Benar, bahwa terkadang kita memang tidak terlalu menggengam erat sesuatu bahkan seseorang. Agar kelak, jika terpaksa harus dilepaskan tidak akan begitu sakit. Namun, genggaman Reina memang terlalu erat dan rasa takut kehilangan Karan sangat besar dalam hidupnya.
Dia hanya takut, jika kelak tidak akan mendapatkan lelaki yang lebih baik lagi dari Karan. Saat awal pernikahan, Reina tidak pernah ada rasa cinta kepada suaminya. Dia hanya mengikuti alur Tuhan saat hatinya bergerak untuk melangkah ke pernikahan bersama Karan.
Namun kini, cinta itu sudah tumbuh semakin dalam. Perhatian Karan, sikap manis dan lembut yang ditunjukkan diawal hingga segala upaya untuk menyenangkan Reina dia lakukan. Hampir saja dia tidak percaya bahwa suaminya sekarang sudah berubah.
“Bunda, ayah sudah pulang!” pekik Farhan dengan bahagianya.
Sebetulnya Reina sudah tahu kedatangan suaminya, suara motor Karan sangat khas dan Reina sangat mengenalinya. Seperti hari sebelumnya, Karan hanya mengucap salam tanpa melakukan interaksi dengan istrinya. Reina tidak berani untuk mengawali percakapan, Karan masih diam tanpa kata.
Pagi tadi Karan tidak sarapan, dia segera ke dapur untuk makan. Seperti biasanya, dia segera makan dan melihat nasi serta lauknya masih utuh. Hati lelaki mana yang tidak kecewa saat dia masak tapi istrinya tidak menyentuhnya. Sudah sejak lama, hampir lima hari Reina tidak menyentuh makanan.
“Farhan, mau makan?” tanya Reina kemudian.
“Iya, Bunda.”
Reina pergi ke dapur untuk mengambilkan makanan. Tanpa ada komunikasi, mereka tetap duduk bersama dan Reina seperti biasanya menyuapi Farhan. Karan menatap istrinya, tak ada kata hanya memperhatikan sekilas.
“Sambil nyuapi anak tuh, makan. Jangan mengosongkan perut, makanlah dari pagi gak makan.”
Reina mengangguk, “Iya, nanti saja.”
Ah, untuk kesekian hari yang diharapkan Reina. Akhirnya Karan memperhatikan dirinya, tapi sikap diam Karan membuat Reina ragu untuk berinteraksi dengannya. Hanya kata itu, tapi kemudian Karan mengulang kembali.
“Makanlah, jangan dibiasakan mengosongkan perut. Sudah tahu memiliki asam lambung,”
“Katakan bagaimana aku bisa makan, sementara suamiku sejak kemarin masih saja diam tanpa bicara padaku. Tak ada makanan yang bisa masuk ke perutku, tanpa ada keridhoan suamiku.”
“Aku menawarkanmu makanan itu karena apa, Reina? Kalau tidak ridho untuk apa aku memintamu makan. Lagi pula, aku masak makanan untuk meringankan pekerjaanmu dan untuk orang di rumah ini. Apa itu namanya kalau bukan karena sayang,” sungut Karan dengan nada tinggi khasnya.
Kalimat itu memang dalam bentuk amarah dan emosi, tapi masuk ke hati Reina. Benar, masih ada cinta di sana dan masih ada sayangnya Karan untuk Reina. Tapi apa yang terjadi hingga mereka tidak mau menyudahi pertikaian ini? Bukan mereka, lebih tepatnya Karan.
Reina terus berpikir, hati kecilnya merasa bahagia mendengar kalimat itu. Hanya batinnya terus tersiksa dengan sikap Karan dan ucapan yang penuh emosi. Tidak tahu, mengapa sikap suaminya begitu kasar dan keras padanya. Namun, tatapan Karan memberikan banyak arti bagi dirinya yang membuat Reina terus bertahan hingga hari ini.
Semakin hari, pernikahan mereka seperti sebuah neraka yang membakar jiwa mereka. Bertahan sulit dan melepaskannya pun sangat sulit.
“Farhan, usai makan ganti baju ya, Kakak ‘kan harus les siang ini.”
“Iya, Bunda.”
Hal yang terkadang membuat Karan tidak mengerti, mengapa setiap apa yang disampaikan oleh Reina selalu didengar dan dipatuhi oleh anak sulungnya. Sedangkan, sering kali Karan mengatakan sesuatu kepada Farhan, tapi tidak digubris olehnya. Kedekatan Reina dengan Farhan membuat iri dan sering kali Karan takut jika suatu saat anak-anaknya melupakan ibunya.
Farhan memang sangat manja, dia membutuhkan sosok ibu dalam hidupnya. Hingga dia bertemu dengan Reina yang memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu. Akan tetapi, semua seolah tidak berarti bagi Reina, saat dia mendapati suaminya bersikap tidak bersahabat lagi padanya.
“Bunda, aku berangkat dulu, ingat ya! Bunda jangan pergi!”
“Tidak, Bunda akan pergi ke mana? Kecuali jika sudah tidak diinginkan lagi di rumah ini.”
“Tidak! Bunda harus di sini bersamaku dengan ayah dan juga adik.”
Kembali hati kecil Reina menangis, dia punya alasan untuk bertahan. Akan tetapi, dia tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan. Meskipun benar, Reina berhak untuk bahagia dalam hidupnya.
Namun, entah apa yang merasuki hati suaminya. Tidak tahu apa yang membuat Karan kecewa kepada Reina, hingga sikapnya berubah. Reina juga tidak mengerti di mana letak kesalahannya, tapi Karan juga tidak pernah memberitahunya dan menjelaskan kekurangannya. Sehingga, rasa sakit dan sesak itu membuuat Reina ragu untuk melanjutkan langkahnya.
“Tuhan, aku berhak bahagia bukan? Lalu mengapa harus begini? Ini bukanlah sebuah pernikahan yang kuharapkan, Tuhan. Mengapa terasa sulit, tapi aku juga tidak sanggup jika harus pergi.”
Sebuah kegagalan yang dialami oleh orang tuanya membuat Reina takut melangkah. Dia adalah seorang anak korban dari perpisahan kedua orang tuanya, yang kehilangan cinta kasih keduanya. Reina tidak ingin Ayesha dan Farhan juga merasakan sakitnya sebuah harapan dan impian memiliki keluarga utuh. Tetapi, Reina sadar bahwa dirinya tidak berhak untuk mengatur keadaan.
Ah, pikiran itu terus menguras hatinya. Reina tersadar sudah jauh dalam lamunan kosong, dia segera bangkit untuk melihat Ayesha yang terbangun. Segera, Reina membuatkan susu untuk Ayesha agar kembali tertidur. Dia masih bersedia untuk mengerjakan semua itu tanpa beban.
“Nak, maafkan Bunda. Cepet pulih ya, sayang. Bunda tahu saat ini kamu sedang merasakan tekanan atas pertikaian yang terjadi antara Bunda dengan ayahmu, tapi… jika suatu hari nanti Bunda harus mengalah. Percayalah, bahwa Bunda sangat menyayangimu.”
Air mata itu kembali jatuh, Reina tidak sanggup jika harus membayangkan perpisahan ini terjadi. Sebuah impian pernikahan yang hanya sekali seumur hidup itu akan kandas begitu saja. Hal yang kemudian akan mematahkan hati Reina setelahnya.
Suara motor Karan membuyarkan lamunan Reina. Seperti sebelumnya, Karan sibuk sendiri dengan dunianya. Dia hanya merebahkan tubuhnya di ruang tengah.
“Re, aku harus jujur bahwa aku sudah tidak sayang lagi padamu. Kamu meminta aku hati, tapi aku sudah tidak bisa memberi hatiku padamu,”
BERSAMBUNG…
“Apalagi? Aku sudah katakan bahwa aku tidak mencintaimu lagi. Sudah tidak ada perasaan apa pun lagi padamu.” “Kenapa harus mengatakan begitu?” “Kamu ingin pulang bukan? Ya sudah, kapan kamu akan pulang? Aku akan antarkan. Mau sekarang, ayo!” “Bukan itu yang aku mau, Karan. Tidak ada seorang wanita yang ingin menghancurkan pernikahannya sendiri. Sudah cukup bagiku orang tuaku gagal dalam pernikahan, aku tidak berharap itu terjadi juga padaku.” “Kamu tahu, lalu kenapa kamu meminta pulang? Sudahlah, sekarang terserah kamu. Aku sudah sangat kecewa padamu, kalau sudah kecewa ya sudah.” Reina terdiam, bukan hanya Karan yang kecewa padanya. Reina juga sangat kecewa kepada Karan yang tidak pernah berusaha untuk memahami semua perkataannya. Bukan memperjuangkan pernikahan, atau berpikir tentang pernikahan mereka. Karan justru mengambil garis besar hubungan mereka, sebuah pilihan yang akan menyakiti keduanya dan anak-anak mereka. Namun, sepertinya Karan tidak peduli dengan hal tersebut. Di
Reina segera menghapus air matanya, dia memeluk Farhan dengan erat. Air matanya tidak mampu terbendung lagi, dia tidak sanggup membayangkan bahwa ini akan menjadi perjumpaan yang terakhir kali. Kebersamaan ini akan sirna dalam beberapa waktu lagi, dia akan kehilangan keluarga kecilnya.Reina telah menghancurkan pernikahan impiannya sendiri. Pernikahan yang dia harapkan sekali seumur hidup, lelaki yang dipilihnya dari banyaknya lelaki datang menawarkan hubungan dengannya. Namun, kini lelaki itu pula yang berhasil merenggut harapan dan juga kepercayaannya kepada seorang lelaki.Setelah hatinya dipatahkan oleh Karan, tidak tahu lagi kepada lelaki mana Reina akan percaya. Hatinya telah dipatahkan oleh sosok lelaki yang seharusnya menjadi cinta pertama anak perempuannya. Akan tetapi, Reina justru mendapat sebuah ketidakadilan darinya dan kini, dia juga dikecewakan oleh lelaki pilihannya.“Siapa lagi lelaki yang harus kupercaya setelah ini? Hatiku hancur kehilangan ayahku, kini hatiku kemba
Karan mengangkat semua barang-barang milik Reina dan memasukan ke bagasi mobilnya. Sudah tidak ada lagi toleransi untuk Reina, pernikahan ini harus benar-benar berakhir.Meskipun berat hatinya meninggalkan rumah sang suami, terutama meninggalkan anak-anaknya. Akan tetapi, Reina juga tidak ingin memaksakan Karan untuk tetap menampungnya di rumah itu. Padahal sudah jelas, bahwa Karan tidak menginginkan lagi istrinya.“Haruskah dengan cara begini hancurnya pernikahan kita, Karan? Apakah kita tidak bisa menyelesaikannya dengan baik-baik?”“Sejak awal sudah kukatakan bahwa aku ini seorang duda dua orang anak, kamu menyanggupinya untuk menerima anak-anakku. Jadi, untuk apa kamu bertahan jika tidak mau lagi mengurus anak-anak.”“Apa selama ini aku tidak pernah mengurusi anak-anakmu, Karan?”“Tapi kamu lebih sibuk dengan duniamu dan kamu lebih senang keluar bersama teman-temanmu daripada menemani anak-anak. Satu hal lagi, Reina. Aku tidak bisa bertahan dengan wanita yang jelas sudah tidak mau
Malam itu, Reina masuk ke kamar tanpa ada seorang pun yang dapat menggangunya. Reina tidak ingin bicara dengan orang lain termasuk ibunya. Meskipun begitu, ibunya sangat khawatir, sebab Reina tidak mau makan atau melakukan apa pun setelah dikembalikan oleh suaminya.Kali ini Reina sudah hilang harapan untuk bertahan, suaminya sudah melepaskan dirinya dan tidak ada orang lain yang akan menerima dirinya terutama status Reina sebagai janda. Dia tidak akan seperti dulu lagi, akan benar-benar berubah setelahnya.Meminta kembali kepada Karan sudah tidak ada kesempatan lagi, melanjutkan hidup pun sangat sulit. Hatinya sedang benar-benar patah dan sakit menahan rindu dengan kedua anaknya.“Re, semua baik-baik saja ‘kan?” tanya Henny memberanikan diri bertanya.Reina mengangguk perlahan, “iya, Bu. Semuanya baik-baik saja, hanya hati Reina saja yang tidak baik-baik saja.”Reina kembali ke kamarnya, meninggalkan banyak tanya di hati ibunya. Henny bingung, entah harus bagaimana menghadapi anaknya
Dunia Reina benar-benar sudah berubah setelah kepergian Karan. Baru dua hari saja mereka berpisah, tapi semua itu berhasil membuat hati Reina hancur dan berantakan. Ada sesal yang menyelimuti hatinya, tetapi itu tidak membuat Karan kembali. Reina seperti orang pesakitan, tidak tahu arah hidupnya lagi.Reina masih berusaha menghubungi Karan, dia berharap bahwa Karan berubah pikiran dan memperbaiki semuanya. Sayang sekali, semua ini sudah menjadi keputusan final bagi Karan dan dia mengatakan bahwa dirinya tidak akan pernah menarik kembali apa yang sudah dilepaskannya.Kapal yang sedang mereka tumpangi bukan hanya oleng, melainkan hancur. Awalnya, Reina hanya merusak bagian kecil dari kapal tersebut. Namun kini, Karan sendiri yang telah menghancukan kapalnya, sehingga keduanya tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan pernikahannya mereka.“Tidak ada yang patut disalahkan dalam pernikahan, baik aku ataupun dirinya memang sama-sama bersalah. Akan tetapi, roda utama dalam pernikahan ini adala
Selamat pagi, Bang!Di manapun Abang saat ini, Re berharap Abang dalam keadaan sehat. Re, rindu dengan Abang dan anak-anak. Re berharap Abang sudah baik-baik saja dan berdamai dengan keadaan. Mau sampai kapan Abang seperti ini? Tolong Abang berhenti menyakiti diri sendiri dengan terus meratapi kepergian mending istri Aban.Bagaimana istri Abang bisa bahagia di alam kuburnya, kalau melihat yang ditinggalkannya gak bahagia? Apa Abang tega membuat istri Abang tidak tenang di alam kubur kalau tahu suami dan anaknya masih berat melepaskan kepergiannya.Hidup Abang juga harus berjalan, bangun Bang dan terima semua yang terjadi. Re tidak meminta Abang melupakan begitu saja istri Abang. Tetapi, Abang juga harus melanjutkan hidup, ada anak-anak yang harus Abang besarkan. Abang masih memiliki masa depan dan tentu saja perusahaan Abang harus kembali maju.Kalau sampai hari ini Abang masih terus membuka kembali lembaran lama masa lalu, kesehatan mental Abang akan terganggu. Secara dzohir mungkin
Reina menuliskan sesuatu di dalam laptopnya, sebuah pesan berupa isi hati yang ingin disampaikan kepada Karan. sayang sekali, panjang lebar dia menuliskan pesan tersebut, tetapi dia tidak mengirimkan pesan itu kepada Karan. Dia mengurungkan diri menyampaikan hal tersebut.Namun, Reina menulis ulang kalimat yang lebih singkat, dia memberanikan diri mengirim pesan tersebut kepada Karan. Seperti biasanya, jiwa penulisnya memang tidak hilang. Reina mengirim pesan seperti menulis novel, panjang dan berjilid. Namun itu menjadi ciri khas-nya yang sewaktu-waktu akan dirindukan oleh seseorang.“Entah Karan akan membacanya atau tidak, setidaknya aku sudah menyampaikan maksudku padanya,” ucap Reina seraya menyimpan kembali ponselnya usai mengirimkan pesan.Seperti sebelumnya, pesan itu tidak lagi mendapatkan balasan dari Karan. Reina mengambil sebuah keputusan, bahwa itu akan menjadi pesan terakhir kalinya untuk Karan dan dia tidak akan mengganggu Karan lagi. Hatinya memang terluka, tapi Reina t
Ada kebahagian dibalik air mata Reina. Meskipun hatinya terluka karena Karan, tapi dia berusaha menguatkan diri dan tetap melanjutkan hidupnya. Reina menumpahkan kesedihannya lewat sebuah tulisan, dalam bukunya berjudul Ranjang Kehancuran di salah satu platform. Dia berpikir bahwa inilah cara satu-satu untuk menumpahkan semua patah hati dan isi hati yang tidak dapat disuarakannya.Saat tetangga di luar terus mengguncingkannya, mereka menyampaikan bahwa semua kesalahan dalam pernikahan ini disebabkan oleh Reina. Dia tidak pernah mengurusi anak-anak Karan, hanya sibuk menulis dan lebih senang berkumpul dengan teman sesame penulisnya. Tidak hanya itu, mereka juga mengguncingkan bahwa Reina tidak mau mengurusi pekerjaan rumah seperti ibu rumah tangga pada umumnya.Reina hanya diam, dia tidak mau menanggapi apa pun yang dilontarkan keluarga Karan. Dia meminta pihak keluarga agar tidak menjelaskan masalah utama dalam pernikahannya dengan Karan. Reina tetap berusaha menjaga kehormatan Karan,