Ahmad terbaring tak sadarkan diri di tengah-tengah kebun jagung. Beruntung saat itu, hari sudah mulai terang. Para warga yang sering melalui jalan itu untuk pergi ke ladang atau kebunnya, tidak sengaja menemukan Ahmad.
'Mayat... Mayat... Tolong ada mayat!' Satu teriakan dari seorang warga membuat warga yang lainnya datang ke tengah-tengah kebun jagung. "Di mana mayatnya No?" tanya salah seorang warga. "Itu mayatnya Pak! Sepertinya mati dibunuh," sahut Nono-- warga yang pertama kali menemukan Ahmad. Melihat kerumunan di kebun jagung, empat orang saudara Harto lekas mendekat. "Ada apa ramai-ramai Pak?" tanya Marto, menanyai salah seorang warga. "Itu ada mayat pak Marto!" Mendengar mayat, keempat saudara Harto saling berpandangan, dengan wajah yang menegang. 'Ahmad!' pekik mereka bersamaan, kemudian berlari menerobos kerumunan. "PermTak mau membuang waktu. Setelah semuanya sedikit membaik dan kondisi ketiganya memungkinkan untuk dibawa pergi. Para saudara Harto dan Agung lekas membawa ketiganya ke desa Gandara. Perjalanan yang ditempuh lumayan jauh dan memakan banyak waktu, begitu pula dengan cobaan yang silih berganti. Namun semua itu tidak menyurutkan tekad mereka untuk tetap pergi. "Itu di sana ada warung, mana ramai lagi. Kita berhenti di sana saja sekalian tanya!" usul Bani. "Warung yang mana sih Ban? Di sana berkabut, aku tidak melihat warungnya," ujar Marto, beberapa kali mengusap kedua matanya. "Masa sih Mas tidak lihat? Itu jelas sekali warungnya! Coba mas lebih dekat lagi, nanti juga kelihatan," ucap Bani. Marto menurut saja. Walaupun merasa tidak yakin dengan kata-kata Bani, tapi ia tetap mengikutinya saja. "Nah, itu warungnya! Ada kan Mas? Gung?" Bani menanyai para saudaranya dan juga Agung.
Kali ini kening busu Anwar yang mengerut bingung. Ia kembali memiringkan kepalanya ke arah belakang rombongan Harto. Masih tampak di depan matanya, seorang berdiri dengan kepala yang menunduk. "Itu ibu kalian, kan?" tanya busu Anwar, menunjuk. "Ibu? Maaf Busu, tapi ibu kami sudah meninggal dunia. Baru beberapa hari lalu dimakamkan," jawab Marto. Kali ini busu Anwar mengerti, siapa sosok wanita paruh baya yang mengikuti rombongan di depannya. Netranya beradu pandang, kala sosok yang menyerupai ibu Harto mendongakkan kepalanya. Seringai mengerikan terpampang jelas, mulutnya melebar hingga batas daun telinga dengan tetesan darah berwarna hitam yang berbau busuk dan anyir. "Astagfirullahaladzim..." lirih busu Anwar, malingkan wajahnya ke arah lain. "Lebih baik kalian semua masuk dulu!" ujar busu Anwar, mempersilahkan tamu-tamunya. Tak mau banyak tanya soal satu sosok yang ikut rombongan mereka. Ma
Nana segera mengalihkan pandangannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Beberapa saudara Harto melirik wajah Nana yang memucat. "Mereka tidak akan melepaskan kalian begitu saja. Calon tumbal yang sudah ditargetkan, tidak akan dilepaskan. Mereka akan memburu calon mereka sampai ke manapun," Kalimat yang diucapkan busu Anwar, sukses membuat bulu kuduk Nana berdiri. Ia tidak menyangka, dunia mistis begitu mengerikan. Terlebih masalah tumbal-menumbal. "Jadi, kami semua harus bagaimana Busu? Tolong selamatkan ketiga adik kami!" Marto memohon, dengan wajah memelas. "Insyallah kita akan berjuang untuk adik-adik kalian. Semoga saja makanan atau minuman yang masuk ke dalam tubuh mereka belum mendarah daging. Kalaupun sudah mendarah daging, mungkin prosesnya akan sedikit lebih lama. Terutama untuk Mbak dan Mas yang muda ini!" Tunjuk busu Anwar. Ahmad dan Nana saling berpandangan. Wajah keduanya semakin pucat dibuatnya
Harto menutup kedua telinganya. Bisikan aneh yang membuatnya merasa takut sendiri. "Jangan didengar bisikan itu! Itu bisikan setan yang tidak ingin kamu dirukiyah," ucap busu Anwar memperingatkan. Dengan memantapkan hatinya, Harto memohon ampun pada enam saudaranya, begitu pun dengan Agung dan juga Nana. "Silahkan bersuci dulu!" titah busu Anwar. Harto beranjak dari duduknya. Ia mengikuti salah satu santri yang tadi mengantar Ahmad ke belakang. Walaupun tertatih-tatih, Harto tetap membulatkan tekadnya untuk bisa terlepas dari belenggu ilmu sesat sang ibu. Begitu selesai bersuci, tak jauh berbeda dengan Ahmad sebelumnya, wajah Harto terlihat lebih segar dan hatinya terasa tenang. Ia berjalan mantap menghampiri busu Anwar. Terlihat Ahmad juga sudah ikut berkumpul, walau hanya berbaring di samping Agung. "Sudah siap?" tanya busu Anwar, tersenyum hangat. "Insyaallah siap, Busu,"
Dua hari sudah proses rukiyah ketiganya dilakukan. Selama dua hari itu juga, kondisi kesehatan Nana dan Ahmad berangsur membaik. Berbeda dengan Harto yang prosesnya sedikit lamban. "Kenapa Harto tidak seperti Nana dan Ahmad, Busu?" tanya Bani, prihatin melihat adiknya terbaring lemas setelah melakukan proses rukiyah. Busu Anwar tampak menghela nafas berat. "Semuanya memang perlu proses nak Bani. Proses setiap orang itu berbeda. Mungkin saat ini proses mbak Nana dan mas Ahmad sedikit lebih cepat dari mas Harto. Semua itu juga karena ada alasannya," "Apa alasannya Busu?" tanya Bani penasaran. "Alasannya hanya satu, karena mas Harto lebih lama tinggal bersama ibunya," jawab busu Anwar singkat. Kini Bani mengerti, kenapa adiknya itu lebih lama prosesnya. Harto terlalu lama tinggal bersama ibunya. Otomatis, apa yang dimakan dan diminum oleh Harto selama tinggal bersama ibunya terlalu banyak masuk ke dalam tubu
"Bu, perutku kenapa sakit, ya?" tanyaku, mendatangi ibu ke dapur. Mendengar keluhanku, ibu hanya tersenyum. Sebuah senyum aneh yang selalu membuat aku merinding melihatnya. Matanya menatap liar ke arahku. Entah itu hanya perasaanku saja, atau memang benar seperti itu adanya. "Sakit bagaimana? sini Ibu lihat!" ucap ibu, memintaku mendekat. Kaki ini sudah siap melangkah, tapi kembali aku urungkan karena teringat pesan dari mas Harto. "Sayang, kalau aku lagi kerja, kamu di kamar saja! Jaga jarak dengan ibu, jangan sampai ibu menyentuh tubuh kamu, apalagi perut kamu! Abaikan saja semua yang kamu dengar di luar kamar. Kalau kamu memang perlu bantuan, kamu hubungi saja saudara kamu!" Kata-kata itu kembali terngiang. Perlahan aku memundurkan langkahku. Aku memutar otak mencari alasan untuk bisa menolak perintah ibu. "Kenapa diam Na? Ayo sini!" titah ibu, bibirnya melebar masih menampilkan senyuman yang aneh. "Emh, i-
"Na, kamu di sini?" tanya ibu, ikut duduk di sampingku saat aku menunggu mas Harto di teras. Aku terkejut dengan kehadiran ibu yang mendadak. Entah kapan ibu datang, aku sama sekali tidak mendengar derap langkah ibu. Padahal lantai rumah ini dari kayu. Aku berjalan saja terdengar, masa iya ibu tidak? "I-iya Bu, lagi nunggu mas Harto," jawabku, sedikit menggeser posisi dudukku. Melihatku bergeser, tatapan ibu berubah nyalang. Namun hanya sepersekian detik saja. Setelah itu tatapannya kembali normal. "Oh... Apa Ibu boleh tanya? Kamu hamil Na?" tanya ibu, menatap perutku lekat. Aku terdiam. Apa ibu tidak mengetahui soal kehamilanku? Perutku memang masih rata, karena usia kandungan baru saja memasuki bulan pertama. Apa mas Harto tidak menceritakan kabar bahagia ini pada ibunya? Secara ini calon cucu pertamanya, masa iya mas Harto main rahasia segala? Baru saja mulutku terbuka ingin menjawah pertanyaan ibu, mas Harto datang dan
"Aku sudah cerita ke ibu. Mungkin ibu lupa. Aku juga tau kamu hamil dari ibu," ujar mas Harto, setelah mengatakan itu langsung menutup mulutnya. "Kenapa Mas? Keceplosan?" tanyaku, memicingkan mata. Mas Harto tampak salah tingkah. Ia mendekat dan menatapku lekat. Seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dengan isyarat matanya. "Bagaimana kalau kita menyewa rumah Yank?" Tawaran mas Harto sukses membuatku terkejut. Maksudnya apa? Aku tanya apa, ia malah menawariku pindah rumah. Memangnya apa yang salah jika diam di sini bersama kedua orang tuanya? Toh ibu bukan seperti ibu mertua pada umumnya yang cerewet atau banyak mengatur. Aku merasa betah tinggal di sini. Ibu tidak pernah memintaku membersihkan rumah. *anjuga tidak marah, kalau kerjaku hanya berada di dalam kamar seharian. Bukan karena aku malas. Aku hanya ingin mas Harto berbakti pada ibunya selagi masih ada. "Mas, kenapa kamu selalu mengajakku pindah rumah? Kalau kita pinda