahnya Danar menyahuti. DanarNamanya juga laki.GikoTakutnya ada yang jatuh cinta tanpa sadar, Nar."DanarMaksudnya elo?!Giko Ya kali, gue jatuh cinta sama laki. Emang gue Ragil!DanarHahaha!Pembahasan yang unfaedah. Aku memutar bola mata dan memutuskan nggak nimbrung dalam obrolan chat itu. Setelah berganti pakaian aku keluar dari kamar. Dean masih duduk manis di depan layar TV menyaksikan tontonan bola yang bagiku membosankan. "Bu, anak laki-laki ibu yang ada di Kalimantan katanya bakal pulang kalau aku udah nikah," celetukku mengambil tempat du
Aku membuka jendela kamar saat pagi menjelang. Tunggu, apa masih bisa dibilang pagi? Sekarang sudah hampir pukul sembilan. Tepat di samping kamarku, ada lahan pekarangan. Di sana ibu menanam macam-macam tanaman. Seperti singkong, ubi, sayur bayam, cabe, tomat dan lain-lain. Tanaman-tanaman itu tumbuh subur di bawah perawatan Ibu yang bertangan dingin. Dari sini aku bisa melihat tanaman cabe yang berbuah banyak. Ibu tidak perlu membeli cabe yang harganya sekarang sedang gila-gilaan. Tomat chery berwarna merah juga sedang banyak-banyaknya berbuah. Pemandangan itu membuat senyumku tersungging. Namun, nggak lama dari itu aku melihat Dean memasuki kebun kecil ibu dengan membawa sebuah ember kecil. Lelaki itu mengenakan kaos hitam disambung celana pendek. Kakinya cuma mengenakan alas sandal karet. Sangat kontras dengan penampilannya semalam saat mengajakku malam mingguan. Tapi biarpun begitu dia masih terlihat lumayan ganteng. "Heh! Ngapain lo di situ?! Kayak burung kakak tua!" tegurnya
big thanks buat yang berkenan memberi ulasan bintang lima dan komenannya.______Aku ingin mengusir Tama, tapi jelas itu nggak mungkin. Ibu dan Dean sudah menangkap keberadaannya yang sama sekali nggak aku duga. Jadi, lelaki yang kini mengenakan outfit semi formal itu duduk di salah satu sofa single seater berseberangan dengan Ibu dan Dean. Sementara aku diberi tugas membuatkan minum bagi tamu tak diundang tersebut. Hanya satu cangkir teh, nggak membutuhkan waktu lama. Kurang dari lima menit aku sudah menyuguhkan teh hangat ke depan Tama. "Jadi, namanya siapa?" tanya Ibu yang aku perhatikan terus memandangi Tama dengan tatapan kagum. "Sebelumnya saya minta maaf sudah lancang datang ke sini. Saya Tama, teman Wina. Kami dulu pernah satu sekolah," terang Tama seraya memperkenalkan diri. Aku yang berdiri di belakang Ibu sambil memeluk nampan hanya bisa mengerutkan bibir. Jujur aku kesal dengan tindakannya. "Oh, jadi dulu pernah satu sekolah sama Wina. Kenal Danar dan Giko juga?" Tam
Sebelum baca follow authornya dulu. Jangan lupa vote, dan pegang hatinya kuat-kuat. Wkwk.______Siang itu juga aku pamit pulang ke Jakarta. Ibu sempat menahanku untuk pulang sore saja. Namun, aku menolak. Aku tidak mau baik ibu atau pun Dean mewawancarai Tama lagi. "Saya pamit mengantar Wina ke Jakarta, ya, Bu," ucap Tama sopan. Tangannya maju dan minta salam kepada ibu. "Tolong, hati-hati ya, Nak Tama," sambut ibu menepuk bahu lebar Tama. Sementara Dean, dia hanya mengangguk ketika Tama berpamitan padanya. "Lo yakin dia cuma teman yang mau jemput lo?" tanya Dean ketika aku berpamitan padanya. Tama sudah lebih dulu ke teras bersama Ibu. "Ya, iya. Memang apa lagi?" "Gue curiga dia cowok lo. Dari gelagat dan tatapannya ke lo. Lo kayak mau diterkam aja sama dia." Aku kontan melebarkan mata sembari memukul lengan abang sepupuku itu. "Memangnya dia harimau." Dean meringis kesakitan, tapi tatapnya masih saja melihat ke arah Tama yang sedang bicara dengan ibu. "Lo kudu hati-hati, gu