Share

Aku Juga Berduka

Terlepas apapun yang orang-orang katakan, aku tetap berduka. Karena sekuat apapun aku menolak, Mas Farhan tetaplah suamiku.

Seberapa kuat aku menyembunyikan luka ini, aku tetap mencintainya. Statusku juga masih istri sahnya. Apakah mereka pikir aku bahagia.

Tidak! Bagaimana mungkin aku bisa bahagia menyandang status janda. Bagaimana aku bahagia saat Aliya, putri sulungku, dan putri satu-satunya menjadi seorang anak yatim. 

Ada luka yang aku coba sembunyikan. Sakit yang tidak akan pernah orang lain mengerti. Sesuatu yang tidak akan di pahami oleh orang selain diriku sendiri.

Hari ini, sepulang dari pemakaman Mas Farhan aku langsung pulang. Aliya adalah alasanku pada ibu mertuaku. Tapi sebenarnya, ada hal yang mulai bergejolak di dalam hatiku. 

Di sudut kamar ini, aku terisak memeluk diriku sendiri. Sadar atau tidak, aku sudah kehilangan Mas Farhan jauh sebelum hari ini. 

Mas Farhan telah meninggalkanku sejak dia memutuskan untuk tidur bersama Ami.

***

Tok tok tok.

Aku berjalan ke depan, siapa yang bertamu sepagi ini. 

Kuintip dari jendela, melihat Mak Sumi yang datang. Aku pun membuka pintu. 

"Masuk, Mak," ucapku, membuka pintu lebih lebar. Mak Sumi pun Masuk. 

"Ada apa, Mak datang pagi-pagi," tanyaku. 

"Tidak ada apa-apa Mpok. Ini, cuma mau antar bubur merah saja. Kamu kenapa lemas begitu?" Mak Sumi selalu tahu perasaanku. 

"Tidak ada apa-apa, Mak." Aku berbohong. 

"Sini, cerita sama Mak. Jangan dipendam sendiri. Nggak baik buat kesehatan kamu, Mpok," Mak Sumi membujukku.

"Tidak, Mak. Aku baik-baik saja."

"Apa gara-gara di tuduh orang-orang, kalau kamu penyebab Si Farhan meninggal?"

Jleb.

Perkataan Mak Sumi benar sekali. Tapi aku enggan mengiyakan. 

"Tidak Mak. Aku baik-baik saja. Aku hanya masih mengantuk, hehehe."

"Oalah, Mpok! Mpok! Ya udah. Kalau gitu pulang dulu ya. Jangan lupa, nanti di makan buburnya." Mak Sumi akhirnya pulang. 

Aku kembali ke belakang untuk membereskan pekerjaan rumah.

***

Dor dor dor.

Berisik pintu rumahku di gedor-gedor. Emosi aku membuka pintu, karena Aliya hampir saja bangun karena suara itu. 

"Ami?" Aku terkejut melihat Ami berdiri di depan pintu.

"Heh, Ati! Semua ini gara-gara kamu! Aku jadi janda karena doa-doamu! Keterlaluan!" Sumpah serapah keluar dari mulutnya. 

"Apa maksudmu? Pelankan suaramu, Aliya sedang tidur," tegasku. 

"Alah, semua orang juga sudah tahu. Kalau kamu tidak pernah mau terima Pernikahanku sama Mas Farhan. Itulah sebabnya kamu doain dia mati, tepat di hari pernikahan kami!" 

"Lalu?"

"Lalu? Kamu nggak sadar, Mas Farhan mati itu karena kamu!"

"Aku? Hahaha. Ami Ami, sudah satu bulan Mas Farhan tidak pulang ke sini. Jadi kalaupun ada yang harus disalahkan itu, ya kamu!" Aku mulai terpancing kata-katanya. Dia sama sekali tidak sadar di mana posisinya sebagai istri kedua. 

"Dasar murah*n! Wanita jal@ng! Benar-benar nggak tahu diri ya kamu!" Ami hampir saja menamparku, untung segera kutangkis. 

"Kamu nggak punya kaca? Yang pelakor itu, kamu! Bayi yang kamu kandung itu, entah itu anak siapa. Nikah juga baru satu bulan, eh, perut sudah ngebuncit aja." Aku mulai kesal dengan tingkah Ami. Ngapain juga, dia datang ke sini hanya untuk memaki diriku saja. Mempermalukan diri sendiri. 

Warga mulai berbondong-bondong datang ke rumahku. Semua itu karena suara Ami yang sangat keras. Kelelawar pun bisa bangun kalau mendengar suaranya. 

Ami terlihat kesal, dia mau menamparku lagi dengan tangan satunya. Aku masih dengan sigap menangkis. Kini dua tangannya ada dalam genggamanku. 

"Ya Allah, ada apa ini, Mpok Ati. Kenapa madumu ini udah ngamuk pagi-pagi." tanya Bu Ida. Salah satu tetanggaku. 

"Entahlah, Bu. Enggak waras dia, nuduh aku penyebab Mas Farhan meninggal. Nyalahin aku karena dia jadi janda. Memangnya dia saja yang jadi janda!" timpalku kesal. 

Ami semakin mempelototkan matanya. 

"Kurang ajar kamu Ati!" 

"Oeeek oeek oeek!" 

Aliya bangun, semua ini gara-gara Ami. 

"Oeek oeek oeek!" 

Kesal, kudorong tubuh Ami ke luar. Kututup pintu dan menguncinya. Aku tidak mau, wanita yang telah merebut suamiku itu masuk dan mengganggu tidur Aliyaku. 

Dor dor dor! 

Pintu kembali digedor. Aku tidak peduli. 

"Keluar kamu Hayati! Jangan jadi pengecut! Keluar kamu!"

"Hayati!" 

Ami masih tidak berhenti mengumpat di luar. Kubiarkan saja, buang-buang tenaga.

"Oeek oeek oeek!" 

Aku berlari tergopoh-gopoh menuju kamar, tangis Aliya semakin keras. Belum genap dua bulan ia lahir di dunia. Ia harus melihat ibunya menderita. 

Pertama karena aku yang di tinggal nikah lagi, kemudian ditinggal mati. Tidak cukup itu, aku masih dianggap sebagai penyebab kematian Mas Farhan. 

Sakit hatiku. Mereka yang jahat, tapi kenapa aku yang dituduh penjahat. Ini sangat tidak adil. 

Segera kugendong Aliya. Ternyata dia mengompol, kuletakkan kembali di atas kasur, kemudian mengganti popoknya. 

'Aliya sayang, hidup ini tidak adil, Nak. Kelak jika kamu dewasa. Ibu harap kamu tidak bernasib sama seperti Ibu. Kamu harus bahagia, anakku.' ucapku dalam hati.

Kuciumi wajah putriku, kemudian menidurkannya di ayunan. 

***

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status