“Tidak. Maaf, aku sedikit tidak fokus tadi,” sahut Reza cepat. Dia mengembalikan remotenya ke dalam laci mejanya dan menyusul Ruby duduk di sofa ruangannya.“Apa yang kamu masak hari ini?” tanya Reza tak sabar. Dia akui sejak Ruby mengurus segala keperluannya termasuk makan siangnya, Reza menjadi lebih teratur pola makannya dan dia juga tak mudah sakit dan kelelahan seperti biasanya. Memiliki istri yang berada di rumah ternyata ada bagusnya juga.“Aku membuat nasi goreng seafood dan beberapa buah.” Ruby membuka satu persatu kotak makan yang dibawanya, dan menyiapkannya untuk Reza.“Ini makanlah.”Reza mengambil makanan yang diberikan oleh Ruby dan bersiap untuk menyantapnya. Namun ia urung ketika melihat Ruby hanya diam saja.“Kenapa kamu tidak makan?” tanya laki-laki itu. Dia meletakkan kembali makanannya di atas meja.“Ada sesuatu yang mau aku bicarakan padamu Za.” Ruby menunduk mengatakannya. Seolah dia sudah melakukan sebuah kesalahan yang sulit untuk dimaafkan.“Mengatakan apa?”
Vanya bergegas menghampiri Aliya yang saat ini sedang beristirahat.“Aliya, Aliya!” panggil wanita tersebut.“Ada apa? Apa yang membuatmu berlari seperti itu?” tanya Aliya yang tak begitu penasaran.“Apa kamu sudah tahu soal itu?”Alis Aliya menukik mendengar kalimat tidak jelas yang dikatakan oleh Vanya saat ini. “Soal apa?” tanyanya tak mengerti.“Soal istri kedua yang hamil,” bisik Vanya sembari melihat keadaan sekitarnya yang kosong.Aliya tertegun mendengarnya. Secepat itukah? Pikir wanita tersebut. Namun ia langsung berubah pikiran ketika teringat dengan janji Reza sebelumnya. Aliya berpikir jika semua situasi rumit ini akan segera berakhir jika Ruby sudah melahirkan anaknya nanti. Meski ada sedikit rasa ragu dalam hati Aliya saat ini. Apalagi sikap Reza sepertinya sudah banyak berubah terhadap Ruby.“Lalu?” tanya Aliya. Dia berusaha untuk tampak sebiasa mungkin agar tidak terlihat menyedihkan di depan Vanya saat ini.Vanya menatap Aliya tak percaya. Mustahil temannya itu tak me
Malam ini Reza tidur di kamar Ruby seperti biasa. Dan hal itu membuat Ruby bertanya-tanya, mengapa ia tak memilih untuk tidur di kamar Aliya? Bukankah seharusnya Reza merindukan istri pertamanya tersebut?Ruby menatap Reza yang sudah memejamkan mata di sebelahnya. Rasanya sulit untuk dipercaya, apa dirinya sudah merebut Reza dari Aliya saat ini? Ruby ingin berbesar kepala, namun dia tak bisa. Ada rasa tak nyaman mengganjal di hatinya melihat perubahan ini. Meskipun begitu, akhirnya dia memutuskan untuk tidur saja.Sementara itu Aliya sedang berbaring di tempat tidurnya sembari menatap pintu. Pintu yang ia harap akan segera terbuka, dan Reza masuk untuk memeluknya. Rasa cemas itu datang kembali… Aliya takut jika Reza sudah benar-benar berubah. Dia takut jika Reza akan jatuh cinta pada Ruby dan tak bisa meninggalkan wanita itu nanti.Apakah rasa cemasnya ini berlebihan? Aliya sudah mencoba untuk menahan keegoisannya. Dia memahami situasi rumit yang ia ciptakan ini. Tapi, kenapa kini sem
Setelah cukup lama berkendara, mobil Aliya akhirnya memasuki sebuah pekarangan luas dengan pemandangan hijau yang cukup rimbun. Bangunan yang berada di tengah pekarangan itu perlahan membangkitkan kembali kenangan lama Ruby.“Panti Asuhan?” tanya Ruby ketika Ruby mematikan mesin mobilnya dan membuka sabuk pengaman miliknya.“Hmm, kenapa? Apa kamu terlalu malu untuk kembali ke sini?”“Tidak.” Ruby membuang wajahnya. Ruby memang sudah sangat lama tidak kembali ke tempat asalnya tersebut. Tepatnya semenjak ia terjebak ke dalam pekerjaan hinanya. Ia terlalu malu dan merasa tidak pantas untuk pergi ke sana dengan membawa tubuh dan uangnya yang kotor.“Tidak turun?” Aliya mengejutkan lamunan Ruby. Wanita itu ternyata sudah lebih dulu keluar sementara Ruby masih mematung di dalam mobil. Mau tak mau dia pun ikut turun meski langkah kakinya terasa begitu berat.Aliya dan Ruby memasuki panti asuhan yang sudah menampung mereka ketika keduanya dibuang dulu. Aliya dan Ruby sama-sama datang dalam k
Di tengah malam.“Ruby, apa kamu tidur?” bisik Aliya sembari menggoyangkan bahu Ruby pelan.“Hmm, sedikit,” jawab gadis itu pelan.“Kita harus pergi sekarang. Sepertinya semua sudah tidur,” lanjut Aliya lagi. Sementara Ruby menoleh menatap jam dinding kamar mereka. Saat ini waktu menunjukkan hampir jam dua pagi. Dan rasanya keadaan di luar cukup mencekam karena mereka berada jauh di pelosok desa.“Apa tidak apa-apa kita pergi sekarang? Aku—sedikit takut.” Lagi-lagi Ruby merasakan adanya perasaan buruk yang akan mennimpanya dengan Aliya, jika mereka tetap keluar di pagi buta seperti ini.“Apa yang kamu takutkan? Hantu?”“Salah satunya iya. Bisakah kita pergi baik-baik saja?” Untuk kesekian kalinya Ruby mencoba membujuk Aliya agar berpamitan dengan orang-orang panti dan pergi jika hari sudah terang. Namun karena sifat Aliya yang keras kepala dan ambisius, membuat gadis itu tak bisa dengan mudah tergoyahkan hanya karena rasa khawatir sahabatnya itu.“Kalau begitu aku akan pergi sendiri.”
“Duduklah,” ucap Dani. Dia memberikan jalan untuk Aliya dan juga Ruby untuk duduk dan menunggu proses perekrutan.“Ini surat lamaran kami. Sudah ada berkas-berkasnya di dalam.” Aliya memberikan dua amplop cokelat berisi lamaran kerjanya dan juga Ruby pada Dani.“Oh iya.” Dani membukanya sekilas lalu menumpukknya bersama kertas-kertas lamaran lainnya.“Jadi pekerjaan macam apa yang akan kami berdua dapatkan?” tanya Aliya penasaran. Keduanya sama-sama masih polos dan tak tahu jika laki-laki yang ada di depannya adalah penipu yang sudah banyak menipu gadis-gadis yang baru lulus sekolah, dengan kedok penyalur kerja.“Ada berita bagus. Karena perusahaan ini sedang mencari karyawan baru yang mau cepat bekerja, jadi aku akan mengantar kalian langsung ke sana.”Senyum Aliya merekah mendengarnya. Dia berpikir jika inilah keberuntungan mereka saat ini.“Mari ikut denganku ke mobil.” Dani mengambil kunci mobilnya dan berjalan keluar. Aliya dengan perasaan yang baik bangkit dari duduknya untuk me
“Tentu saja, aku selalu percaya padamu.” Ruby berdiri dan meraih kedua tangan Aliya. Berharap lebih pada sahabatnya yang telah lama dikenalnya itu.Aliya memperhatikan sekitar kamar itu. Dan jendela di sebelah kanannya sepertinya langsung mengarah ke halaman yang dekat dengan pintu mereka masuk tadi.“Kamu bertahanlah di sini, dan aku akan pergi lewat jendela untuk memanggil polisi atau bantuan siapapun.”Ruby diam untuk beberapa saat. Berada di tempat itu bersama dengan Aliya saja sudah terasa mengerikan, bagaimana bisa ia bertahan seorang diri?“Tapi Al… aku takut,” lirih Ruby. Dia semakin erat mengenggam kedua tangan Aliya.“Aku akan berlari secepatya. Kamu tahu kan? Aku ini jaura satu lomva lari marathon selama sekolah. Jadi aku akan segera menyelamatkanmu. Atau kalau tidak, kamu saja yang pergi. Panggil siapa saja untuk bantuan?”Ruby tampak ragu-ragu. Dia terlalu penakut untuk melakukan semua itu. Dan ia pun tahu sendiri jika Aliya orang yang sangat berani dan kuat. Dan mungkin
“Aku tidak bermaksud melakukannya,” sahut Aliya.“Kamu hanya ingin menyelamatkan hidupmu sendiri,” lanjut Ruby lagi. Jika ia mengingat saat itu, sungguh membuat hatinya kembali terluka. Padahal dulu ia sangat mempercayai Aliya lebih dari apapun. Namun wanita itu benar-benar tak datang untuknya. Bahkan rasa sakit Ruby semakin besar ketika ia melihat Aliya berada di layar televisi. Wanita itu berhasil sukses dengan mengorbakan sahabatnya sendiri.“Lalu apa lagi yang kamu inginkan? Aku membuat hidupmu lebih baik saat ini. Apa lagi yang kurang?”“Jadi menurutmu ini sudah cukup Al? Baiklah, anggap saja begitu.” Ruby berlalu meninggalkan Aliya. Dia tak ada niat untuk mengenang masa persahabatan mereka di sana. Baginya Aliya melakukan hal untuk menunjukkan padanya jika ia tak melupakannya.Ruby berjalan keluar untuk kembali ke mobil. Tak ada kenangan yang ingin ia ingat di sana. Ruby yang dulu bukanlah dirinya yang sekarang. Tempat itu dipenuhi dengan kenangannya dengan Aliya dulu. Dan itu m