Dokter itu menatap Rion dan Owen bergantian yang disertakan tarikan napas dalam sebelum dia menceritakan keadaan Frederic. "Hhuuufff ...." Napas itu terembus. "Kami tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuan Frederic tidak dapat tertolong." "Apa?!" Spontan Owen berucap. Rion tidak berkata apa-apa, dia berjalan mundur hingga akhirnya terpentok pada kursi stainless dan detik itu juga dia terduduk lemas, lakinya seolah tidak mampu menopang tubuhnya sendiri saat mendengar Frederic telah kembali pada-Nya.Rion menutup wajahnya. Ingin menangis, tetapi dia tahan sekuat tenaga meski akhirnya ada yang meluncur dari sudut matanya. "Menangis saja, Tuan Muda. Tangisan tidak akan menjatuhkan derajatmu sebagai seorang laki-laki," ucap Khanza yang duduk di sampingnya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Khanza kalau tangis tidak akan membuat derajat laki-laki terjatuh. Laki-laki juga manusia, dia punya hati yang dapat merasakan sakit. Rion merasa sendirian. Ketika Frederic corp
Sudah beberapa hari ini Khanza merasa was-was dengan keadaan Rion. Ingin bicara, tetapi dia tidak memiliki bukti yang kuat akan perbincangan adik tirinya karena Owen memang tidak menyebut nama Rion. Bisa saja Owen malah merencanakan pembunuhan untuknya, bukan? "Tuan, apakah Tuan Muda baik-baik saja?" tanya Khanza yang merasa khawatir dengan keadaan Rion. "Aku baik-baik saja." Rion kembali terdiam. Dia hanya memperhatikan halaman rumah dari balkon. Sudah beberapa hari semenjak kematian Frederic, Rion memang betah berlama-lama di balkon hanya memperhatikan keadaan rumah saja. "Sus?" Rion memanggil Khanza."Iya, Tuan." "Biasanya Suster mengajak Opah berjemur di sana." Rion menunjuk yang disertai bibir tersenyum, tetapi pandangannya seolah kosong.Khanza tidak menjawab, karena dia tahu kalau Rion hanya butuh didengarkan saja, bukan membutuhkan jawaban darinya. "Aku kangen sama Opah," ucap Rion yang terdengar pilu. Rupanya Rion masih terlihat berat sejak kepergian Frederic. Dia seol
Rupanya Rion dijadikan saksi karena terakhir Oris berbicara padanya dalam panggilan ponsel sebelum Oris meninggal dunia secara tidak wajar, sehingga dari pihak kepolisian memberikan keterangan tersebut. "Terima kasih, Pak!" Willson yang menjadi pengacara Rion berjabat tangan dengan polisi yang menangani Rion. Rion terbebas dari status saksi dari pembuahan Oris yang mungkin bisa saja dirinya akan berubah status menjadi tersangka apabila tidak didampingi oleh kuasa hukumnya. "Terima kasih, Pak!" Rion berjabat tangan dengan Willson dan saat kasus telah usai, mereka kembali terpisah karena Rion memang tidak dekat pada Willson dan hanya terikat kerjaan Willson saja yang menjadi pengacara. *** Banyak sekali kejadian yang menimpa Rion setelah Kenzie pergi. Hidupnya sepi bahkan terasa kosong karena satu-satunya orang yang dia sayang di dunia ini pun pergi meninggalkannya meskipun dia menjanjikan akan kembali. Namun, entah hal itu akan terealisasikan kapan? Tidak ada jaminan dari siapa pu
Tepat pukul delapan malam, di kediaman Tuan Frederic telah berkumpul seluruh anggota keluarga untuk membicarakan perihal siapa yang berhak mewarisi kekayaan yang dimilikinya karena Tuan Frederic sudah renta dan kakinya lumpuh. Lelaki tersebut hanya dapat menghabiskan masa tuanya di kursi roda atau kursi goyang ketika dia bosan. "Baiklah, saya mulai saja karena Tuan Frederic tidak boleh tidur larut malam," ujar seorang pengacara bernama Willson yang ditunjuk oleh Tuan Frederic. Semua anggota keluarga menyimak ucapan Pak Willson karena memang hal yang dia sampaikan akan menjadi penentu tentang siapa yang akan menjadi pewaris di Frederic Corp, salah satu perusahaan besar di kota tersebut. "Saya ingin menyampaikan keputusan penting dari Tuan Frederic mengenai perusahaan yang akan jatuh pada sang pewaris, yaitu––" Belum juga Pak Willson selesai berbicara, seorang wanita paruh baya menyela pernyataan tersebut."Sudah tentu putra saya-lah, pewarisnya," ucap si wanita pemilik bibir merah m
Suasana hening beberapa saat ketika Rion menunggu jawaban dari Owen. "Kecuali—" "Katakan, Kak! Kecuali apa? Hal apa yang bisa membuat Opa mengubah keputusannya?" Wajah Rion terlihat kesal karena Owen terkesan bertele-tele untuk menjawab pertanyaan yang dia lontarkan."Kak? Cepat katakan!" pinta Rion kesal. Owen tersenyum, lalu mendekati Rion yang terlihat resah dari tempat dia berdiri. "Kamu ingin tau jawabannya, Rion?" Owen bertanya dengan senyum sarkastik dan Rion mengangguk cepat karena penasaran.Owen melangkah maju dan kini berdiri tepat di samping Rion. "Kecuali kalau Opa hanya bermimpi, hahaha ...." Owen tertawa puas ketika menjahili adik tirinya itu.Rion tidak bodoh, tetapi hanya penampilannya saja yang culun dan membuat siapa pun akan menilai kalau pemuda berkacamata itu kurang normal. "Ck! Percuma juga aku tanya padamu, Kak!" Bibir Rion mengerucut, ketika menyadari telah dijahili oleh Owen. "Sudah, tidur sana. Besok kamu kuliah, kan?" ucap Owen sambil menepuk pundak R
Ternyata perempuan tomboy itu berlari cukup kencang. Ditambah lagi motor dan mobil yang berlalu-lalang membuat Rion sedikit kesulitan ketika hendak berlari untuk mengejar Kenzie. Tepat di depan gerbang kampus, Kenzie terlihat sudah berkacak pinggang dengan bibir merah muda yang tersenyum seolah-olah meledek. "Haiii, Rion? Baru sampe?" ucap Kenzie saat melihat Rion dengan napas ngos-ngosan dan tangan yang mengusap peluh di dahi. "Kamu curang, Enzie," kata Rion dengan napas yang masih tersengal-sengal. "Bisa-bisanya kamu menghitung tiga, tanpa adanya dua terlebih dahulu. Dasar licik!" kesal Rion. "Wait! Dari mana liciknya? Bukannya gue bilang, setelah hitungan ketiga, kita langsung berlari?" Sejenak Rion terdiam. Dia menelaah apa yang diucapkan oleh perempuan bermata kehijauan itu. "Sial! Sepertinya kamu ngerjain aku, ya?" Kenzie tertawa terbahak-bahak ketika meyakini kalau Rion memang polos dan begitu mudah dikerjai. "Emang enak?! Gue tunggu hadiah dari lu, Rion. Byeee!" Kenzi
Pria jangkung berparas tampan yang terlihat rapi mengenakan jas warna hitam serta celana kain dengan warna senada itu kini berada tepat di antara Rion dan Kenzie. Mata sipit Rion melebar ketika pandangannya terfokus pada pria dengan gaya kasual dan terlihat begitu elegan. "Tu-tuan Muda?" Pemuda itu berdiri dari bangku dan menjawab dengan terbata saat menyadari ternyata Owen yang menghampirinya. Owen yang sedang berdiri tegak itu mengernyitkan dahi. Dia begitu bingung dengan ucapan adik tirinya tersebut.'Sejak kapan Rion memanggilku dengan sebutan Tuan muda?' Owen berucap di dalam hatinya. "Ada apa Tuan Muda kemari?" sambung Rion sambil mengedipkan matanya dengan cepat. Pria culun itu memang ingin merahasiakan jati dirinya di depan Kenzie, untung saja Owen mengerti. "Ayahmu sakit dan sedang dirawat, dia memintaku untuk menjemput kamu," ujar Owen yang berusaha mengimbangi sandiwara Rion. Namun, tampaknya akting mereka sedikit gagal. Kenzie akhirnya ikut berdiri, lalu dia menyengg
Entah dinamakan sial atau keberuntungan, ponsel Kenzie kembali berdering dan sahabatnya meminta si tomboy itu untuk segera menemuinya di tempat kerja. "Lu selamat untuk saat ini, tapi besok, jangan harap!" ucap Kenzie sambil menunjuk wajah Rion. Pria bertubuh kerempeng itu hanya dapat mengangguk pasrah."Awas, besok gue akan kejar lu ke mana pun dan jawaban lu akan gue anggap utang! Ingat itu baik-baik, Rion!" ancam Kenzie sebelum dia pergi meninggalkan Rion.Dada Rion yang terasa sesak seketika lega ketika melihat Kenzie menaiki sebuah bus. Hal itu cukup membuat pemuda bermata sipit itu dapat tenang, meskipun dia menyadari hal ini hanya sementara karena esok hari Kenzie pasti akan mengejarnya dan mencecar dengan begitu banyak pertanyaan. Tin! Tin! Suara klakson mobil yang tiba-tiba berada di hadapannya membuat Rion terperanjat. "Maaf, Tuan muda. Saya tadi sudah mencoba memanggil, tetapi sepertinya Tuan muda Rion sedang melamun," ujar pria yang memakai breton hat di dalam mobil.