Share

Bab 3

Aku mendekati Eyang. Terus terang saja, agak merasa aneh sih. Setelah dua puluh tahun baru bisa bertemu lagi. Aku dan Mas Mondi hanya berdiri saja setelah bersalaman dengan Eyang. 

Kalau kuperhatikan, Eyang sangat cantik, meskipun sudah tua. Usianya sekitar tujuh puluhan. Kalau saja tubuhnya tak lumpuh, pasti akan sangat menyenangkan. 

"Bagaimana kabar ayahmu? Kenapa dia tak ikut kesini? Eyang juga suruh dia datang kesini? Biar bisa mengelola kebun juga ternak," kata Eyang. 

"Alhamdulillah, Ayah baik Eyang. Ayah masih bekerja, mungkin beberapa bulan lagi, setelah Ayah pensiun baru datang. Rachel udah bilang sama Ayah, supaya datang sebelum Rachel melahirkan." Aku mengatakan sesuai dengan perbincangan kami dengan Ayah sebelum kemari.

"Sudah berapa bulan?" tanya Eyang seraya menarik tanganku untuk lebih dekat lagi. Beliau mengelus lembut perutku. 

"Masih lima bulan Eyang," jawabku. 

"Mudah-mudahan sehat," katanya. Aku tersenyum mendengar doa Eyang. 

"Kalian istirahatlah dulu. Pasti capek dari perjalanan jauh," ujar Eyang.

"Baik Eyang. Kami ke kamar dulu, ya Eyang," balasku. Eyang mengangguk.

Aku dan Mas Mondi keluar dari kamar Eyang, dan menutup pintunya kembali dengan perlahan. 

Bi Lasmi belum memberitahu di mana kamar kami. Akhirnya aku ke dapur untuk mencarinya, sementara Mas Mondi memilih untuk duduk di sofa.

Aku terus jalan semakin masuk ke dalam rumah. Aku tak tau benar, di bagian mana dapur rumah ini. Karena belum tau seluk beluknya, tapi aku merasa sudah sangat tau saja. Mungkin karena waktu kecil aku pernah tinggal di sini. 

"Bik!" Aku memanggil Bik Lasmi. 

"Iya Non. Bibik di belakang," sahutnya. Segera aku mengikuti arah suaranya tadi. 

Wangi dari bumbu rempah yang dimasak, langsung memenuhi rongga hidungku. Semakin aku jalan ke belakang, semakin tercium aroma yang sangat menggugah selera. 

"Masak apa, Bi?" tegurku saat sudah ada di dapur.

"Masak bebek ungkep. Non Rachel sangat suka kalau dulu Bibi masak kayak gini. Padahal pedes," katanya seraya tersenyum mengingat masa kecilku. 

"Hmm, pantes, wanginya langsung bikin laper," kataku. 

"Sebentar lagi masak. Biar empuk dulu. Bibik juga masak pecak lele," kata Bi Lasmi. 

"Nggak papa Bi. Becanda aja tadi. Bik, kamar Rachel dimana?" tanyaku. 

"Yang di sebelah kamar Eyang," jawabnya. 

Bi Lasmi mengambil satu sendok kecil untuk mencicipi kuah masakannya. 

"Ya udah, Rachel istirahat sebentar, ya Bi." 

"Iya. Udah sana. Nanti kalau sudah selesai semua, Bibi panggil," katanya. 

Aku pun kembali lagi ke ruang tamu. Sampai di ruang tamu, aku tak melihat Mas Mondi. Hanya ada koper dan tas kami saja. Aku segera keluar untuk mencarinya. 

Kuedarkan pandangan, tapi aku tak melihatnya. 

Mataku menangkap seorang anak kecil perempuan yang bermain dengan riang. Manis sekali. Dia seperti sedang mengejar-ngejar bebek. Tawanya sangat renyah. Pasti itu bebek Eyang yang keluar dari kandang. Dimana kandang bebek Eyang ya? Kok aku tak mendengar suara riuhnya. Juga tak ada tercium aroma tak sedap, yang biasanya timbul kalau ada peternakan dekat rumah.

"Adek!" Aku memanggil anak itu seraya mendekatinya. Mungkin dia bisa menjadi temanku yang pertama di sini. 

Dengan riang aku mendekati anak itu yang jongkok sambil bernyanyi karena berhasil menangkap bebek yang sedari tadi di kejarnya. Aku memang suka dengan anak kecil.

"Dek," kataku sambil jongkok juga di sebelahnya.

"PERGI DARI SINI!" Dia tiba-tiba berteriak. Suaranya sangat besar, bukan seperti suara anak kecil.

Aku langsung terjengkang ke belakang melihat anak itu berbalik. Bola matanya putih semua, giginya juga hitam keseluruhan. Suaranya sangat mengerikan. 

Aku berusaha untuk bangkit, dan terus berlari ingin masuk lagi ke rumah. Namun, belum lagi aku sampai ke teras rumah Eyang, aku melihat Mas Mondi. 

Dengan nafas tersengal, dan tubuh agak gemetar, aku berdiri untuk memastikan kalau itu adalah Mas Mondi. Benar, itu Mas Mondi yang ngobrol dengan seseorang.

Aku melihat ke tempat anak itu lagi, tak ada lagi sosoknya di situ. Siapa anak itu? Dia mengingatkan diriku akan mimpi buruk waktu itu. 

Aku mengatur nafas terlebih dahulu agar kembali normal. Kuelus perutku lembut, syukurlah, aku tak merasakan sakit di bagian perutku. 

Setelah bisa bernafas dengan normal lagi, aku menghampiri Mas Mondi. 

"Mas!" Ketika sudah mau dekat, aku memanggilnya. 

Mas Mondi dan Bapak yang mengobrolnya melihatku, Bapak itu langsung pergi begitu saja. Seolah-olah tak suka aku datang. Aneh.

"Siapa itu, Mas?" tanyaku. 

"Pak Sugeng. Katanya tukang kebun, sekalian mengurus ternak bebek sama ternak lele Eyang," jawab Mas Mondi.

"Kok aneh ya," kataku seraya melihat punggung Pak Sugeng yang semakin menjauh.

"Aneh gimana?" tanya Mas Mondi.

"Masak lihat aku dia nggak nyapa. Malah langsung pergi," jawabku. 

"Dia buru-buru. Belum ngasih makan bebek. Tadi dia lagi nyari bebek, hilang satu katanya. Lain kali kita ke kandang bebek. Katanya, dia tinggal di dekat kandang bebek." 

Mas Mondi menggandeng tanganku, kami berjalan lagi ke rumah Eyang. 

'Apa bebek yang dicari Pak Sugeng, yang dikejar sama anak tadi?' tanyaku dalam hati.

Aku bergidik mengingat kejadian yang barusan kualami. Masak sih, anak itu hantu. Siang begini, masak ada hantu? 

Baru lagi mau masuk rumah, kembali aku melihat Bu Parsiah. Awalnya, dia hanya berdiri melihatku, lalu tiba-tiba berlari dan memelukku seperti tadi.

"Sinta, ibu kangen Nak," katanya.

Tentu saja aku sangat takut. Siapa yang tak takut tiba-tiba dipeluk oleh seseorang yang mentalnya terganggu?

"Saya bukan anak Ibu. Nama saya Rachel, bukan Sinta, Bu," kataku berusaha melepaskan diri darinya. 

Mas Mondi dengan sabar mengelus punggung wanita itu. 

"Ibuu, ini bukan Sinta. Ini Rachel, teman Sinta. Coba Ibu perhatikan ya," kata Mas Mondi dengan lembut. 

Mas Mondi memang seperti itu. Lembut dan sangat perhatian, bukan hanya padaku, tapi juga pada orang-orang di sekitarnya. Dia tak tampak panik melihat Bu Parsiah.

Bu Parsiah terdiam memandang lekat wajahku yang masih berada di dalam dekapannya. 

Perlahan, aku bisa merasakan, kalau pelukannya sedikit longgar, lalu terurai seutuhnya. Aku langsung bersembunyi di punggung Mas Mondi, takut Bu Parsiah tiba-tiba memelukku lagi. 

"Bu, ngapain di sini. Gangguan orang aja." 

Aku menoleh mendengar suara itu. Ternyata Pak Sugeng yang datang. 

"Maaf Non, kalau istri saya sudah mengganggu. Permisi," kata Pak Sugeng langsung membawa Bu Parsiah yang masih terus memperhatikanku dengan wajah yang sangat menyedihkan. 

"Kita masuk," ajak Mas Mondi. 

Kami masuk lagi ke rumah Eyang. Walau rumah Eyang sangat besar dan memiliki halaman yang sangat luas, namun tak ada pagarnya. Hingga orang bebas keluar masuk kapan saja. 

Sebelum aku benar-benar masuk ke dalam rumah, aku melihat Pak Sugeng dan Bu Parsiah yang terus pergi menjauh. Iba juga hati ini melihatnya. 

Saat masuk ke dalam rumah. Aku melihat Bi Lasmi keluar dari kamar Eyang dengan membawa baskom berisi air. 

"Buat apa itu, Bi?" tanyaku.

"Buat lap lap badan Eyang. Eyang udah nggak bisa mandi di kamar mandi lagi. Udah nggak bisa jalan," kata Bi Lasmi. 

"Terus, kalau Eyang mau duduk di kursi goyang, siapa yang angkat?" tanyaku. 

"Ya Bibi, sama Pak Manto. Eyang jarang minta duduk di kursi goyang, paling duduk di ranjang aja. Pinggangnya suka pegel kalau duduk di kursi goyang. Seharian ini juga belum. Nanti Mas Mondi bantu angkat ya. Tadi katanya mau duduk di kursi goyang, makannya minta disuapi Non Rachel. Berarti Non belum ngobrol ya, tadi sama Eyang? Soalnya tadi beliau tidur." 

Pernyataan Bi Lasmi membuatku dan Mas Mondi saling pandang. Lalu siapa yang duduk di kursi goyang tadi?

~~~~~~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status