"Huhuhu ..." Baginda masih saja menutupi wajah dengan jemari rentanya, lantas membuat panik seisi ruangan. Termasuk Bella yang bergerak hendak mendekati Kakeknya yang amat bersedih itu.
"Yang Mulia apakah Anda baik-baik saja??" Mereka bertanya-tanya dengan wajah panik.
Beberapa diantaranya memandang ke arah Bella dengan tidak suka. Semakin nampak ketidaksukaan di wajah mereka, yang sebelumnya hanya sebatas lirikan sinis yang diam-diam. Kini, mulut-mulut busuk dibalik pakaian mewah nan mahal itu telah menyalahkannya dari tempat duduk mereka.
"Lihat, hadiahnya bahkan membuat Baginda tersinggung dan bersedih!"
"Dasar tidak tahu diri, padahal ini hari kematian Ayahnya, Putra Mahkota!"
"Apakah dia tidak menghormati Ayahnya sendiri, apalagi Baginda Raja?"
Namun, selang beberapa menit, "Huhu," Raja berusaha menarik nafas panjang dan menghembuskannya, perlahan menenangkan dirinya, "Tenang semuanya, aku baik-baik saja."
"Bella, Sayangku
Lehernya mendadak tegang dan tidak mampu menoleh. Dia takut itu seseorang dari gengnya Aiko atau Luna, karena jelas-jelas suaranya tidak dia kenali. Gawat, padahal dia sudah sengaja memilih tempat yang sepi ini biar tidak diganggu! "Hei," Wajah itu segera muncul ke hadapannya sambil menggeser bangku besi di seberang meja. Bella perlahan mengangkat tatapan dan mendapati Miss Claire, guru Bahasa Inggrisnya yang baru itu sedang duduk santai seraya melemparkan senyum sok akrab. Dia menjadi kikuk. Tidak terbiasa menerima kehadiran orang lain di meja makannya. "Santai saja," Guru itu berkata, sebelah tangannya mengibas ke udara, "Oh, maaf. Apakah aku menganggumu?" Bella menggeleng ragu. "Syukurlah." Wanita muda yang berpenampilan layaknya pekerja perkantoran dari Kota Pusat,super stylishdan bahkan kaca mata hitam menggantung di kemejanya. "Hmm, begini. Bolehkah aku tahu lebih banyak tentangmu, Bella?" Tanyany
"Kamu pikir tadi itu lucu?" Bella sudah berdiri menyilangkan kedua lengan di dada, sementara Ilham yang sedang melewatinya di lorong itu sontak terdiam. Ini jam pulang, tetapi mereka masih harus mengikuti pelajaran tambahan. "Apanya?" Ilham menjawab dengan nada yang membingungkan. Apanya, dia bilang?Bella mendelikkan mata, "Apanya? Jelas-jelas kamu melihatku tadi di kelas, Ilham!" Akhirnya dia berteriak juga tidak sabaran. "O-oh ... iya, hehe." Seulas cengiran itu tampak di wajah si lelaki Persia yang kini mengacak-acak rambut belakangnya. Bella kehilangan ekspresi melihat gelagat aneh temannya ini. Padahal baru saja Ilham memohon-mohon maaf untuk diterima lagi menjadi temannya, tetapi sekarang? Lihat! "Kamu lupa, hah? Baru tadi pagi kamu bilang kiat berteman, tapi sekarang kamu sudah ikut-ikutan mengucilkanku?" "Bu-bukan begitu, Bell." Sahutan Ilham terkesan tidak peduli. Kakinya yang jenjang dibalik segaram putih i
Pagi masih baru saja naik bersama sinar mentari yang menerobos bumi dengan hangat, menghalau dingin bekas hujan semalam. Anak-anak yang baru datang dengan wajah ceria mendapati majalah dinding menjadi lebih menarik karena ada suatu kertas yang tertempel di sana. Sebuah pengumuman. Tidak menunggu waktu lama, gerombolan itu terbentuk di depan majalah dinding yang semakin ramai. "Akan ada study tour?" Seorang anak perempuan menaikkan alisnya. "Oh, khusus untuk kelas dua belas." Temannya menyahut, setelah itu mereka sama-sama melewatinya. Lain dengan gerombolan lelaki di sampingnya, "Ke Istana Wheels? Ini namanya jam pelajaran tambahan, cuma beda suasana saja." "Ah, malas, deh." Mereka saling sahut. "Sudah yuk, cabut." Bella baru saja menginjakkan kaki di lobi, matanya tertarik ke kerumunan yang ramai di depan majalah dinding langsung ikut memperhatikan dari jauh. Terllau sulit untuk menerobos ke depan, jadi dia berdiri mema
"Hei, dia bilang akan datang menyusul?" Mereka mulai berbisik satu sama lain. Beberapa anak bahkan mulai menaruh curiga kepada Bella yang terkesan selalu menghindari acara-acara yang diwajibkan untuk anak non-beasiswa seperti ini. Tetapi, Luna langsung bertanya kembali padanya, "Apa kamu ada acara hari itu?" "Emm, iya." Bella sadar dirinya dalam situasi yang serba sulit. Tidak bisa menghindar lagi seperi sebelumnya, namun juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya–bahwa dia akan menghadiri kelas pribadinya di Istana itu! "Apa itu?" Tanya yang lain. "Ehm, ada ..." Bella terlihat mulai berkelit. "Ada sesuatu yang harus kulakukan." "Eh, dia tidak ikut lagi?" Tiba-tiba saja Aiko menyambar percakapan mereka dengan tampang siap mencemooh. Luna berusaha mengabaikannya, "Oh, ya sudah. Tidak apa, yang penting kamu ikut, Bella." Bella mengangguk saja. "Hahaha." Tawa Aiko meledak, diiringi tertawaan gengnya, "Tidak mungkin. Kukira
Siangnya, bosan karena tidak mengikuti jam pelajaran seperti biasa, Bella membuka-buku latihan soal sambil menuliskannya di catatan. Panasnya mulai turun dan kepalanya sudah tidak merasakan pusing. Dua sudah kembali segar setelah meminum ramuan khusus dari Ibu, yang bahannya dikirimkan oleh Istana ketika mengabarkan dia yang sedang sakit. "Nak, istirahat dulu," Ibu menepuk-nepuk pundaknya pelan ketika menghampirinya sejenak. "Iya Bu, setelah ini aku mau tidur siang." Dia baru saja akan menutup bukunya ketika ponselnya berdering di atas meja. Saat dilihat nama Kazem di layar, Ibu menyuruh untuk segera mengangkatnya karena bisa jadi itu hal yang penting. "Ya, halo?" Selang beberapa detik kemudian dia menjerit tidak percaya, "Tu-tujuh puluh juta?!" Ibu sampai ikut-ikutan terlonjak di tempatnya sambil mengelus dada, "Ada apa, sih? Kenapa kamu heboh sekali, Nak?" Sambil menutup telepon, Bella memandang dengan kosong ke jendela k
Bella tidak berkedip mendapati perlakuan anak-anak sekelas yang terlewat cuek pada apa yang dialaminya. Mereka semua melihat dengan jelas kedua anak superior itu mencorat-coret mejanya, lalu memindahkan tempat duduknya ke sudut kelas yang sepi. Padahal kemarin mereka berlagak seperti teman baiknya. Terutama Luna. Gadis berjaket ungu lavender itu kini bersandar santai di bingkai jendela kelas, memandangi dengan sinis entah apa yang ada dalam gumamannya. Sudah muak dengan semua ini, diarahkannya langkah panjang ke bangku barisan depan. Tempat aslinya duduk, daripada memilih kalah dengan duduk di pojok sana. Melihat itu, kedua anak perundung di dekatnya langsung bergerak mendekat dengan kepala panas. "Heh!" Bentak Luna sambil masih berjalan penuh emosi. "Siapa suruh kamu duduk di sini?!" Aiko ikut-ikutan memelototinya dari dekat. Berharap yang dipelototi sekarang membalasnya takut-takut seperti biasa. Namun tidak. Ekspektasinya telah goyah,
"Satu hal lagi." Miss Claire hendak menutup sesi ceramah panjangnya di depan kelas, seraya menaikkan jari telunjuknya ke depan wajah, "Jangan pernah dipengaruhi orang lain untuk berbuat jahat ke teman kalian sendiri. Kalau saya dengar sekali lagi ada hal seperti ini terjadi, saya akan menghubungi orang tua kalian masing-masing." "Lalu, Anda ingin mengatakan apa?" Aiko rupanya tidak memiliki rasa takut sama sekali untuk mendengarkan seperti yang lain. "Anaknya tidak akan lulus dari ujian Bahasa Inggris!" Ujar Miss Claire membentaknya yang sontak membuat semua anak tambah tegang di dalam ruangan. Termasuk Aiko yang langsung kaku. "Saya tidak peduli siapa orang tua kalian karena mereka sendiri telah menyerahkan nilai kalian kepada saya. Ingat itu baik-baik." Seisi kelas masih mendengarkan dengan senyap tanpa ada yang berani berbicara. "Bella, kembali ke tempat dudukmu di depan. Tinggalkan meja penuh coretan itu!" Perintah Miss Claire sebelum membuka spid
"Iya, anakku bercerita kalau Bella suka berbohong di sekolah, apakah itu benar?" Senyumnya masih menunjukkan cemoohan. Sayangnya Bella tidak dapat melihat manik mata wanita sok kaya anaknya Wali Kota itu. Mungkin dia merasa dirinya diatas awan, sementara orang-orang biasa dianggapnya rakyat rendahan yang tidak ubahnya seperti sampah. "Tidak." Bella langsung menyahutnya. "Maaf Bu, saya berbohong soal apa, ya?" "Ah, sepertinya ..." Ibunya Nazar seolah menyapu pandangan ke sekeliling toko, enggan langsung menjawab, "Kamu menyebarkan rumor tentang dirimu sebagai pewaris Starfront. Apa itu benar? Hahaha." Suaranya dibesarkan seolah ingin agar orang lain mendengarnya. Benar saja para karyawan toko lantas memperhatikan mereka. Apalagi karyawan yang tadi sempat menanyakan apakah Bella benar-benar akan membeli tasnya. Bella sampai membeku di tempat. "Memang itu benar." Tidak diduga, Ibu membelanya. Bella terkejut sendiri. Padahal it