Share

RIVAL 4

Part 4

Jam istirahat telah tiba. Saatnya guru-guru kembali ke kantor. Kali ini semua orang diam karena peristiwa pagi tadi membuat kesal. Pak Sela masih duduk di kursinya dengan menghadap laptop. Sesekali ia juga bermain ponsel. Sejak datang, murid di kelasnya sama sekali tidak diajar. Seperti itulah kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Hanya sesekali saja kelasnya dimasuki untuk diberikan catatan. Selebihnya, jarang kami mendengar suara Pak Sela menjelaskan materi pelajaran pada siswa yang diampunya. Menjadi bendahara seolah membuatnya merasa sebagai pemilik takhta tertinggi di sekolah. Sibuk mengerjakan laporan keuangan selalu dijadikan alasan Pak Sela saat wali murid bertanya mengapa anak mereka tidak diajar.

Rumor bahwa menjadi bendahara itu sangat berat, membuat banyak guru seolah takut jika diserahi tugas meng-handle hal itu. Oleh sebab itulah Pak Sela selalu merasa jika dia adalah orang yang paling berjasa di sekolah. Perannya tidak akan pernah ada yang bisa atau mau menggantikan karena rumitnya pekerjaan bendahara. Selain itu, posisi dia adalah sebagai tutor atau pelatih sekaligus sebagai ketua paguyuban yang menjadi tempat bertanya saat bendahara sekolah lain saat tidak ada yang tahu. Bahkan, konon katanya, sekolah kami menjadi yang terbaik dalam pembuatan laporan keuangan se-kabupaten.

“Beli galon, Pak Rahmat!” ujar Pak Darma pada penjaga sekolah sambil mengulurkan uang lima ribuan.

Lelaki yang dua tahun lagi akan masuk masa pensiun itu mengambil uang di meja Pak Darma dan menurut untuk membeli galon. Aku melirik Pak Sela yang bersikap masa bodo tidak peduli. Bahkan, merasa bersalah pun tidak. Justru senyumnya mengembang saat menatap layar ponsel.

***

Sampai rumah, otak yang mendidih akibat masalah di sekolah, seakan sirna. Melihat dua buah hati yang sedang bermain, menjadi obat pereda segala emosi yang melanda.

Namun, aku menghentikan langkah dan melihat Meida. Tidak, dia tidak sedang bermain. Kukira ia tengah menggambar. Ternyata aku salah. Dia sedang menulis banyak kalimat.

“Adek, jangan ganggu Kakak!” serunya.

Nazmi mencoba mengambil buku kakaknya dan itu membuat Meida menangis. “Jangan ganggu Kakak, Adek! Kakak sedang belajar,” katanya sambil terisak.

“Kak, Kakak istirahat saja dulu! Jangan belajar terus. Sekarang sudah pulang, waktunya buku disimpan. Jadi, tidak diminta sama adiknya. Ayo, simpan! Belajarnya nanti sore saja nunggu Ayah pulang,” kataku mencoba menghentikan jeritan Meida yang melarang adiknya meminta buku serta pensil yang sedang digunakan.

“Tidak mau, Ibu! Aku harus belajar menulis cepat. Aku harus bisa menulis cepat agar aku tidak ditinggal teman-teman. Aku harus bisa menulis cepat, Ibu. Jauhkan Nazmi dari aku, Ibu. Aku mau belajar sampai malam. Sampai bisa menulis cepat ….” Kali ini tangis Meida pecah. Kegundahan hati tentang perubahan sikapnya, kini hadir kembali. Aku yakin, anakku sedang tidak baik-baik saja. Ada sesuatu yang menimpanya di kelas, yang ia takut menceritakan padaku.

Aku mendekati tubuh mungil yang duduk memeluk lutut sambil memegang buku. Nazmi sudah tenang. Duduk dengan memandang kakaknya.

“Kakak kenapa?” tanyaku lembut sambil mengusap rambutnya yang halus. “Ada yang terjadi dengan Kakak di sekolah, tapi Kakak tidak mau cerita sama Ibu. Iya, ‘kan?” tanyaku sambil terus mengusap kepalanya.

Meida diam saja. Ia tambah terisak sambil masih memeluk lututnya.

“Kalau Kakak tidak mau cerita, biar Ibu tanya sama Bu Guru, ya?” senjata terakhir aku keluarkan.

“Jangan, Ibu! Kakak tidak apa-apa. Aku tidak ada masalah apa-apa, Ibu. Aku hanya ingin jadi anak yang cekatan. Yang kalau mengerjakan apapun tidak lambat. Ibu jangan tanya Bu Guru. Nanti aku malah diejek teman-teman, tolong, Ibu. Kalau Ibu sayang sama aku, Ibu jangan ke sekolah.” Meida menatapku dengan air mata yang sudah penuh membasahi pipi.

Aku mengangguk pelan. Memeluknya erat. Meski ia berusaha menutupi apa yang terjadi, aku tetap memiliki firasat jika ia tidak baik-baik saja. Maka, aku sudah membuat keputusan, besok sepulang sekolah akan menemui Bu Ambar. Ia selalu berada di sekolah sampai sore, jadi aku leluasa berbicara karena tidak ada orang.

Setelah Meida tenang, aku lalu ganti baju, sholat dan seperti biasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Baju Meida teronggok di atas tasnya. Aku mengambil dan meletakkan di keranjang karena dia besok sudah berganti seragam. Sejenak ingat tempat nasi dan aku berniat membersihkan. Saat membukanya, betapa kaget karena nasi itu sudah berserakan di dalam tas.

“Kak, kenapa nasinya tumpah?” tanyaku pada Meida.

Anak itu menatapku dengan sorot ketakutan. Ah, Meida-ku. Ada apa denganmu?

“Maaf, Ibu. Aku tidak sempat makan,” katanya. “Nanti aku bersihkan tasnya,” katanya lagi lalu menangis.

“Tidak usah! Ibu saja yang membersihkan.”

“Besok jangan kasih aku bekal lagi ya, Ibu?”

“Tapi Kakak sarapan, ya?”

“Aku harus berangkat pagi lagi, Ibu. Aku tidak usah sarapan.”

“Kakak kenapa sih? Kamu ada apa? Apa yang terjadi? Kamu aneh sekali. Coba cerita sama Ibu, apa yang terjadi?” Kesal, aku berkata sedikit tinggi agar dia takut dan mau bercerita.

Di luar dugaan, dia malah menjawab lain. “Iya, besok Kakak sarapan. Tapi, Ibu harus menyiapkan pagi sekali. Aku harus berangkat pagi.”

Aku menahan emosi agar tidak memarahi dia. Namun, dalam hati bertekad akan ke sekolah besok untuk menyelesaikan masalah ini. Jika sekarang, aku belum memasak untuk suami. Lagi pula, hujan sudah mulai turun.

“Meida pulang siang tadi. Teman-temannya sudah pulang, Meida baru pulang. Saat ditanya, dia tidak menjawab.” Ibu mengadu padaku saat aku berada di dapur.

Fix! Benar-benar ada hal yang terjadi di kelasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status