Adam mencengkeram kuat-kuat rambut sang istri yang tergerai di atas bantal. Matanya terpejam, bibirnya setengah terbuka meloloskan desah lirih yang begitu erotis. Keringatnya bercucuran, tubuhnya terasa amat panas. Tak dia sangka, Aline yang ketika pertama kali Adam jumpa dulu begitu pendiam dan cenderung suka menyendiri, tenyata menyimpan sesuatu yang seindah ini.Jika hal pertama yang Adam kagumi adalah manis bibir Aline, maka ketika Adam berhasil menyentuh istrinya hingga titik terdalam tubuhnya, maka kekaguman Adam kini bertambah. Tidak hanya pada betapa manis bibir itu, lembut dan halus seluruh permukaan kulitnya, tetapi juga pada rasa yang begitu luar biasa hingga membuat Adam sukses tergila-gila seperti ini.“M-Mmaass!” Aline memekik tertahan, ia balas mencengkeram kuat-kuat lengan Adam yang Adam gunakan sebagai tumpuhan.Adam membuka matanya, menatap pemandangan indah di bawah tubuhnya yang sangat tidak boleh dia lewatkan. Bagaimana wajah cantik itu memerah bersimbah peluh den
"Kamu ada rencana apa hari ini, Sayang?" Adam nampak mengancingkan kemeja biru muda dengan motif garis yang menjadi seragam khusus hari Kamis. Seperti biasa, pagi adalah waktu yang cukup sibuk bagi semua orang, semua orang kecuali Aline. Di saat yang lain ribut tengah bersiap pergi bekerja, tidak dengan Aline. Ia masih dengan mata setengah terpejam dan menguap berkali-kali sembari menantikan sang suami kemudian pergi bekerja. Dan khusus untuk hari ini, agenda Aline setelah Adam pergi ke rumah sakit adalah kembali tidur sampai nanti pukul sepuluh. "Balik tidur setelah Mas pergi kerja." Jawab Aline santai sambil kembali menguap. Adam menoleh, menatap sang istri yang duduk di tepi ranjang dengan penampilan yang masih berantakan. Adam terkekeh, ia meraih sisir kemudian menyisir rambutnya. "Belum cukup tidurnya semalam?" seharusnya Adam tidak bertanya, karena Adam tahu betul malam model apa yang mereka berdua lewati semalam. Aline sontak membelalak, ia menatap gemas ke arah sang suami
"Mak?" Aline memanggil sosok itu, kantuknya hilang seketika. Nota pembelian mainan anak laki-laki itu dia masukkan ke dalam dompet, entah mengapa, Aline merasa bahwa benda itu begitu penting hingga tidak boleh hilang. Aline menyusuri dapur, sampai ke ruang cuci, namun tidak nampak sosok paruh baya itu ada di sana. Kondisi dapur, pantry dan ruang laundry pun bersih, rapi, bersinar. Sebuah hasil pekerjaan yang sempurna hingga Aline tidak heran kenapa Adam bersikukuh tetap mau dibantu mak Surati meskipun beliau sudah tidak muda lagi. Di mana asistennya itu? Kenapa tidak ada? Bukankah beberapa saat yang lalu dia masih ada dan menawari Aline sarapan? Ya meskipun tadi Aline menolak dan memilih masuk ke dalam kamar sampai akhirnya secarik kertas itu dia temukan dan membuat kantuknya seketika hilang. Aline memilih mandi selepas menyimpan nota itu, ada sesuatu yang harus dia lakukan dan itu semua berhubungan dengan secarik kertas dan rasa penasaran Aline yang rasanya seperti hampir mencekik
"Isinya apa, Mak?" potong Aline yang sudah sangat tidak sabar. "Isinya pakaian bayi dan perlengkapan bayi, Mbak.""Apa?"***Mak Surati nampak galau. Ia tengah food preping untuk seminggu ke depan seperti biasanya. Hanya saja pikirannya jadi tidak tenang. Ini berkaitan dengan percakapannya beberapa saat yang lalu dengan istri bosnya itu. Tentang apa jawaban yang dia katakan perihal pertanyaan Aline soal Adam. "Salah nggak sih aku jawab begitu tadi? Cuma kan emang bener isi paketnya pakaian bayi." Mak Surati benar-benar ragu. "Tapi ... untuk apa mbak Aline tanya seperti itu, ya? Apa ada sesuatu?"Jujur nak Surati sendiri tidak bertanya lebih lanjut pada Adam perihal apa tujuannya memesan pakaian bayi itu. Toh itu diluar kewenangan dia yang hanya seorang asisten rumah tangga saja. Walaupun Adam sendiri sering cerita banyak hal tentang kehidupan pribadinya, terlebih soal sang papa yang tidak suka melihat Adam menjadi dokter. Bukan tanpa alasan, dia tahu betul siapa orang tua dari bos
Adam menghela napas panjang. Ia sudah memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah. Tepat di sebelah Jazz merah milik sang istri. Sejenak Adam tertegun. Obrolannya dengan Yunus tadi terus menghantui Adam. Segala macam ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini Adam abaikan, kini kembali bangkit dan menghantui Adam dalam setiap detik. "Nggak ada yang bisa jamin dia tetap bisa stabil begitu keluar dari sana, kan? Toh dia sudah berulang kali!" desah Adam lesu, rasanya daya di tubuhnya sudah lenyap entah kemana. Adam bisa saja mengundurkan diri dan minta pindah ke kota lain. Ada banyak sejawatnya menawarkan loker. Hanya saja yang jadi masalah sejak dulu adalah papanya! Papanya selalu menjadi penghambat gerak Adam, terlebih dalam urusan ini. "Semoga kejadian dulu tidak lagi terulang. Jangan sampai!" Ia segera melepaskan sabuk pengaman begitu mesin mobil dia matikan. Turun dari mobil dan melangkahkan kaki meninggalkan halaman depan guna masuk ke dalam rumah. Tidak nampak aktivitas ketik
DEG! Jantung Adam rasanya hampir meloncat dari tempatnya. Keringat dingin langsung mengucur membasahi dahi dan tubuh Adam. Kaki Adam mendadak lemas. Perlukah dia jujur sekarang? Terlebih sosok itu ... Ah tidak! Dia tidak boleh membuat istrinya ini khawatir! Aline tidak boleh beranggapan kalau menikah dengan Adam adalah kesialan untuknya, meskipun Adam yakin sekali ketika mendapatkan perintah untuk menggantikan Aleta menikah dengan dirinya dulu, Aline sudah menganggap bahwa pernikahan ini adalah sebuah kesialan untuk Aline. Otak Adam segera bekerja keras. Mencari alasan yang tepat dan pas hingga tidak memunculkan kecurigaan pada diri Aline. Tapi kira-kira apa? Ah! Iya ... Adam punya ide! "Oh itu, ya?" Adam merangkai sebuah senyum palsu. "Itu buat pasien aku, Sayang. Masih anak-anak dan dia spesial banget buat aku."Bisa Adam lihat kini kening istrinya itu berkerut. Membuat Adam melebarkan senyumnya dan mengelus pipi itu dengan sangat lembut. "Spesial gimana?" ada nada cemburu di b
Aline belum mau bangkit dari bath tub. Ia tengah berendam dengan air hangat dan busa gelembung memenuhi tubuhnya.Persendian Aline rasanya ingin lepas. Namun ia tidak bisa memungkiri bahwa ia sangat suka dengan aktivitas yang dia lakukan bersama sang suami. Adam selalu sukses memanjakan dirinya. Membawanya terbang tinggi ke angkasa dan mencapai puncak itu. Bagaimana Aline tidak meleleh dibuatnya? Aline tersenyum, memejamkan mata seraya menikmati aroma scented candles yang dia nyalakan dan letakkan di dekat bathtub. Rasanya benar-benar rileks. Sementara Aline tengah merilekskan diri, Adam nampak berbaring di atas ranjang dengan satu tangan memegang ponsel. Ponsel itu menempel di telinganya, ia nampak menyimak sesuatu yang membuat wajahnya sedikit mengeras. "Jangan besok. Kan aku sudah bilang untuk akhir-akhir ini kunjungan aku akan sedikit berkurang?" tanya Adam dengan suara lirih. Satu tangan Adam yang lain menyeka keringat yang masih membasahi wajahnya. Nampak kening Adam berkeru
"Sayang, pelan!" Adam agak kewalahan mengejar langkah Aline. Aline hampir saja berlari kalau suara ketukan lantai dan sepatu tidak sekeras ini. Adam mengekor dari belakang dengan sedikit susah payah. Setelah menyusuri lorong rumah sakit, mereka sudah sampai di depan ruangan ICU. Tepat sebelum Aline mendekati nurse station, pintu kaca itu terbuka dan sosok Desi muncul dari dalam sana dengan mata sembab dan wajah memerah. "Ma! Aleta kenapa, Ma?" sebuah pertanyaan yang otomatis keluar dari mulut Aline dengan begitu panik. Desi menatap Aline dengan linangan air mata, senyumnya merekah. Dia tidak menjawab, malah menoleh ke belakang dan tak selang lama, bed itu dorong keluar. Sebuah pemandangan yang familiar itu menyapa Aline. Sebuah raut wajah yang sangat mirip dengan dirinya dengan sebuah senyum lemah merekah di wajah yang masih pucat itu. "Hai ...." sapa suara itu lemah, sementara Aline tertegun di tempatnya berdiri. Air matanya menitik dan beberapa detik kemudian tangisnya pecah.