Namanya Bella Almera Mulia, yang tentu saja nama akhirnya berasal dari marga Kerajaan Besar Mulia. Merupakan putri pertama dari Pangeran Kahlil Mulia yang diasingkan sejak usia dua belas tahun terkait keamanan Negara yang saat itu terancam oleh kudeta Raja sebelumnya.
Namun, hari ini Raja Nazeh yang berkuasa akan segera menurunkan tahtanya kepada cucu pertama dari anak pertamanya itu. Sesuai Undang-Undang Istana, jika Pangeran pertama meninggal dunia maka digantikan oleh anak pertama dari Pangeran tersebut.
"Kazem." Suara Sang Raja takzim hendak bertanya kepada pengawal setianya itu, "Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat? Kami bahkan tidak pernah memanggil keluarganya kembali ke Istana setelah sekian lamanya."
"Yang Mulia," Kazem menundukkan kepalanya saat memberikan pendapat bahwa pertimbangan Raja adalah yang utama, sementara beberapa bulan belakangan ini Dewan Penasihat Istana sudah merundingkan hal ini. Hasilnya adalah kesepakatan untuk mengangkat Putri dari Pangeran Kahlil sebagai Pemimpin Kerajaan perempuan pertama dalam sejarah Kerajaan ini.
Mungkin itu yang membuat Baginda dilandar keraguan. Padahal Kahlil sudah diselamatkannya ke tempat yang paling aman saat Istana terjadi huru-hara. Namun, begitu suasana kembali aman dan tentram, Putra pertamanya itu memilih untuk tetap tinggal diluar Istana sebagai rakyat jelata pula. Bagaimana Sang Raja tidak mencelus hatinya, meski tidak pernah memperlihatkannya.
"Tanda tangani perjanjian ini." Teringat kesepakatan yang mereka adakan lima belas tahun lalu. Saat Kahlil dibawa dengan paksa ke Istana untuk menghadapnya.
"Baik." Tanpa menjawab panjang lebar, apalagi memberikan alasan ini itu, Kahlil membubuhkan tanda tangan mahalnya diatas kertas suci.
Sebuah perjanjian bersejarah yang akan masuk ke dalam buku-buku tentang para Pemimpin Kerajaan di masa mendatang. Bahwa seorang Pangeran yang sempat diasingkan selama puluhan tahun tanpa jejak, akan kembali ke Istana dan menjadi penerus Kerjaaan Besar Mulia.
"Namun, apalah daya," Keluh Kazem, ditengah jawabannya kepada Bella sekarang di mobil yang terus melaju tanpa hambatan, "Kami bahkan tidak tahu menahu tentang penyakit yang diderita Putra Mahkota, sehingga pada hari kematiannya yang mendadak itu Sang Raja jatuh pingsan mendengarnya."
Bella kembali menarik nafas panjang. Entah sudah berapa kali dia menahan keterkejutannya hari ini. Ada hal yang baik dan buruk, kejutan yang luar biasa dan kesedihan yang nestapa, semuanya berbaur menjadi satu dalam pikirannya.
"Kita sudah sampai, Putri." Kazem membuka gorden di samping mereka, sehingga tampaklah pemandangan Istana yang begitu megah di tengah-tengah taman bunga yang mengelilinginya. Mobil mereka masih berjalan pelan diikuti pengawalan dari semua sisi, memasuki kawasan alam Istana Kerajaan yang dilindungi.
Ada beberapa satwa liar seperti kijang, rusa, dan zebra berkerliaran di padang berumput yang membentang diantara taman-tamannya. Air mancur setinggi tiang bendra menyambut begitu mereka tiba di teras yang sangat panjang. Ada beberapa undakan tangga yang dilapisi karpet merah.
"Sebentar." Bella merenungkan semuanya sejenak, berusaha menata pikiran untuk mempercayai semua yang dilihatnya.
Aku benar-benar Putri Kerajaan?
Setelah cukup menenangkan diri, dia menyambut uluran tangan seorang Pengawal perempuan bersegaram hitam putih di sampingnya untuk turun. Pengawal itu sempat berbisik apakah dia baik-baik saja karena terlihat sangat pucat.
"Ah iya, aku baik-baik saja." Suaranya benar-benar menggambarkan kegugupan. Mana dia masih memakai seragam sekolah yang tidak lagi baru, warna putih dibalik vest marunnya yang tidak lagi cerah sudah memutih gading. Dia jadi merasa minder untuk memasuki kawasan Istana yang super mewah ini.
Namun, semua perasaan ragu, minder, dan kegugupannya spontan berkurang ketika dia akhirnya bertemu langsung dengan Raja Nazeh. Sang Raja dengan raut yang berkaca-kaca, menahan haru yang merasuki seluruh raganya, menyambut kedatangan cucu pertamanya itu di ruang makan yang megah.
"Bella." Ucapnya, seolah tidak menyangka akan sempat mengucapkan nama itu untuk memanggil gadis kecil yang mirip putra kesayangannya itu.
Aku harus memanggilnya apa? Karena bingung, Bella menunduk saja sampai dia duduk tidak jauh dari tempat duduk Sang Raja.
"Bagaimana sekolahmu, cucuku?" Raja Nazeh bertanya sambil menghentikan makannya.
Bella perlahan menaikkan pandangan ke wajah Sang Raja yang merupakan Kakek yang amat dirindukannya itu. Ayah hanya mengatakan sedikit tentang Kakeknya yang tinggal amat jauh, dan berjanji akan membawa sekeluarga untuk menemuinya saat waktunya tepat. Tidak disangka, dia sendiri yang akan menemuinya dan Kakek itu ternyata adalah Raja Nazeh yang berkuasa.
"Ba-baik ... Kek," Bella menunduk kembali.
"Oh, iya. Aku yakin Kazem sudah banyak memberitahumu, Bella." Raja memulai percakapan yang penting. Sementara Bella mengangguk pelan. "Tetapi, aku tidak yakin jika Ibumu akan mengizinkanmu untuk tinggal di sini sementara waktu."
Oh iya, Ibu! Bella seketika tersadar.
"Meski begitu, kami sudah memberitahu beliau untuk membawamu hari ini ke Istana." Sang Raja terbatuk-batuk dengan berat, sampai seorang pelayan memberinya segelas air hangat. Setelah cukup tenang, Sang Raja melanjutkan, "Ibumu ... luar biasa. Sangat pandai menjaga kerahasiaan serumit ini, sekaligus menjalani kehidupan seperti itu."
Kehidupan seperti itu. Bella merasa sedikit tersinggung oleh perkataan Kakeknya ini, namun dia diam saja dengan seulas senyum polos di wajahnya. Kakeknya yang ternyata sudah berumur hampir sembilan puluh tahun itu, masih saja suka bercerita panjang lebar di depan cucunya.
"Waktunya Raja beristirahat." Jelas Kazem, ketika beberapa pelayan dan pengawal membawa Kakeknya ke kamar lain selesai makan siang.
"Apakah Anda belum makan siang?" Tanya seorang pelayan kepada Bella yang berdiri memegangi kursi. Memandangi sisa makanan Raja yang masih banyak belum terjamah di piring-piring emas.
"Nnng ..." Bella ragu-ragu. Dia baru saja makan siang dengan telur goreng seperti biasa, namun melihat lauk pauk seperti ini kembali rasa laparnya naik lagi. Dia hendak menggeleng pelan begitu Kazem mengatakan padanya untuk makan siang lebih dulu.
"Baik, kami segera siapkan." Pelayan itu kemudian menarik semua piring-piring emas dari atas meja, yang membuat Bella terkejut dalam diamnya. Bertanya-tanya, mengapa mereka membereskan meja makan ini setelah menawarinya makanan?
Tepat lima menit menunggu, para pelayan itu datang kembali dengan piring-piring emas yang berisi lauk pauk lain. Sepaket makanan yang jauh berbeda dari yang sebelumnya dia lihat. Sempat terheran-heran, dia bertanya kepada Kazem dengan suara pelan,
"Kenapa aku tidak makan lauk seperti Kakek saja?"
Kazem lebih terkejut dengan pertanyaannya. Lantas senyum simpul itu terlukis di wajah tegasnya sebelum menjawab, "Makanan Raja berbeda, Putri Bella. Raja memiliki sakit gula dan tekanan darah tinggi sehingga makannya tidak mengandung perasa. Aku mengatakannya kepada Anda, karena Anda cucu pertamanya."
"Ooh ..." Gumaman rendah Bella yang mengerti itu keluar dari lengkungan bibir kecilnya.
Sambil menikmati makanan, dan tidak lupa meminta beberapa piring untuk dibawa pulang untuk Ibunya, Bella memikirkan berbagai hal yang melintas dalam kenangannya tentang Ayah. Oh, jadi ini alasan Ayah berusaha mati-matian memasukkan dia ke sekolah sebagus SMA High Pros, bahkan saat dia menolak dengan alasan biaya. Kini jelas dia bukan masuk lewat jalur keluarga miskin, tetapi Ayah menutupi segalanya dengan mengatakan seperti itu.
Dua jam lebih dia berada di Istana, menikmati setiap ruangan yang ditunjukkan Kazem mulai dari ruang-ruang rapat, ruang-ruang pesta, hingga perpustakaan dan perkebunan yang luar biasa luasnya. Dari sini, Bella mulai mengetahui alasan dirinya yang amat jatuh cinta dengan ilmu pengetahuan serta buku-buku mungkin karena dia keturunan Raja yang membangun ini semua.
Hari sudah semakin sore kala dia memutuskan untuk pulang. Meski dia sudah tahu Ibu tidak akan panik karena telah mengizinkannya pergi ke Istana, tetapi dia ingin beristirahat di kamar kecilnya. Merenungkan kembali apa yang terjadi hari ini. Serta percakapan-percakapannya dengan Raja dan Pengawal Kazem tentang Kerajaan ini.
Tinut. Ponselnya berbunyi ketika dia sedang menuruni undakan tangga berkarpet merah di depan Istana. Sebuah pesan dari Ketua Kelasnya.
"JANGAN SAMPAI KAMU LUPA LAGI BAYAR UANG KAS BESOK!!! KALAU TIDAK ADA UANG BILANG SAJA, AIKO MAU MEMBAYARKANMU. JANGAN BANYAK GAYA, TERIMA SAJA!!"
Bella menarik nafas sembari bibirnya menarik cengiran kecil. Sungguh ironis apa yang sedang terjadi ini. Bagaimana mungkin dirinya yang dicap aneh dan miskin kini justru sedang bersama pengawal di Istana, sebagai Putri Kerajaan?
Tidak sengaja, Kazem mengarahkan matanya ke layar di tangan Bella yang terus menatap tanpa suara. Sangat terkejut dengan tulisan besar yang kasar itu, Kazem bertanya siapa yang telah menganggunya di sekolah.
Bella menggeleng cepat, "Ti-tidak ada, hehe. Ini hanya ... masalah dengan teman. Biasalah."
Kazem sendiri tidak yakin, jadi diberikannya sesuatu kepada Bella sekaligus berpesan, "Saya mohon jagalah diri Anda, dan kalau ada sesuatu yang penting jangan ragu untuk menghubungi saya."
Sebuah kartu hitam bertulis tinta emas dengan namanya mendarat di genggaman tangan Bella. Tidak pernah dia memiliki sebuah kartu sebelumnya. Saat dia hendak bertanya, baru disadarinya kartu itu adalah kartu debit unlimited yang hanya dikeluarkan untuk Anggota Keluarga Kerajaan.
Bella pulang sebelum matahari turun dari permukaan langit yang oranye kemerahan. Sungguh sore yang cerah. Limosin yang mengantarnya tidak sampai ke depan rumah karena terpentok oleh gang yang sempit, berhenti agak jauh dari sana. "Kazem," Bella memanggil Pengawal itu yang kini balas menatapnya. "Tolong jangan bilang apapun soal yang kamu lihat di ponselku tadi kepada Kakek, ma-maksudku Baginda Raja, ya." Kazem tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Baik." "Juga," Bella melanjutkan, "Apakah saat di sekolah tadi ada anak kelas tiga yang melihatmu datang?" Mereka berdua sama-sama terdiam. "Sepertinya tidak, bukankah anak kelas tiga sedang ada pelajaran tambahan?" Kazem balas bertanya. Kini Bella yang mengangguk, "Oh iya, benar. Lain kali, tolong jangan datang ke sekolahku. Kita bertemu diluar saja, boleh?" "Baik." Bella lantas turun, kakinya kembali menapaki tanah jalanan yang becek. Aspal sudah berhenti seja
Keesokan paginya, suasana masih sama; pagi yang dingin berembun disertai sisa-sisa gerimis semalaman, jalanan yang becek sebelum menginjak bagian berasapal di dekat sekolah, hingga tatapan tidak peduli anak-anak yang dijumpainya. Bella, masih orang yang sama. Baik itu sikap diam yang ditunjukkannya, maupun sikap teman-teman kepadanya. "Hei." Aiko, yagn tumben sudah datang pagi-pagi, lebih dulu berdiri di samping mejanya. Diikuti lirikan anak-anak gengnya. Bella terkesiap.Seingatku semalam sudah bayar,pikirnya. "Aku sudah mentransfer balik kelebihannya." Gadis berkuncir kuda itu berkata ambil menahan gengsi, namun raut wajahnya mengerut, "Kamu kok, bisa punya uang segitu banyak? Kelihatannya gak pantas banget deh, untuk kamu." Melihat Bella masih belum memberikan reaksi apa-apa, Aiko tambah geram ingin sekali memancingnya. Anak super manja yang menjadi perhatian seisi sekolah itu, bergerak mendekati wajah Bella. Menatapnya
Oh iya, sore nanti acara peringatan hari kematian Ayahnya akan diadakan di rumah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, para tetangga akan membawakan makanan untuk tuan rumah yang sedang berduka. Begitulah budaya di Negeri ini. Satu hal yang baru Bella sadari adalah, acara ini selalu bertepatan dengan acara penggalangan dana di Istana. Dihadiri oleh para pejabat, selebriti, serta tokoh masyarakat terkemuka diatas karpet merah. Sejak tiga tahun lalu, "Galang Dana Nasional" selalu menjadi berita paling populer menjelang akhir tahun. Hal tersebut secara kebetulan nyambung dengan fakta bahwa mendiang Ayahnya sangat dermawan dan suka membantu orang yang kesulitan. Bella tidak pernah melihat Ayah keberatan untuk menebarkan kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya. Apakah itu mungkin acara ... "Bella?" Suara Miss Claire menegur lamunan panjangnya. Begitu Bella mengangkat tatapan kepadanya, "Boleh kamu jawab soal di depan ini?" Kebetulan itu soal
"Nak!" Ibu memanggil dari dapur, sehingga Bella yang sedang menata minuman air mineral di ruang tamu tergopoh-gopoh menghampirinya. "Ada apa, Bu?" Bella sedikit panik mendengar nada tinggi Ibunya itu. Tidak seperti biasanya. "Apakah kamu yang mengubahdress codeacara hari ini jadi seperti ini?" Rupanya Ibu selalu memantau acara Istana tersebut lewat ponselnya. Sesuatu yang tidak Bella ketahui sama sekali sejak tahun-tahun lalu. Acaranya disiarkan secara live di kanal Istana. "Bu, jadi Ibu selalu menontonnya?" Bella bertanya sambil tidak percaya. "Ini kamu yang mengubahnya?" Ibu tetap ngotot bertanya, tidak menghiraukan pertanyaan Bella barusan. "Ya." Jawab Bella singkat. Sebelum bergerak mengambil nampan minuman lagi di belakang punggung Ibu. "Apa-apaan sih, kamu!" Tiba-tiba saja omelan Ibu terdengar memenuhi dapur, membuatnya terlonjak di tempat dan menatap dengan mata membesar, "Itu warna kesukaan Ay
Menjelang malam, jam pelajaran tambahan baru saja berakhir. Ini adalah waktu belajar terlama yang pernah dirasakan Bella, karena sebelumnya dia pasti sudah bersantai di rumah sepulang sekolah. Kedua langkahnya yang besar-besar itu dipercepat kala melewati jalanan yang mulai rusak diantara rumah-rumah warga yang cukup padat. Ladang-ladang jagung telah jauh dilewatinya, sepi diikuti gemerisik angin yang membuat bulu kuduk merinding. Sampailah dia di depan pekarangan rumah yang temaram cahaya lampu. Rupanya Ibu sudah menunggu sembari menuliskan sesuatu di buku penjualannya. Wajah renta itu kembali bersinar mendapati anak kesayangannya telah pulang. Senyumnya terulas lebar saat hendak bangkit untuk menghampiri Bella, jika seandainya anak itu tidak menghampiri duluan. "Bagaimana di sekolah? Apakah mereka masih merundungmu?" Tanya Ibu, setelah membantu melepaskan tas dari punggung lelahnya. Bella menggeleng disertai cengiran kecil, "Tidak, tidak lagi
"Huhuhu ..." Baginda masih saja menutupi wajah dengan jemari rentanya, lantas membuat panik seisi ruangan. Termasuk Bella yang bergerak hendak mendekati Kakeknya yang amat bersedih itu. "Yang Mulia apakah Anda baik-baik saja??" Mereka bertanya-tanya dengan wajah panik. Beberapa diantaranya memandang ke arah Bella dengan tidak suka. Semakin nampak ketidaksukaan di wajah mereka, yang sebelumnya hanya sebatas lirikan sinis yang diam-diam. Kini, mulut-mulut busuk dibalik pakaian mewah nan mahal itu telah menyalahkannya dari tempat duduk mereka. "Lihat, hadiahnya bahkan membuat Baginda tersinggung dan bersedih!" "Dasar tidak tahu diri, padahal ini hari kematian Ayahnya, Putra Mahkota!" "Apakah dia tidak menghormati Ayahnya sendiri, apalagi Baginda Raja?" Namun, selang beberapa menit, "Huhu," Raja berusaha menarik nafas panjang dan menghembuskannya, perlahan menenangkan dirinya, "Tenang semuanya, aku baik-baik saja." "Bella, Sayangku
Lehernya mendadak tegang dan tidak mampu menoleh. Dia takut itu seseorang dari gengnya Aiko atau Luna, karena jelas-jelas suaranya tidak dia kenali. Gawat, padahal dia sudah sengaja memilih tempat yang sepi ini biar tidak diganggu! "Hei," Wajah itu segera muncul ke hadapannya sambil menggeser bangku besi di seberang meja. Bella perlahan mengangkat tatapan dan mendapati Miss Claire, guru Bahasa Inggrisnya yang baru itu sedang duduk santai seraya melemparkan senyum sok akrab. Dia menjadi kikuk. Tidak terbiasa menerima kehadiran orang lain di meja makannya. "Santai saja," Guru itu berkata, sebelah tangannya mengibas ke udara, "Oh, maaf. Apakah aku menganggumu?" Bella menggeleng ragu. "Syukurlah." Wanita muda yang berpenampilan layaknya pekerja perkantoran dari Kota Pusat,super stylishdan bahkan kaca mata hitam menggantung di kemejanya. "Hmm, begini. Bolehkah aku tahu lebih banyak tentangmu, Bella?" Tanyany
"Kamu pikir tadi itu lucu?" Bella sudah berdiri menyilangkan kedua lengan di dada, sementara Ilham yang sedang melewatinya di lorong itu sontak terdiam. Ini jam pulang, tetapi mereka masih harus mengikuti pelajaran tambahan. "Apanya?" Ilham menjawab dengan nada yang membingungkan. Apanya, dia bilang?Bella mendelikkan mata, "Apanya? Jelas-jelas kamu melihatku tadi di kelas, Ilham!" Akhirnya dia berteriak juga tidak sabaran. "O-oh ... iya, hehe." Seulas cengiran itu tampak di wajah si lelaki Persia yang kini mengacak-acak rambut belakangnya. Bella kehilangan ekspresi melihat gelagat aneh temannya ini. Padahal baru saja Ilham memohon-mohon maaf untuk diterima lagi menjadi temannya, tetapi sekarang? Lihat! "Kamu lupa, hah? Baru tadi pagi kamu bilang kiat berteman, tapi sekarang kamu sudah ikut-ikutan mengucilkanku?" "Bu-bukan begitu, Bell." Sahutan Ilham terkesan tidak peduli. Kakinya yang jenjang dibalik segaram putih i