“Aku pingsan karena dehidrasi dan kelaparan, lalu ayahku datang. Dia dan Bibi Viviana menyuruhku untuk berpura-pura amnesia. Aku yang saat itu tidak mengerti hanya mengangguk saja, karena Bibi Viviana mengancamku akan mengurungku kembali di kamar yang gelap itu jika aku tidak mau. Setelah itu aku diberi makanan yang enak-enak dan tubuhku kembali bugar. Bahkan aku diijinkan untuk keluar dan jalan-jalan bersama Josh, dengan diantar oleh seorang laki-laki seumuran ayahku. Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja mobil yang kami tumpangi ditabrak dan akhirnya kami kecelakaan,” lanjut Tania dengan kening mengernyit.Leo menaikkan sebelah alisnya. “Kecelakaan itu memang murni karena musibah atau sudah direncanakan sebelumnya?” “Aku tidak tahu.” Tania menggeleng. “Ayahku datang bersama Bibi Viviana dan seorang laki-laki ke rumah sakit tempat aku dan Josh dirawat. Yang kutahu setelah itu, namaku adalah Emily William, aku bukanlah anak dari ayahku, aku adalah adik dari Josh, harus mendekati ora
"Jadi, siapa temanmu ini?" tanya Arsen tak tahan lagi. Leo mengernyit melihat tingkah aneh Arsen yang terlihat curiga. Dia melihat Jack yang tiba-tiba sudah berada di samping Claire. "Oh, kenalkan ini Jack Reeves, atasanku. Dia juga atasan Claire... ""Apa?" potong Arsen tak mengerti. "Atasan Claire?" "Maksudku atasan Rose," koreksi Leo. "Hei, kau makanlah dulu. Aku membawakan makanan dari restoranmu sekalian baju ganti. Paman Andreo akan kesini nanti untuk menggantikanmu.""Apa maksudmu dengan atasan Rose?" kejar Arsen lagi, tak mau melepaskan begitu saja. Jack yang mendengar kegigihan Arsen langsung berbalik dan mengulurkan tangannya. "Aku Jack Reeves, kepala FBI sekaligus atasan Rose, agen khusus FBI. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."Arsen hanya melihat tangan Jack tanpa berniat untuk menyambutnya. Dia justru memicingkan matanya. "Rose adalah agen khusus FBI? Bagaimana bisa? Maksudku, sejak kapan?" "Dengar, Arsen. Kami kesini hanya ingin melihat keadaan Claire, tidak be
Sudah satu jam lebih berlalu, namun Arsen masih yakin bahwa Claire belum meninggal. Pria itu tetap menunggui Claire di ruang jenazah, dan itu membuat Leo kasihan sekaligus sedih. Ia memang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa sepupunya meninggal, tapi ia berusaha kuat untuk tegar. Berbeda dengan Andreo dan Laura yang langsung pingsan karena tak kuat menghadapi kenyataan. Selama satu jam itu, Arsen terus saja mengoceh tak karuan sambil sesekali menciumi punggung tangan gadis itu. Air matanya kembali menetes dan cepat-cepat ia menghapusnya.“Kalau saja kita hidup di dunia fiksi, pasti Claire bisa hidup lagi,” ucap Josh lalu terkekeh di sebelah Leo, namun setelah itu bibirnya bergetar dan air matanya kembali mengalir.“Aku juga berharap seperti itu. Tapi inilah realitasnya, Josh. Tak ada yang bisa kembali dari kematian, kecuali Tuhan memang benar-benar mau menunjukkan kuasa-Nya pada manusia sok tahu seperti kita,” sahut Leo dengan suara serak.Josh kembali terkekeh sambil mengu
“Aku melihat ada seorang laki-laki yang tingginya sekitar 20 meter. Berpakaian serba putih dan rambutnya juga putih sepunggung, tapi dia masih muda. Dia tersenyum padaku. Awalnya aku takut, tapi dia hanya diam di sebelah bukit,” jawab Claire dengan senyum tak lepas dari bibirnya.“Apa dia lebih tampan dari aku?” Arsen mengerutkan keningnya seraya mencibir.“Jangan konyol.” Claire terkekeh kecil. “Setelah itu, tiba-tiba saja aku berada dalam kegelapan yang menakutkan.”Arsen membelalakkan matanya. “Serius? Aku juga sempat mendapatkan penglihatan soal itu. Yah, kupikir itu cuma halusinasiku saja setelah kau dinyatakan meninggal oleh dokter,” ucapnya lalu tersenyum masam.“Hanya sebentar saja aku berada dalam kegelapan. Setelah itu aku berada di sebuah rumah serba putih. Aku seperti terperangkap dalam rumah itu dan tak bisa keluar.” Claire berdehem sejenak. “Lalu aku mendengar alunan musik yang membuat rumah itu bercahaya. Saat seseorang menyanyikan sebuah lagu, terdengar seperti se
Arsen menaikkan kedua alisnya saat melihat sahabatnya. Pria itu melangkah mendekatinya, lalu saling menepuk bahu sembari bersalaman.“Kau harus melihat keadaan Tania kapan-kapan. Dia benar-benar sendirian saat ini. Josh pun sudah mulai luluh hatinya dan mau kembali menerima gadis itu di rumahnya,” ucap Leo pada Arsen sebelum mencium kening Claire.“Dia sendirian? Kenapa tidak kau ajak kesini saja?” tanya Claire lalu tersenyum saat Paul menghampirinya.“Kau tidak sedang bercanda, kan? Dia pernah melukaimu, Claire. Seharusnya kau....”“Arsen, dia melakukannya dalam keadaan tidak sadar. Akulah yang seharusnya meminta maaf padanya, karena James sudah melukainya terlalu jauh,” potong Claire sembari tersenyum.Paul memeluk gadis itu dan mengusap rambutnya. “Inilah kenapa aku merindukanmu. Satu-satunya pasien yang membuatku ingin segera menyelesaikan urusanku untuk menemuimu. Setelah kau sembuh, kita akan kembali melakukan terapi. Semoga saja James sudah tidak lagi muncul.”“Ah, aku m
Seminggu sebelum berangkat ke RusiaLaura menatap pria yang selama ini menghuni hatinya dengan wajah datar dari balik jendela kamar rawat. Meskipun wajahnya terlihat datar, namun batinnya berkecamuk dan rasa takut sedikit menyelinap di hatinya. Bayangan mengenai dirinya yang diserang oleh Sergio dengan menggunakan pecahan kaca terus menghantuinya setiap malam, membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang. Setiap hari ia bermimpi buruk dan selalu terbangun dengan berteriak. Sebisa mungkin ia berusaha untuk menyembunyikan traumanya pada siapapun, karena ia tidak ingin membebani pikiran ayahnya. Claire yang masih belum kunjung bangun membuatnya menyembunyikan semuanya dan berusaha untuk bersikap baik-baik saja di hadapan semua orang.Yang mereka tahu, Laura hanya mengalami luka fisik dan sedang dalam masa pemulihan. Tidak ada yang boleh tahu mengenai kondisi mentalnya yang jauh dari baik-baik saja. Apalagi setelah ia tahu bahwa ada janin di dalam perutnya. Berkali-kali ia berusaha untuk
Hari H persidangan Sergio Setelah dua minggu Sergio dirawat di rumah sakit Cannon Beach, pihak kepolisian Rusia membawa pria itu kembali ke Moscow dengan pengawalan ketat. Meskipun kondisi fisik Sergio belum sepenuhnya pulih, namun pria itu sudah bisa berjalan sendiri meskipun dengan kaki yang pincang. Laura datang sebagai saksi di persidangan pria itu didampingi oleh pengacara yang dipilihkan Leo. Seharusnya Andreo juga datang sebagai saksi, namun pria itu masih dalam masa pemulihan dan belum kuat menempuh perjalanan jauh karena fisiknya melemah. Akhirnya Andreo memberikan kesaksiannya melalui teleconference.Sedangkan untuk Claire, tentu saja dia tidak bisa hadir dalam persidangan karena masih koma di rumah sakit. Dokter sudah memberikan keterangan resmi dan dokumen itu dibawa oleh pengacara Laura beserta bukti-bukti berupa foto-foto luka fisik di seluruh tubuh Claire, juga bukti rekaman CCTV di hotel tempat kejadian perkara. Seluruh keterangan saksi dan bukti-bukti dari para kor
Seorang gadis berambut brunette ikal dengan gaun panjang berwarna biru navy yang dilapisi dengan blazer hitam dan mengenakan sepatu boot hitam, berjalan dengan penuh percaya diri mendekati meja sekretaris CEO sebuah hotel ternama di kota Portland. Ia melihat sekretaris yang tengah sibuk dengan pekerjaannya itu segera berhenti ketika tubuhnya sudah sampai tepat di hadapan wanita itu. "Leo ada? Aku ingin bertemu dengannya," tanyanya dengan ramah. Ia melepaskan kacamata hitam yang dikenakannya dan memegangnya dengan tangan kiri. Wanita berambut coklat itu melihat penampilannya dari atas sampai bawah dengan pandangan meremehkan. "Sudah membuat janji?" tanya sekretaris itu dengan nada sedikit tidak bersahabat. Ia mengernyit heran. "Haruskah aku membuat janji jika ingin bertemu dengannya?"Wanita itu semakin menatapnya dengan sinis, lalu mendengkus. "Selera Leo ternyata menurun. Dia sekarang beralih pada gadis remaja, heh? Kau menjadikan dia sebagai sugar daddy?" Wajah ramah itu langs