“Ahggg—” Penjahat itu menjerit keras di kala jemarinya diremukan oleh Oliver. Namun, nampaknya penjahat itu tak menyerah. Dia berusaha kembali menyerang Oliver dengan memberikan pukulan. Sayangnya, gerak Oliver begitu cepat. Oliver memutar leher penjahat itu dan mematahkan lehernya.Krekkk“Ahggg—” Penjahat itu menjerit dengan tubuh yang telah tersungkur di lantai, di kala Oliver mematahkan lehernya. Dua penjahat lain menyerang Oliver, tapi salah satunya dihajar oleh Shawn yang baru saja datang.BUGHBUGHOliver dan Shawn melayangkan pukulan keras. Hanya dengan beberapa pukulan, dua pria itu mampu membuat para penjahat itu tumbang. Sejak tadi, William hanya berdiri di pinggir karena sudah dua cucunya yang memberikan pukulan.Para pengawal berhamburan datang. Mereka membawa tiga penjahat yang telah tumbang itu. Tepat di kala para pengawal membawa para penjahat, Marsha segera memeluk William, dan Shania pun hendak memeluk Oliver, namun sayang pelukan Shania ditolak oleh Oliver. Di hadap
Oliver menatap Nicole yang kini tertidur pulas di ranjang. Tak banyak percakapan yang terjalin antara pria itu dan Nicole. Setelah Oliver mengobati luka di wajah Nicole—dia tak lagi mengajukan pertanyaan apa pun. Lebih tepatnya di kala Nicole memberikan sindirian tajam padanya, membuat pria itu bungkam dan tak lagi bisa mengeluarkan kata. Oliver mengumpat dalam hati saat merasakan hatinya sangat tidak nyaman. Detik itu juga, dia mengeyahkan semua pikiran yang mengusik pikiran dan hatinya. Oliver menarik selimut, menutupi tubuh Nicole dengan selimut tebal. Lantas dia hendak pergi meninggalkan Nicole sendirian.Namun, seketika langkah Oliver terhenti kala merasakan hatinya berat meninggalkan Nicole sendirian. Telebih kondisi Nicole yang masih sakit. Pria itu mengurungkan niatnya untuk pulang. Dia akan tetap berada di samping Nicole, paling tidak sampai esok hari.Oliver mengusap rambut Nicole dengan lembut. Tatapannya tak lepas menatap wanita cantik yang terlelap. Bekas kemerahan di w
*Jangan lupa minum obatmu.* Nicole menatap note dengan tulisan tangan Oliver. Tulisan tangan sedikit latin, namun sangat rapi. Jika kebanyakan orang bilang tulisan pria biasanya buruk, tapi tidak dengan tulisan tangan Oliver. Hanya melihat dari tulisan saja sudah menunjukkan karakter pria itu yang idealis dan selalu rapi.Satu jam lalu, Oliver sudah pulang meninggalkan Nicole sendirian di kamar. Tentu, Nicole lega akhirnya pria itu pulang. Nicole tak mau Oliver berlama-lama di kamar hotelnya. Pun dia malas kalau Shania berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Waktu itu saja, di kala dirinya terjebak di dalam lift—Shania sudah sangat cemburu.Nicole meletakan note Oliver ke atas meja. Sebenarnya, tanpa harus Oliver mengingatkan, dia sudah tahu minum obat adalah hal yang wajib. Apalagi luka di wajahnya belum sepenuhnya pulih. Tapi kenapa malah harus diingatkan? Sungguh, dia tak mengerti dengan jalan pikiran Oliver Maxton.Suara dering ponsel berbunyi. Nicole mengalihkan pandangannya ke
“Sialan! Nicole Sialan!” Shania membanting pajangan yang ada di atas meja, hingga pecahannya berserakan di lantai. Tampak jelas raut wajah Shania menunjukkan kemarahan dalam dirinya. Hal yang membuat amarah Shania tersulut adalah perkataan Nicole. Sungguh, wanita itu menyesal mendatangi Nicole. Jika bukan karena mencari Oliver, maka dia tidak akan pernah mungkin mendatangi Nicole.“Berengsek!” Shania tak henti mengumpat kasar. Dia berada di dalam kamarnya yang berantakan akibat dirinya melampiaskan kemarahannya. Shania ingin sekali tadi menjambak rambut Nicole, namun dia berusaha menahan diri. Dia tidak mau sampai bertengkar hebat dengan Nicole, karena dia masih memikirkan ayahnya. Lepas dari apa pun yang terjadi, Shania memiliki ikatan darah dengan Nicole.“Ya Tuhan, Shania. Kenapa kamarmu berantakan seperti ini?” Erica masuk ke dalam kamar Shania, terkejut dengan kondisi kamar putrinya yang begitu berantakan. Pecahan beling berserakan di lantai. Padahal sebelumnya, Erica sangat yaki
Oliver melonggarkan dasinya dengan mata yang terpejam lelah. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Pria itu masih berada di ruang kerjanya. Pikirannya berkecamuk, memikirkan banyak hal yang mengusik ketenangan hidupnya.Seharusnya, setelah Oliver memutuskan menikah dengan Shania, hatinya merasakan sedikit tenang. Fakta tidak demikian. Pernikahan ini adalah kesepakatannya dengan Shania. Tidak ada paksaan sama sekali. Sayangnya, semua telah berubah.Pertemuan kembali dengan Nicole, membuat Oliver merasakan ragu untuk melanjutkan pernikahan dengan Shania. Ini memang sangat gila. Dia juga tak mengerti kenapa bisa seperti ini.Oliver kembali dipertemukan dengan sosok gadis polos yang pernah dia jadikan bahan taruhan. Sembilan tahun dia tak bertemu dengan Nicole, bahkan dirinya pun tak pernah tahu bagaimana kabar Nicole.Sekarang … kenyataan menampar Oliver dengan Nicoel yang merupakan kakak tiri dari Shania—wanita yang dia pilih menjadi istrinya.“Tuan Oliver?” panggil Vincent seraya mela
Mobil Oliver terparkir di halaman parkir hotel di mana Nicole menginap. Dia tak langsung turun dari mobil. Pria itu sedikit menoleh ke samping, menatap Nicole yang masih terlelap. Padahal dirinya sudah memindahkan tubuh Nicole dari tempat ke tempat, namun rupanya wanita itu tak kunjung membuka mata.Oliver membelai pipi Nicole, mengusap-usap begitu lembut dan penuh kehangatan. Detik selanjutnya, dia turun dari mobil seraya menggendong Nicole gaya bridal, masuk ke dalam lobby hotel. Lagi dan lagi, wanita itu masih belum bangun kala Oliver menggendongnya. Sepertinya wanita itu sangat lelah.Saat tiba di kamar hotel, Oliver membaringkan tubuh Nicole ke atas ranjang. Dress Nicole sedikit kotor harus diganti. Terlebih dress yang dipakai wanita itu sudah terkena gerimis hujan. Oliver pun memutuskan meminta bantuan staff hotel wanita, untuk membantu menggantikan dress yang dipakai Nicole.Namun, di kala Oliver ingin menghubungi staff hotel—gerak Oliver terhenti melihat Nicole mulai mengigau
Pagutan yang tercipta begitu panas dan liar. Lidah Oliver mendesak masuk, menyapu rongga mulut Nicole. Beberapa kali Nicole berusaha melepaskan diri tapi tak bisa, karena Oliver semakin membuat tubuh wanita itu terkunci tak bisa berkutik.Tangan Oliver tak hanya diam. Pria itu menyelinap masuk ke dalam dress piyama yang dipakai Nicole. Dengan sengaja, Oliver melepas kancing dress bagian atas Nicole, agar lebih leluasa memijat payudara wanita itu. Nicole meringis menahan desahan yang lolos di bibirnya di kala Oliver menyentuh payudaranya. Rasa marah dalam diri Nicole menyulut, tetapi sialnya tubuhnya merespon sentuhan Oliver. Bahkan puting payudaranya berdiri tegak di kala jemari Oliver memberikan usapan lembut.Nicole berjuang untuk berontak, tapi malah tangan Oliver semakin menjelajah bergantian ke dua payudara Nicole. Bibir Oliver terus mengulum bibir Nicole atas dan bawah bergantian.Rasa manis di bibir Nicole membuat Oliver benar-benar seakan lupa diri. Kenyal, lembut, dan manis
Tubuh Nicole terpaku melihat Marsha ada di hadapan Nicole. Benak wanita itu memikirkan bagaimana bisa Marsha mengetahui di mana dirinya tinggal. Dia sangat ingat dirinya tak merasa telah memberikan alamat tinggalnya di London.Lalu kenapa sekarang malah nenek Oliver dan Shawn ini ada di hadapannya? Pun rasanya tak mungkin kalau Marsha bertanya pada adik tirinya. Tunggu! Apa mungkin dari Shawn? Benak Nicole kini penuh dengan terkaan-terkaan.“Apa kabar, Nicole? Apa aku mengganggumu?” Marsha mulai lebih dulu menegur, di kala Nicole nampak kebingungan.Nicole membuyarkan semua pikiran yang muncul di dalam otaknya, saat Marsha sudah menyapa dirinya. “A-aku baik, Grandma. S-silakan masuk, Grandma.” Buru-buru, Nicole mempersilakan Marsha untuk masuk ke dalam.Marsha tersenyum hangat, lalu masuk ke dalam kamar hotel Nicole. Meski tak lagi muda, tapi nenek Oliver dan Shawn itu masih teramat sehat. Marsha hanya memiliki keriput tipis di wajah. Rambutnya pun telah diwarnai menjadi warna cokelat