Mendadak pikiran Matheo buyar, seiring dengan bunyi bel pintu. Ia tahu itu pasti pesanannya, pintu terbuka dan benar saja, satu orang pria mengantar satu cup cokelat panas.“Terima kasih.”Matheo masuk setelah menutup pintu, kemudian menyerahkan minuman panas itu pada Sarah Lee.“Minum! Semoga cokelat panas ini bisa menenangkan hatimu, ya meski tak sepenuhnya menyembuhkan.”Sarah meraih pemberian Matheo, lantas menenggaknya perlahan. Memang benar tak sepenuhnya menyembuhkan, setidaknya ia mulai sedikit tenang. Rasa cemburu dan marah benar-benar melelahkan jiwanya dalam sekejap.“Bagaimana jika Justin benar-benar pergi meninggalkanku? Kemudian hidup bahagia bersama wanita itu. Tidak, Matheo! Aku tidak bisa membayangkan jika itu sungguh terjadi padaku.”Tangis Sarah pecah, ia menutup wajah dengan kedua tangan, dengan bahu yang bergetar. Matheo masih bingung, mengapa Sarah menyimpulkan sepihak, tidak tahukah ia bahwa dirinya sempurna, dari segi fisik, tutur kata, dan pembawaannya, jika a
Lucy terbaring pulas di ranjang pesakitan, Justin memilih untuk tetap terjaga. Karena melihat Lucyana yang tampak pulas, Justin berinisiatif untuk mengecek ponselnya, benda pipih itu ia aktifkan kembali, entah kenapa pikirannya mulai tak tenang dan itu tertuju pada Sarah, rasa bersalah menyergap begitu saja.Ia mungkin tidak adil sekarang, di sisi lain ada Sarah yang begitu menanti kepulangannya, tapi di sini juga ada Lucy yang harus ia awasi agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan lagi, setelah menghidupkan ponsel, dia berniat menghubungi Sarah, malam semakin larut bahkan telah memasuki pagi, mungkin sudah waktunya ia pulang ke rumah dan kembali memperbaiki hubungannya dengan Sarah.Mereka tak pernah bertengkar sahabat ini sebelumnya, mungkin tadi ia terlalu dilanda ketakutan serta lelah yang datang secara bersamaan, beberapa kali telepon memang tersambung tapi tak ada jawaban akhirnya ia memutuskan untuk pulang setelah nomor Sarah tak lagi bisa dihubungi.“Semoga sesuatu tak te
“Sayang, apa yang kau lakukan?”Justino membantu Sarah berdiri, wanita itu terlihat sembap. Dalam pikiran Justin, pasti Sarah menyesali pertengkaran mereka semalam, tapi mengapa harus seperti ini, seolah kesalahan yang Sarah lakukan teramat fatal. Padahal Justin sempat berpikir jika nanti Sarah yang akan marah dan mendiamkannya.“Aku sudah melakukan kesalahan?” lirih Sarah sendu.“Ya, aku tahu kau sudah melakukan kesalahan besar, kau memang pantas diberi hukuman,” sahut Justin dengan wajah serius. Mendengar itu, Sarah semakin panik, dugaan terburuk pun datang silih berganti apa Matheo memberitahu Justin tentang kejadian semalam, atau Justin yang memang diam-diam mengekori langkah Sarah. Melihat wajah Sarah yang memerah, Justin lekas mengecup kening Sarah, kedua tangan menangkup wajah istrinya dengan terus memberi tatapan cinta, kedua sudut bibir Justin juga terangkat.“Kesalahan terbesarmu adalah pergi ketika sedang ada masalah. Kau tahu, semalam aku mencarimu ke mana-mana. Berhenti
Rapat berjalan dengan lancar, Justin tersenyum sembari berjabat tangan dengan beberapa rekannya tadi. “Senang bekerja sama denganmu, Pak Justin.”“Terima kasih. Saya harap kerja sama kita kali ini berjalan lancar,” balas Justin.Setelah semua selesai, ia memilih untuk pulang ke rumah, padahal belum waktunya pulang dan ini masih jam makan siang. Justin berinisiatif untuk makan siang bersama Sarah tanpa mengabari istrinya itu lebih dulu. Langkah lebarnya menuju lantai bawah, kendaraan roda empat senantiasa menunggu di pelataran.Sepanjang jalan pikirannya berkecamuk, ia kembali mengingat kejadian kemarin, banyak kejanggalan yang terjadi, mulai dari Sarah yang memilih untuk menginap di hotel, dan juga aroma parfum pria, juga gelagat aneh yang ia tangkap seperti tak biasa. Lama kendaraan roda empat itu tiba di kediamannya, sengaja juga dirinya tak memanggil nama Sarah seperti biasa, hanya ingin memberi kejutan.Bangunan rumah yang luas membuat Sarah kadang tak mendengar bunyi kendaraan d
“Sakit sekali!”Lucyana memijat pelipisnya yang terasa nyeri, pandangan masih mengabur seiring dengan rasa lapar yang menyerang, haus juga mendera, kerongkongan yang terasa kering menuntut untuk segera diisi. Entah bagaimana ceritanya ia sudah ada di ruangan serba putih, dengan aroma khas obat-obatan. Seingatnya, ia masih berada di dalam mobil dan tengah berdebat dengan orang tuanya. “Mama, Papa, ... Di mana mereka? Aku harus mencari mereka!”Lucyana bergerak, tapi sekujur tubuhnya seperti remuk. Wajah pucat pasi terlihat lemah, ia meringis menahan sakit, hingga suara bariton mengejutkannya dari pintu masuk.“Kau sudah sadar rupanya.”Langkah lebarnya mendekat, seiring dengan aroma maskulin yang menguar dengan kuat. Wajah dengan rahang kokoh itu menatap Lucyana tanpa seulas senyum, tatapannya setajam elang, seperti mengintimidasi gadis yang kini tengah memicing ke arahnya.“Kau, siapa?” Pria itu belum menjawab, tapi menarik kursi dan duduk di sebelah Lucyana.“Sepertinya kau salah m
“Kau sudah siap?”Lucyana yang tadinya menatap pantulan wajah di kaca sedikit terkesiap. Tak ada senyum bahagia yang terpancar seperti yang dialami pengantin pada umumnya. Hanya dengan kode kecil, perias yang ia sewa undur diri setelah menerima satu amplop cokelat tebal uang.Wajahnya semakin cantik bahkan terlihat berbeda, dengan balutan gaun putih, juga mahkota di atas kepala membuatnya bagai seorang putri yang akan bersanding dengan pangeran berkuda putih impiannya, sayang itu hanya dongeng, yang sering ibunya baca waktu kecil, menjadi cerita pengantar tidur yang masih kelas teringat hingga kini. “Turunlah!”Lucyana mengangguk. Bahkan Justino seperti tak peduli, tak ada sedikit saja sanjungan, nyatanya ia memang hanya dijadikan opsi kedua, tak ada yang istimewa di pernikahan ini. Buktinya hanya ada beberapa saksi yang hadir, juga pendeta yang ia sewa. Tentu saja Lucyana tak memiliki andil dalam persiapan pernikahannya sendiri. Harusnya di hari pernikahan, ia juga dipertemukan den
Kolam di hadapannya menjadi suatu objek yang paling menarik untuk ia lirik di pagi hari, baju kaos longgar sepaha, ditambah celana pendek yang tak terlihat karena tertutup baju yang ia kenakan, membuatnya terlihat lebih lucu. Kaki jenjang nan mulus milik Lucy terekspos bebas, sepasang kaki itu juga menjuntai ke dalam kolam. Sejak pagi tadi, ia tak menemukan Justino di sisinya. Mungkin pria itu langsung terbangun larut malam, apa pedulinya. Ia hanya istri kedua yang terahasia, bukan begitu? “Sandro, tidakkah kau merindukanku? Padahal aku berharap, ketika tersadar, yang pertama kujumpai adalah kamu, bukan Justino.”Lucyana mengingat puing kenangannya bersama Anna dan Mario. Sebelumnya mereka keluarga yang bahagia dan utuh, terlebih memiliki kekasih sebaik Sandro, andai lamaran pria itu diterima, mungkin tak ada insiden di mana ia diharuskan pindah untuk melupakan Sandro, mungkin tak ada kejadian mengerikan yang membuat Lucyana kehilangan segalanya, termasuk mahkota yang ia jaga hanya
“Nyonya baik-baik saja?”Salah satu pria mendekati mobil, jelas sekali ia pemilik mobil yang ada di hadapannya. Pria seusianya itu menatap cemas, terlebih ketika melihat wajah Sarah yang terlihat sedikit pucat, sekali pun lipstik merona itu sudah menutupi bibir indahnya. Sarah menoleh sekilas, kemudian mengangguk pelan. Matanya memicing, menatap mobil di depannya.“Mobilmu mengalami kerusakan. Kau ingin ganti rugi?”“Tak perlu nyonya! Saya bisa memperbaikinya sendiri,” tolak pria itu halus. Tapi seakan tak mendengarkan penjelasannya sama sekali, Sarah malah menyerahkan kartu namanya pada pria yang belum ia ketahui namanya. “Hubungi saya jika mobilmu mengalami kerusakan parah! Saya buru-buru sekarang.”Sarah memutar balik arah dan mencari jalur yang lain. Bisa-bisanya ia menabrak mobil pengendara lain, semua karena ia tak fokus. Ia tetap mengendarai mobil, tujuannya tentu saja perusahaan Justino, entah kenapa tiba-tiba merindukan dekapan suaminya. Sarah melihat arloji di pergelangan ta