Aku nggak berniat membalas chat Tama, dan langsung mematikan data internet. Lalu menarik ujung selimut dan merapatkan mata. Kejadian hari ini membuatku teramat lelah. Semoga Danar dan Giko baik-baik saja. Seandainya tidak dalam kondisi luka, aku yakin kemunculan Tama bersamaku akan menjadi masalah. Meski sejauh ini belum ada reaksi dari dua lelaki itu. Entah mengapa aku yakin mereka akan segera menyadarinya. Sekitar pukul setengah enam pagi aku keluar dari apartemen. Sengaja bangun cepat setelah baru pulas pukul dua belas malam. Aku berencana mampir ke rumah sakit dan membelikan Giko sarapan. Karena tidak ada jatah makanan bagi penunggu pasien. Kedua lelaki itu masih tidur ketika aku membuka pintu. Giko tidur di atas sofa sambil meringkuk. Sementara Danar tidur dengan napas teratur di atas ranjang. Aku menyimpan makanan yang aku beli di atas meja, lalu mendekati Danar. Aku sedikit terkejut karena mata Danar terbuka ketika aku berdiri di dekatnya. Dia menggeliat dan meringis. "Sete
Hasil rapat nggak memuaskan. Bagian keuangan tidak menyetujui proposal tambahan budget marketing yang kami ajukan. Danar pasti nggak akan suka mendengar berita ini. Orang keuangan kenceng banget menggenggam duit anggaran. Padahal yang kami lakukan agar bisa menarik banyak nasabah dan memajukan perusahaan. Arin mendesah, menjatuhkan diri ke atas kursi. "Pak Danar pasti kecewa. Gimana dong, Win?" Jujur aku paling males berhadapan dengan orang keuangan. Hal tentang pengajuan anggaran baru biasanya Danar yang maju. Dia lebih pandai memersuasi dan menekan lawan. Tidak seperti kami yang ketika ditolak hanya bisa pasrah. Ah, tidak. Arin di rapat tadi sempat mendebat kepala bagian keuangan berkepala botak yang terkenal pelit itu. "Nggak apa-apa. Nanti gue yang bilang aja." Arin kembali menegakkan punggung dan menyeret kursinya mendekat padaku. "Pak Danar sakit apa?" Aku belum sempat memberitahu Arin tentang kondisi Danar karena kami sudah disibukkan dengan persiapan meeting. "Tangan kan
"Wina!" Aku baru saja memasuki lobi ketika mendengar suara Tama memanggil. Suaranya akhir-akhir ini sering berkeliaran di sekitarku. Jadi, tanpa melihat pun aku tahu itu suara miliknya. Aku menoleh dan mendapati lelaki tinggi itu setengah berlari menghampiriku. Di tangannya membawa sebuah kantong plastik, mengingatkan pada beberapa hari lalu saat kami bertemu dalam situasi yang sama. "Lembur lagi?" tanya dia sesampainya di depanku. Aku mengangguk dan melirik kantong plastik yang dia bawa. "Kamu habis dari mana?" "Take away dari restoran di ujung itu. Kamu udah makan belum? Aku beli dua nasi bebek," ujarnya mengangkat kantong plastik itu. Modus apa lagi ini? Kenapa Tama seolah tahu jadwal pulangku sehingga kerap kali tanpa sengaja bertemu seperti ini? "Nggak usah, Tam. Kamu makan aja. Aku masih kenyang, kok." Aku berjalan menuju pintu lift diiringi Tama di sampingku. "Aku beli dua karena aku yakin kamu belum makan malam." Aku diam-diam menghela napas panjang. "Lain kali jangan
Perlu waktu lama untuk membujuk Tama agar tidak mengantarku ke rumah sakit. Aku nggak mau Giko dan Danar makin salah paham. Kemunculan Tama yang terlampau sering memang sudah menimbulkan kesalahpahaman. Tapi, tentu saja aku nggak mau dua sahabatku berpikir yang bukan-bukan tentang hubungan kami. Pada akhirnya aku berhasil ke rumah sakit sendiri dengan taksi yang Tama pesankan dari aplikasi ponsel. Alasannya apalagi kalau bukan demi keamananku. Itu yang dia bilang meski bagiku itu teramat sangat berlebihan. Aku membawa martabak manis dan telur yang aku beli di dekat apartemen. Danar dan Giko pasti butuh camilan. Aku mengetuk pintu kamar rawat Danar sebelum mendorongnya. Kedua lelaki itu langsung menoleh ke arah pintu saat aku masuk. Aku meringis seraya menunjukkan plastik martabak yang kubawa. "Sori, telat. Aku tadi beli ini," ujarku, lalu mendekat. Giko mendengus. "Telat beli martabak apa telat karena berduaan sama Tama?" Aku mendesah, belum sempat duduk, tapi Giko sudah mengiba
Aku bertukar jaga dengan Giko. Dia pamit hampir tengah malam. Dalihnya sih ingin menyelesaikan semua masalah dan minta maaf kepada Luffy. Danar sendiri sudah pulas dari pukul sebelas malam. Aku lantas beranjak ke sofa, bergelung di dalam selimut. Aku sempatkan melihat ponsel sebelum memejamkan mata. Ada beberapa chat dari Tama yang belum aku balas. Aku yakin Tama sudah tidur, dan mungkin ponselnya sudah nggak aktif, jadi aku iseng membalas. Namun, siapa sangka aku malah mendapat balasan langsung. Aku melihat tanda online di room chat-nya.Aku baru akan mengetikkan balasan, tapi panggilan video dari dia masuk. Sontak hal itu membuatku terperanjat dan secara refleks membuka selimut. Aku melirik Danar yang tampak tertidur pulas, lalu kembali melirik layar ponsel yang masih menyala. Dengan satu tarikan napas panjang, aku akhirnya menerima panggilan itu. Wajah bening Tama langsung muncul begitu aku mengaktifkan panggilan video. Aku tersenyum melihat Tama yang tampak kebingungan, lantaran
Daripada rasa penasaranku makin menggunung, lebih baik aku keluar dari kamar mandi. Aku bergerak perlahan dan langsung mendapat perhatian dari mereka berdua. Aku tersenyum canggung dan mengangkat tangan ragu. "Hai," sapaku, lalu melirik Danar yang sepertinya tidak mau menjelaskan apa-apa tentang kemunculan wanita cantik itu. "Hai." Wanita itu balas menyapaku lalu menyimpan nampan sarapan Danar dan berdiri. Aku otomatis mendekat dan dia mengulurkan tangan terlebih dulu. "Gue Marissa. Terima kasih, ya, udah jagain Danar. Buat selanjutnya biar gue yang jagain dia aja." Meski bingung, aku menyambut uluran tangannya. "Gue Wina." Seumur-umur mengenal Danar, baru pertama kali aku melihat wanita cantik ini muncul. Siapa dia? "Bisa dilanjut sarapannya?" tanya Danar, terdengar dingin. Itulah kenapa Giko menyebutnya kulkas, karena memang Danar sewaktu-waktu bisa berubah seperti es. Wanita itu langsung duduk kembali. Dia menyempatkan diri mengibaskan rambut sebelum kembali meraih nampan.
Terima kasih ya, yang udah jeli baca cerita ini. Soalnya masih banyak typo yang bertebaran. Wkwk, posting kejar-kejaran memang begini jadinya. Nggak maksimal. ______Belum banyak info yang aku dapatkan tentang wanita bernama Marissa itu, selain panggilan mereka satu sama lain menggunakan aku-kamu. Karena begitu mereka melewatiku, aku langsung kabur. Beruntung, tidak ketahuan sedang menguping. Weekend ini aku berencana menunggui Danar sebenarnya. Namun, karena wanita cantik itu mengusir dengan cara halus, rencanaku berubah. Dari rumah sakit aku langsung ke stasiun Cawang. Memilih alternatif Commuter Line untuk menuju ke Bogor, ke rumah Ibu. Sejak Dendy ditugaskan di Kalimantan, Ibu memilih pindah ke rumah mendiang almarhum Nenek di Ciomas, masih satu kabupaten Bogor, dekat dengan saudara-saudaranya. Ibu sempat memutuskan menjual rumah yang ada di Jakarta untuk membayar rumah Nenek kepada ahli warisnya. Sudah sekitar empat tahun Ibu di sana. Biasanya dua minggu sekali aku datang untu
Aku baru keluar dari kamar mandi ketika mendengar sayup-sayup suara deringan ponsel. Langkahku bergegas menuju kamar, karena benda ajaib itu aku simpan di atas tempat tidur. Aku beranjak duduk dan meraih ponsel yang layarnya bercahaya. Panggilan masuk dari Tama. "Aku nggak tau kalau kamu udah pulang," ujar Tama di sana setelah menjawab salamku. "Aku udah pulang dari pagi. Kamu lagi ada di rumah sakit?" tanyaku, sambil mengusap-usap rambut yang masih basah. "Iya, aku lagi jalan turun ke lobi mau pulang. Aku pikir kamu masih di RS niatnya mau jemput kamu sekalian. Tapi Danar bilang kamu ke Bogor. Beneran itu?" Aku mengangguk, "Iya, benar. Aku di rumah Ibu." Lalu beranjak berdiri dan bergerak duduk di kursi berhadapan dengan cermin. Aku mengaktifkan loud speaker dan menaruh ponsel di atas meja. Tanganku menarik laci tempat penyimpanan sisir dan pelembab yang sengaja aku tinggal. "Asyik, ya. Liburan nggak ngajak-ngajak." Aku yang sedang menuang toner ke telapak tangan tersenyum. "N