"Sepertinya ini memang Dokter Hardian," imbuh Airel. "Ia hanya mengubah gaya rambut serta menambahkan rambut-rambut halus pada area dagu dan pipi. Di sini tidak terlihat ia sedang menyamar karena bagi orang yang sudah pernah melihatnya pasti akan mudah mengenalinya.""Ya, kau benar. Saat pertama kali melihat foto ini, aku merasa pernah melihatnya, tetapi aku lupa di mana. Namun setelah kuingat-ingat lagi, barulah tadi pagi aku sadar itu adalah foto yang pernah kalian tunjukkan di hotel keluarga Mira. Aku pun langsung mengonfirmasikan hal ini pada Mira sembari berharap dugaanku salah. Ternyata Mira pun setuju bahwa orang yang ada di foto itu memanglah Dokter Hardian," terang Sukma. "Dari mana kau mendapatkan foto ini?""Aku meminta seseorang membuntuti adikku tadi malam.""Kau biasa melakukan itu?""Tidak juga. Tadi malam aku bertengkar dengan Anya dan dia meninggalkan rumah dalam keadaan marah. Mau bagaimanapun ia adalah adikku dan aku khawatir. Jadi aku meminta temanku untuk mengiku
Si Kembar melanjutkan perjalanan dari rumah Mira ke alamat yang diberikan Sukma. Alamat yang diduga sebagai tempat penyekapan Anya atau persembunyian Dokter Hardian. Di lain sisi, Inspektur Yoga juga mengirimkan beberapa anggota kepolisian termasuk Bripka Adi menuju lokasi tersebut. Mereka berharap bisa meringkus Dokter Hardian dan segera menyelesaikan kasusnya. Tempat yang akan mereka tuju cukuplah jauh. Bisa memakan waktu satu jam perjalanan. Si Kembar tidak menyangka tempat yang akan mereka datangi ini bukanlah kota yang sebelumnya mereka kunjungi. Itu artinya Juno memang berusaha memburamkan keberadaan Dokter Hardian dengan kemampuan menyamar dan berada di kota itu. "Apa sebenarnya rencana kalian?" tanya Airen penasaran pada Airel. Sejak perbincangan melalui telepon dengan Inspektur Yoga, ia belum menceritakan apa pun. "Kau tahu kan Dokter Hardian sangat menginginkan kita. Jadi aku pikir kenapa kita tidak bertamu saja ke tempat persembunyiannya?" jawab Airel enteng. "Kau sudah
"Sepertinya ada tamu yang tak diundang," kata Hardian lantang. Ia yakin dugaannya benar karena melihat pintu pagar yang bergeser dari posisi semula. Sementara itu Airel yang masih bersembunyi sadar bahwa Dokter Hardian sudah mencurigai keberadaannya. "Sepertinya aku sudah ketahuan," bisik Airel di panggilan grup telepon. "Kita akan lakukan rencana B, sebentar lagi aku akan keluar dari persembunyian.""Kau harus berhati-hati! Jangan beri kesempatan dia menyakitimu," kata Bripka Adi dari seberang telepon. "Sebaiknya kau keluar saja, tempat ini terlalu kecil untukmu bersembunyi," ujar Dokter Hardian pongah. Setelah merasa siap, Airel langsung keluar dari persembunyiannya. "Bagaimana kabar Anda, Dokter Hardian? Sudah lama kita tidak bersua."Lelaki itu menyeringai saat mendengar suara yang datang dari arah belakang—terasa sangat familier. Ia pun membalikkan tubuhnya ke arah sumber suara. Netranya mendapati gadis kecil yang memasang wajah penuh percaya diri. "Oh, ternyata tamu yang sa
Hardian berjalan tertatih menyusuri sisi jalan. Kakinya terkilir karena meloncat dari tembok. Setidaknya ia masih bersyukur masih bisa berjalan meski harus terseok-seok daripada kakinya harus tertembak. Sembari memaksa dirinya harus bergerak, ia mengedar pandangan ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mengejarnya. Namun, ia juga sadar tidak mungkin terus menyusuri jalan. Itu akan membuatnya mudah terlihat. Ia harus segera menemukan tempat bersembunyi sementara, setidaknya sampai rasa sakit di kakinya mereda. Seingatnya sekitar dua ratus meter dari tempatnya berdiri, ada sebuah jalan kecil yang di dalamnya terdapat sebuah kios bekas yang sudah lama tidak dipakai. Ia rasa bisa bersembunyi di sana untuk beberapa saat. Ternyata ingatannya tidak meleset, bangunan itu memang ada. Tanpa menunggu lagi ia langsung bersembunyi di balik dinding kayu yang sudah lapuk. Ia duduk dengan kedua kaki terjulur untuk mengurangi rasa ngilu di sekitar mata kaki. "Sialan, bagaimana polisi bisa tah
Pistol yang tadinya dalam genggaman Hardian terlempar begitu saja ke tanah. Ia tarik tangannya yang berdarah ke dada dan mendekapnya erat. Sambil menahan rasa sakit, ia melihat ke arah asal tembakan. Tampak Bripka Adi masih berdiri menyamping—posisi menembak—dan menatapnya lekat. "Sialan," Umpat Hardian. Setelah merasa sudah melumpuhkan lawannya, Bripka Adi datang menghampiri Hardian dengan langkah yang lebar dan tangan kanannya masih memegang pistol. Meski begitu, Hardian tidak merasa takut. Ia pikir masih bisa memberikan perlawanan. Sejurus kemudian ia berupaya untuk mengambil pistolnya yang telah terjatuh. Namun, dengan sigap Airel sadar niat lelaki itu. Ia langsung menendang Hardian tepat di bagian dada sehingga membuat lelaki itu jatuh telentang. Bripka Adi yang baru saja tiba di dekat Hardian langsung menarik lengan buronan itu ke belakang, lalu memborgolnya. Hardian hanya bisa meronta kesal karena kalah serta menahan rasa sakit tangannya yang terus berdarah. "Kita akan ke k
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s
Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se
Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau