Deg! "Ma-maksudnya?" tanya Melody dengan menatap Andrean lekat. Pria itu hanya mengulas senyum tanpa basa-basi, tidak memberi jawaban pada Melody. Ia kembali mendorong kursi roda, membawanya ke taman rumah sakit yang indah. "Aku bosan sekali, Mas," keluh Melody lirih. "Besok kita pulang ya, biar Juminah yang merawat di rumah," ujarnya. Melody menganggukkan kepalanya paham, tidak lama dari itu sebuah dering telepon terdengar. "Sebentar ya," ucap Andrean. Langkahnya menjauh meninggalkan Melody sendirian. Siapa penelepon itu? Dan mengapa Andrean sampai menjauh darinya yang tidak berdaya. Isi pikirannya melayang terlalu jauh nyaris kejauhan. "Halo ... Ada apa lagi, Nad?" tanya Andrean lirih setelah telepon itu tersambung. "Kamu kapan pulang, sayang? Apa kamu tidak rindu denganku? Sudah hampir 3 bulan loh ini bahkan lebih ...," lirih suara Nadea menggelayut. "Lusa aku akan pulang ke kota J, kamu bersabar saja ya," ucap Andrean sebagai akhir dari pertanyaan yang kian menghantuiny
"Tidak!" seru Melody keras. Tangannya mendorong tubuh Andrean untuk menjauh, tidak ada kalimat yang keluar selain itu. Tatapannya tajam menusuk siapa pun yang melihatnya. "Aku benci kamar ini!" hardiknya keras. Langkahnya tertatih keluar kamar, tangisnya membasahi pipi. Dengan mata merah yang terpancar jelas. "Aku lelah ...," keluh Melody dengan terduduk di ambang pintu. "Mel ...," lirih suara Andrean, sontak ia memeluk erat tubuh istrinya. Dekapan hangat agar istrinya tidak lagi marah, tangisnya semakin pecah. Andrean yang tidak paham apa yang dirasakan Melody hanya diam. "Aku benci kamar itu, Mas! Anakku kehilangan nyawanya di sana ...," rintihan Melody terdengar menyayat hati. "Mel ... Tenang ya, nanti kita pindah dari kamar itu," bisik Andrean lirih. "A-aku sangat membenci diriku sendiri, kenapa aku sangat ceroboh?" hardiknya dengan memukul tubuhnya dengan kuat. "Stop, jangan melukai dirimu sendiri, Melody! Ini salah kita berdua. Oke, sekarang kamu istirahat lagi, atau m
Melody terjaga dari tidur singkatnya, ia merasakan tubuhnya tertimpa sesuatu. "Aduh, i-ini tangan siapa?" tanya Melody lirih pada dirinya sendiri. Setelahnya, ia mengangkat perlahan tangan yang memeluknya. Dan ya, Andrean sudah tidur di sampingnya lelap. 'Sejak kapan ia di sini?' gumam Melody penuh tanya. "Jangan bergerak, temani aku tidur ya!" bisik Andrean lirih. "Hah, aku haus, Mas!" seru Melody keras. Kini ia dengan susah payah menggeser tubuh Andrean, tangan yang semula memeluk pinggang Melody juga ia singkirkan. "Mel ... Kamu masih marah sama mas?" tanya Andrean dengan menatap mata Melody nanar. "Memangnya aku marah sama mas? Aku hanya capek," Wanita yang kini sudah berjalan pergi meninggalkan kamar tamu. Meninggalkan Andrean sendirian di kamar. "Mau aku marah atau tidak, kamu pasti juga tidak peduli denganku, Mas," ucap Melody lirih.Dapur yang gelap membuat Melody sempat berpikir 2 kali, namun apalah daya ia sudah kepalang haus. "Mel," suara lirih yang terdengar asi
Sejak pagi, Melody sudah sibuk dengan persiapan kembali ke Kota J. Ingin rasanya menetap di rumah ini, namun apalah daya. "Aku mau ke rumah ibu ya, Mas," ucapnya lirih. "Aku sudah beli apartemen baru loh buat kamu, Dek," ujar Andrean. Melody menolehkan kepalanya seraya melipat baju. "Bukan begitu, Mas. Aku pengen ketemu ibu aja, nanti juga balik lagi ke apartemen," paparnya. "Tapi aku gak ikut ke rumah mas ya, aku takut ketemu Nona Nadea," tambah Melody lirih. Andrean menganggukkan kepalanya paham, setelah semua persiapan selesai. "Bu Jum, terima kasih ya," ucap Melody lembut. "Nona tidak perlu berterima kasih, ini sudah tugas saya. Senang bisa menemani nona dan merawat nona di sini," manik mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca. Bulir bening yang tertahan di ujung pelupuk mata itu akhirnya pecah begitu saja. "Loh, Bu Jum. Jangan menangis," tanpa ragu Melody memeluk tubuh Juminah. Tidak membedakan kasta atau apa pun itu, ia hanya menyayangi orang-orang yang baik padanya. T
"Maafkan aku, Dek Ody," bisik Andrean. Malu, jika mengingat kejadian yang dibuatnya sendiri. Mengecam Melody dengan kalimat ia sangat ceroboh. Padahal mereka berdua yang ceroboh, Andrean dan Nadea sendiri. "Tidak usah minta maaf, Mas. Aku hanya menjaga diriku sendiri," ucapnya. "Tapi aku salah saat itu, tidak selayaknya aku-" Melody meraup wajah Andrean dengan dua tangannya. Membiarkan senyum itu merekah di bibir suaminya. "Semakin mas seperti ini, aku akan semakin kalut dalam rasa sedihku. Sudah ya, aku minta tolong," lembut suara Melody yang membuat Andrean terdiam. "Ya, mas akan diam ... Diam-diam menggendongmu masuk!" seru Andrean keras. Dibawanya Melody ke kamar utama, tidak peduli wanita yang kini memberontak minta turun. "Mas ini ya, aku bisa jantungan!" seru Melody keras. "Hahaha, tidak apa-apa. Kita makan yuk, mas lapar," keluhnya. "Mas mau makan apa? Ody aja yang masak ya," Dengan menawarkan dirinya sendiri, meski tidak handal dalam urusan dapur. Tapi masakan Melo
"I-ibu sedang sakit, Kak," ragu Lily menjawab tanya kakak sulungnya. Matanya membelalak lebar, kenapa Larasati diam saja? "Sakit apa, Ly?" todong tanya melody keras. Tanpa menunggu jawaban, Melody melenggang masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan ibunya yang ternyata tidak ada di kamar. "Ly, ibu di mana?" tanya Melody keras. "Di rumah sakit, Kak. I-ibu di rawat," jawabnya. Deg! "Dirawat?" degup jantungnya mulai tidak karuan. Lily hanya mengangguk pelan, ada apa dengan keluarganya ini? Beberapa waktu lalu, Larasati meneleponnya dengan biasa saja. Seolah tidak ada yang terjadi, tapi ini? "Ly, antar kakak ke rumah sakit sekarang!" tegasnya. Gontai langkah Lily mengantar Melody, sebuah taxi yang ia pesan akhirnya tiba. Dengan perasaan penuh kecemasan, Melody hanya bisa meremas roknya. 'Sial, kenapa selalu seperti ini sih!' gerutu Melody dalam batinnya. [Mas, adek ke rumah sakit ya. Ibu sakit ternyata, nanti adek kabarin lagi.] Melody. Pesan itu terkirim pada Andrean. Sepan
Lily mendongakkan kepalanya penuh keraguan, ditatapnya wajah Melody dengan penuh tanya. "Gak apa-apa kalau kamu mau, Ly. Biar sekalian Mas Andrean pulang ke rumah," ucap Melody. "Loh, Mel. Aku hanya akan mengantar Lily ke sekolah dan ke sini lagi," elaknya. "Tidak, Mas. Nona Nadea lebih membutuhkan kamu, tolong ya!" pinta Melody lembut. "Ya, oke." Setelahnya, Lily dan Andrean meninggalkan rumah sakit. Menyisakan Melody sendirian, lama ia menatap nanar wajah Larasati yang terlihat memar. "Bagaimana bisa ayah sekejam itu pada ibu? Padahal dulu hubungan ke duanya juga didasari cinta," lirih Melody penuh tanya. "Mel ...," panggil Larasati. Melody terperanjat, suara Larasati membuatnya tersadar dari lamunan singkatnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Melody tergagap. "Lily di mana?" Larasati menatap sekeliling, namun tidak ia temukan anak bungsunya itu. Hanya ada Melody dan seorang perawat yang mengecek dirinya. "Lily pergi ke sekolah," jawab singkat Melody. Ia hanya mengangguk paha
"Maksudmu apa, Nad!" hardik Andrean keras.Amarahnya meluap tatkala ia mendengar gumaman Andrean. Lagi-lagi nama Melody yang mulai diagung-agungkan. "Kenapa nama wanita itu yang selalu kau sebut-sebut, Mas! Tidak hanya kau, tapi ibu juga ... Semenjak ada wanita itu, aku selalu dinokor dua kan!" pekik Nadea keras. Andrean hanya memijat pelipisnya lembut, begitu lelah rasanya. Tapi apa dayanya? "Nad, maafkan aku. A-aku tidak bermaksud melakukan itu, tapi ...," ia menghentikan ucapannya. "Tapi, apa? Kamu mulai mencintainya 'kan?" hardik tanya Nadea. "Nad ...," lirih Andrean memanggil istrinya itu lembut. "Udahlah, Mas. Aku muak dengan semua ini," keluh Nadea kasar. Tangannya ditarik paksa oleh Andrean, membuatnya terperanjat kaget. Ia memberontak hebat tatkala Andrean memaksa mendekapnya. Tapi apa? Ia kembali luluh atas pelukan suaminya. "Nadea, aku sangat mencintaimu. Tidak mungkin aku menduakanmu ... Perkara aku pulang terlambat lalu kamu merasa aku sudah jatuh cinta pada Me