"Sepertinya kau dan kakakmu sangat akrab ya," ujar Johan.
"Ya, bisa dibilang begitu," aku Airel sembari mengedikkan bahu. "Kami selalu melakukan banyak hal bersama-sama, walaupun kami tumbuh menjadi karakter yang sangat berbeda."
Johan berdecak pelan. "Menarik sekali. Aku jadi penasaran seperti apa kakakmu itu."
Ucapan Johan membuat Airen tertawa renyah. "Secara fisik, banyak yang bilang kami sangat identik. Padahal menurutku kami memiliki wajah yang berbeda. Untuk kepribadian, mungkin kau tidak terlalu cocok dengannya. Dia tipikal orang yang serius dengan orang lain kecuali denganku dan Paman Alfie," terang Airen.
"Paman Alfie?" Johan memasang tampang setengah bertanya.
"Oh, aku lupa kalau belum menceritakan tentang latar belakang kehidupanku." Airen menghela napas pelan. "Singkatnya, aku dan Airel dibesarkan oleh Paman Alfie. Sekitar dua belas tahun kami tinggal bersamanya."
Johan mengangguk paham. Ia tahu Airen tidak terlalu ingin menceri
Airel melempar pandang ke pria yang berdiri di samping ranjang Airen. "Maaf, Johan. Bisakah kau meninggalkan kami berdua?" pinta Airel. "Ada yang ingin kami bicarakan secara empat mata.""Baiklah, aku mengerti," balas Johan segan. Ia berjalan keluar yang kemudian diikuti suster penjaga kamar itu."Apakah kau masih marah dengan Paman Alfie?" tanya Airel pada Airen setelah terdengar pintu ruangan itu tertutup."Kenapa kau selalu berharap aku tidak marah padanya?" desak Airen berbalik tanya.Airel menghela napasnya pelan. "Selama kau menghilang, dia adalah orang yang paling khawatir dengan keberadaanmu. Asal kau tahu, saking khawatirnya, dia juga yang memaksaku untuk melibatkan kepolisian demi mencarimu.""Untuk apa aku peduli dengan hal semacam itu?"Airel mendebas kasar. "Ayolah, Ren! Paman mungkin ada salahnya, tetapi lihatlah kebaikannya pada kita selama ini. Begitukah caramu berterima kasih padanya? Dengan sikapmu yang seperti ini, itu sam
Airel mengantarkan Alfie ke kamar inap Airen. Setelah itu ia berjalan keluar dan meninggalkan mereka berdua. Ia hanya ingin memberi mereka waktu untuk berbicara lebih intens dari hati ke hati."Bagaimana keadaanmu?" tanya Alfie memecah keheningan yang cukup lama menyergap mereka."Seperti yang Paman lihat. Semuanya baik-baik saja."Tentu saja Alfie sadar itu hanyalah jawaban yang membuat orang lain sedikit lebih tenang mendengarnya. Ia tahu Airen akan selalu berusaha tidak mau menyusahkan orang lain. Tetapi respon jawaban Airen membuatnya sedikit sedih, datar tanpa basa-basi. Ia merasakan ada jarak yang tercipta antara dirinya dan Airen. Selama ini Airen selalu terbuka padanya dalam hal apa pun."Paman tahu kau masih kecewa. Namun satu hal yang harus kau tahu adalah Paman tidak penah berniat buruk terhadap kalian. Kalian adalah satu-satunya hal yang sangat berharga dan Paman miliki saat ini."Airen tidak langsung memberikan komentar. Perasaannya be
Setelah melewati pembicaraan yang cukup panjang, akhirnya Airen mengerti dengan tindakan yang dilakukan Alfie. Ia juga meminta maaf atas segala sikap dan tindakannya. Ia pun memutuskan untuk mau kembali ke rumah Alfie. Sebelum pulang dari rumah sakit, Airel menyempatkan diri untuk berbicara dengan Johan. Ia ingin menanyakan kembali alasan pria itu yang sempat menyimpan kertas-kertas miliknya. "Terima kasih telah menolongku hingga aku bisa kembali kepada keluargaku," kata Airen. "Janganlah berterima kasih terus. Aku hanya melakukan hal yang sudah seharusnya," balas Johan sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Kuharap kita tetap menjadi teman yang baik ke depannya." Airen tersenyum tipis. "Tentu saja, setidaknya setelah kau jelaskan mengapa kau menyimpan kertas-kertas milikku." "Astaga, masih ingat saja kau." Johan melengos ke samping. "Aku menyimpan kertas-kertas itu hanya karena penasaran dengan gambar orang-orang di dalamnya."
"Kenapa Dokter Hardian melakukan penculikan terhadapku? Lalu apa hubungan tindakannya dengan beberapa foto orang kembar?" Airen bertanya keheranan sembari duduk di sofa ruang tamu."Sebaiknya kita segera melaporkan hal ini pada Inspektur Yoga. Sehingga kepolisian segera menanganinya," usul Alfie. "Ini terlalu memberi waktu bagi orang itu untuk melarikan diri.""Aku setuju, meskipun kita belum bisa mengaitkan semua benang merah kejadian ini. Setidaknya kita sudah memiliki dasar penangkapannya atas tindakan penculikan," imbuh Airel."Baiklah, aku setuju seperti itu," timpal Airen. "Aku juga akan meminta bantuan Johan untuk memberitahukan dimana lokasi ia menemukanku. Tempat penyekapannya tidak jauh dari sana. Walaupun kemungkinan terbesarnya rumah itu sudah pasti dikosongkan.""Dan aku akan mencari tahu siapa sebenarnya orang-orang yang ada di gambar itu," usul Airel. "Aku berharap kita bisa menemukan rahasia di balik semua ini.""Sayangnya, aku tida
Airel memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas setelah mengakhiri pembicaraan dengan Airen melalui telepon. Airen hanya memberitahukan bahwa dirinya sedang pergi bersama Bripka Adi ke bekas tempat penyekapannya. Sebenarnya Airel masih khawatir tentang kesehatan Airen yang belum begitu pulih. Namun siapa yang bisa menghentikan tekad adiknya itu? Sehingga ia hanya bisa berharap Airen tetap baik-baik saja.Sementara Airen menyelidiki tempat penyekapan, Airel masih menunggu kedatangan Inspektur Yoga di sebuah kafe. Mereka memang telah membuat janji sebelumnya untuk bertemu. Agar tidak merasa jenuh menunggu, ia sengaja memilih kursi terpencil di sudut ruangan supaya bisa memperhatikan orang lain lebih luas. Sembari mengamati pengunjung kafe, Airel pun mengeluarkan laptop dari dalam tas. Ia berniat untuk mencari informasi mengenai Sukma.Tak butuh waktu lama, ia pun mendapatkan apa yang tengah dicari. Ternyata Sukma memang merupakan pantomimer yang cukup terkenal di kotanya
Suara ketukan pintu menyela perbincangan Inspektur Yoga dengan Alfie dan si Kembar. Sehingga seluruh pasang mata tertuju ke arah pintu. Tampak Aipda Hendri dan Bripka Adi berjalan dengan langkah yang cepat, kemudian meletakkan beberapa berkas di atas meja Inspektur Yoga.Setelah melihat sekilas isi berkas, Inspektur Yoga beranjak dari kursi kerjanya. Ia berdiri di samping sebuah papan tulis yang telah ditempeli beberapa foto yang saling terhubung dengan garis. Foto-foto tersebut secara garis besar menceritakan tentang kasus-kasus yang sedang mereka hadapi dan hubungannya satu sama lain."Sebenarnya aku masih tidak menyangka semua petunjuk memberatkan Dokter Hardian sebagai tersangka. Bahkan beberapa kasus terlihat memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, kita perlu menyingkap kasus ini lebih jauh," imbau Inspektur Yoga. "Bripka Adi, tolong jelaskan kembali apa hasil penyelidikanmu dengan Airen di rumah penyekapan."Bripka Adi menegapkan tubuhnya sembari menebar pa
Airel kembali membaca sebuah alamat yang tertulis pada secarik kertas di tangan kanannya. Sejurus pandangannya pun mengedar ke seberang jalan. Tampak berdiri kokoh sebuah toko roti dengan dua lantai. Bangunan itu berbentuk kotak yang hampir seluruh sisinya didominasi oleh warna cokelat muda. Dari dalam mobil yang terparkir di seberang toko, Airel terus memperhatikan orang yang berlalu lalang di sekitar. Menurut keterangan yang ia dapat dari Aipda Hendri, pemilik toko akan datang sekitar pukul sepuluh pagi hampir setiap harinya.Seketika senyuman Airel pun merekah. Itu berarti penantiannya telah berakhir. Seorang perempuan bersetelan senada berwarna biru toska masuk ke dalam toko. Perempuan itu serupa dengan gambar yang telah diberikan oleh Aipda Hendri. Airel pun memutuskan turun dari mobil dan ikut masuk ke dalam toko.Sesampainya di dalam toko, sekilas Airel melihat perempuan itu tengah berbicara dengan seorang karyawannya. Ia pun mulai melancarkan rencana d
"Tidak, tidak mungkin," sangkal Clara sambil menggelengkan kepala. "Tidak mungkin ia melakukannya. Ia pria yang baik." Airel menatap lekat wajah Clara. Dalam keterdiamannya ia mengerti kenapa perempuan yang ada di hadapannya itu tidak bisa menerima kenyataan begitu saja. Dokter Hardian memang dokter yang sangat karismatik di hadapan orang-orang, namun siapa yang bisa menjamin dibalik karisma itu telah bersembunyi sifat jahat? "Tetapi memang itulah kenyataannya," balas Airel. "Saat ini dia sudah menjadi buronan polisi atas kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap adikku." Clara terkesiap. "Jadi kau menduga semua kejahatan yang ia lakukan memiliki hubungan dengan kematian Claudia?" ucapnya setengah berbisik. "Anggap saja demikian. Itu sebabnya aku ingin memastikan keterkaitannya. Terlebih kepolisian telah menemukan sebuah foto bergambar Claudia di tempat kerja Dokter Hardian." Clara terdiam cukup lama. Otaknya berusaha mencerna informa