Share

Kesaksian Putriku

Dengan tangan gemetar aku mencoba mengembalikan patung kuda itu ke posisi semula sebelum Mas Nata datang. Saking paniknya takut ketahuan sampai menyenggol cangkir yang kini pecah tergeletak di lantai.

Pintu berderit membuatku sontak menoleh.

“Mas ….” Suaraku rasanya tercekat.

“Kamu kenapa, sayang? Kok itu cangkir bisa jatuh.” Dia berjalan mendekat membuatku semakin takut ketahuan.

Seharusnya Mas Nata yang takut ketahuan tapi ini malah sebaliknya. Sebelum semuanya jelas, aku akan pura-pura tidak tahu.

Dari sudut mata bisa kulihat ruang bawah tanah itu sudah kembali tertutup dan aku bisa bernapas lega.

“Tadi tangan aku tiba-tiba keram, Mas.”

“Oh, ya udah. Biar nanti aku yang beresin ini. Kamu temenin Yuna aja.”

Aku mengangguk lalu menyeret langkah keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk.

Rahasia apa yang disembunyikan Mas Nata? Apa dia memiliki wanita lain? Aku harus mencari tahu.

Lututku masih lemas.

“Mama.”

“Kenapa, Nak?”

“Capek. Tapi Yuna suka jalan-jalan sama Papa.” Senyumnya merekah indah, “nanti Mama juga harus ikut ya.”

“Iya. Nanti Mama ikut kok.”

“Tadi juga Yuna ketemu kakak.”

Alisku berkerut, “Kakak siapa?”

Dia menepuk jidatnya, “Aduh, Yuna lupa tanya namanya. Tapi tadi Yuna sama Papa mampir minum di rumah kakak.”

Tidak biasanya. Mas Nata paling tidak suka mampir di rumah orang begitu, dia hanya akan bertamu saat ada kepentingan saja. Tetangga di sini juga kebanyakan tidak akrab dengan suamiku. Lalu siapa yang dimaksud Yuna kakak?

Apa itu selingkuhan Mas Nata? Wanita itu masih muda sampai Yuna memanggilnya kakak.

“Rumahnya dimana?”

“Yuna, tolong ambilkan handphone papa, Nak.”

Sebelum Yuna menjawab pertanyaanku, Mas Nata langsung memanggil.

Tanpa disuruh dua kali, Yuna mengambil ponsel Mas Nata di atas meja lalu berlari ke ruang kerja ayahnya.

Sengaja aku tidak mengikuti Yuna. Saat ini aku akan pura-pura tidak tahu saja meski perasaan ini begitu menggebu. Membayangkan Mas Nata berkhianat saja sudah sukses membuat hatiku tersayat apalagi kalau benar dia melakukan itu.

Tidak mau membuatnya curiga, aku beranjak ke dapur membawa cemilan yang sudah kusiapkan.

Perasaanku jadi tidak tenang dengan semua prasangka ini.

Masalahnya tidak akan mungkin kebetulan begitu banyak. Mas Nata yang dua hari ini lembur dan setiap pulang selalu mandi keramas, ruang rahasia yang baru kutemukan dan ada dalaman wanita di sana. Dan yang paling baru, Mas Nata mampir ke rumah orang.

Tapi soal suara rintihan itu, rasanya tidak mungkin disangkut pautkan karena Mas Nata saja tidak ada di rumah.

Wajar kalau aku curiga. Meski memang aku selalu menepis pikiran soal Mas Nata yang kemungkinan selingkuh. Pria romantis tidak akan menjamin setia, tapi selama menikah dengannya, Mas Nata tidak pernah melakukan sesuatu yang mencurigakan, hanya saja baru-baru ini semuanya tampak berbeda.

Suara bel berbunyi.

Bersamaan denganku yang keluar dari dapur, Mas Nata keluar dari ruangannya.

“Biar aku aja yang buka, Mas.”

Dia mengangguk lalu masuk kembali ke ruangannya.

Tidak pernah ada yang bertamu pagi-pagi selain keluarga sendiri.

Di balik gerbang, kulihat seorang wanita berdiri di sana sambil melemparkan senyum. Aku tidak mengenalnya. Wanita dengan tubuh semampai menggunakan gamis sage dengan kerudung panjang warna senada.

“Selamat pagi,” sapanya.

“Pagi, Mbak.”

Aku langsung membuka pintu pagar.

“Saya tetangga baru, kebetulan baru pindah satu minggu ini. Tapi baru sekarang bisa menempati rumah dan menyapa tetangga.”

Aku manggut-manggut, “Rumah depan ini ya, Mbak?”

“Iya.” Dia menyerahkan wadah berisi cake padaku, “anggap salam perkenalan dari saya, Mbak.”

“Aduh, kenapa repot-repot, Mbak ….”

“Nadia. Nama saya Nadia.”

Aku mengulurkan tangan, “Saya Hana. Terima kasih ya, Mbak Nadia. Ayo masuk dulu.”

“Lain kali, Mbak. Soalnya saya juga buru-buru, kebetulan anak saya mau pergi.”

Masih berdiri di dekat pagar saat wanita bernama Nadia itu berlalu dan kembali masuk ke dalam rumahnya. Zaman sekarang rasanya jarang ada tetangga seperti ini, biasanya 'kan hanya sekedar menyapa tidak sampai memberikan makanan begini.

“Mama … Mama ….”

“Iya.”

Kututup gerbang lalu masuk ke dalam membawa roll cake, kalau ini memang kesukaanku.

“Mama kenapa nggak beli cheese cake juga buat Yuna.” Anak itu merengut kesal melihatku membawa roll cake.

“Ini dari tetangga tadi. Nanti minta papa beliin ya. Papa mana?”

“Mandi.”

“Nih, makan ini aja dulu.”

Kutaruh cake itu di atas meja lalu ke dapur untuk mengambil piring.

Ponselku yang ada di atas meja makan berkedip, kuraih benda pipih itu. Ternyata ramai pesan masuk di grup.

Aku langsung membaca chat bagian akhir karena malas harus membaca satu-satu.

[Oh, jadi semua dapat ya cake dari tetangga baru itu. Dia bukan janda 'kan? Bahaya kalau janda, soalnya cantik. Bisa-bisa suami kita melirik.]

Bu Irma ini mulutnya paling tidak bisa dijaga. Ini yang membuatku jarang membuka grup, terkadang isinya tidak berfaedah. Tapi tidak semua juga seperti Bu Irma.

[Hana, suami kamu paling ganteng sendiri. Eh, hati-hati, mana rumah kalian deket. Takutnya malah suamimu digoda lagi.]

Astaghfirullah! Segitunya, kasihan sekali Mbak Nadia. Padahal dia orang baru tapi sudah kena julid dari tetangga.

“Sayang, bajuku yang warna abu dimana?”

Dasar bayi besar. Cari baju sendiri saja tidak mau.

“Baju abu yang ma-”

Langkahku terhenti di depan pintu kamar, mata terbelalak melihat bekas cakaran di punggung Mas Nata.

Dia berbalik, “Malah bengong disitu.”

Dadaku bergemuruh, kuayunkan langsung mendekat padanya untuk melihat lebih jelas punggung tegapnya.

“Eh, tadi mama ada telpon, coba kamu telpon balik. Katanya mau bicara sesuatu yang penting.” Mas Nata langsung mengalihkan pembicaraan saat kusentuh punggungnya.

Dia lalu masuk ke dalam walk in closet meninggalkanku yang berdiri membeku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status