Guru lelaki itu pergi setelah kedatangan Rabu. Wajahnya berubah masam, apalagi saat Rabu dengan sengaja memeluk pinggang Katha.
"Lo kok di sini?" tanya Katha. Dia menepis tangan Rabu di pinggangnya, kesal karena lelaki itu mengusir mangsanya.
Rabu mengeluarkan sebuah gawai dari saku celananya. "Gue kan udah bilang mau antar ini." Dia mengulurkan gawai pada Katha. "Segitu semangatnya cari mangsa, sampai hp sendiri ketinggalan, malah nggak sadar."
Katha yang awalnya kesal, jadi terkekeh. "Trus lo tadi sengaja ganggu gue?" tanyanya sambil memasukkan gawai ke dalam tas.
"Kapan lagi gue bisa jahilin orang-orang gitu," sahut Rabu. Padahal dia tak sedang menggoda siapa pun. Dia hanya sedang menjaga apa yang harus dia jaga.
"Bang Kandara mana? Kok lo jalan sendiri di tempat asing?" tanya Rabu sambil mengalihkan pandangan mengitari sekitar. Saat itu, beberapa anak perempuan tampak tertarik pada Rabu.
Katha yang menyadari itu langsung berdecih. Dia me
“Sayang, aku lapar,” ujar Rabu sambil kembali memeluk pinggang Katha.Dia sengaja melakukan itu untuk mengusir remaja yang sedang berdiri di depan Katha. Namun, anak lelaki itu tampak tidak peduli sama sekali dengan panggilannya pada Katha.Sedangkan Katha sendiri malah tertawa setelah mendengar ucapan remaja lelaki di depannya, sampai dia tak sadar kalau Rabu kembali memanggilnya dengan panggilan seperti tadi. Dia juga tidak sadar pinggangnya dipeluk oleh lelaki itu.“Nomor kamu tertinggal di kontak saya?” tanya Katha meladeni rayuan remaja di depannya. “Sebentar.” Dia kemudian mengeluarkan gawai dari dalam tas, lalu membuka kontaknya. “Coba sebut nama kamu,” ujarnya.“Ditulis dengan nama kontak brondong manisku,” jawab remaja itu sambil nyengir lebar.Hal itu tentu saja membuat Rabu mendengkus kasar. Rasanya dia ingini menarik Katha menjauh dari remaja nekat itu.Katha lagi-lagi t
Katha dan Rabu langsung menghampiri Rendra di apartemennya. Lelaki itu tampak berantakan, begitu juga raut wajahnya."Tadi gue mau ngajak makan siang Shae, Tha. Tapi waktu gue samperin ke kantor, dia nggak ada. Katanya udah gak ngantor dari kemarin. Gue panik, Tha. Gue langsung ke sini, dan ternyata dia juga nggak ada," cerita Rendra tanpa diminta. Dia menyugar rambutnya kasar.Katha menoleh ke arah Rabu. Dia juga tidak bisa membantu menenangkan Rendra, sebab dirinya pun kini ikut panik. Dia takut kondisi mental Shae ternyata belum membaik, dan sahabatnya itu memilih melakukuan hal-hal yang tidak baik lagi."Gimana, Bu?" tanya Katha.Rabu memejamkan mata sejenak. Dia punya satu pemikiran, tapi ragu mengatakannya pada Katha, apalagi Rendra.Katha yang merasa Rabu memikirkan sesuatu, langsung meraih tangan lelaki itu. "Bu, kasih tau apa pun yang sekarang lagi lo pikirin," pintanya.Tatapan Katha membuat Rabu frustrasi dan khawatir. Lalu dia be
Lalu Rabu bergerak turun. Dia memastikan sekeliiling dulu, sebelum akhirnya mendekati pagar rumah Shae. Namun, suara keributan yang samar-samar dia dengar, membuatnya mempercepat langkah. Dia memanjat pagar yang terkunci itu, lalu mendekat ke jendela sebelah kanan rumah. Tirainya masih tertutup, tapi suara di dalam terdengar.“Lepasin, gue, Theo!” jerit Shae.“Lo lupa kita saudara? Lo lupa kalau kita cuma punya satu sama lain?”Rabu menahan napas mendengar hal yang menurutnya sampah itu. Pasalnya, dulu dia sering mendengar ucapan itu tiap kali mengantar pulang Shae dan Katha seusai bersenang-senang di pesta.“Saudara? Lo masih bilang gitu setelah hal bejat yang lo lakuin ke gue?”“Gue nggak sengaja, Sha. Itu kesalahan. Lagian gue mabuk. Mana gue tau itu elo.”Hal mengerikan seperti itu diucapkan oleh Theo dengan nada super santai. Sampai-sampai Rabu menggenggam tangannya kuat-kuat agar tak meme
Shae menangis histeris sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Bahkan tangisannya semakin parah kala Rendra dimasukkan ke UGD dengan para dokter dan perawat yang terlihat panik.Katha yang melihat itu juga ikut gemetar. Namun, dia sekuat tenaga menahan tangis untuk menguatkan Shae. Sahabatnya itu terlalu syok. Apalagi saat melihat Rendra dibawa ke rumah sakit dengan posisi pisau yang masih menancap pada perut dan darah yang terus-terusan merembes di pakaiannya.Tangis Shae baru lenyap setelah perempuan itu pingsan di depan brankar Rendra. Dia akhirnya ikut dibaringkan di UGD, sementara Rendra dibawa ke ruang operasi.Masalahnya, kondisi Shae jadi mengkhawatirnya ketika sadar. Dia terlihat linglung.“Sha,” panggil Katha untuk yang kesekian kalinya. Dia menyentuh lengan Shae lembut.Shae membuka mata. Dia melihat Katha dengan tatapan bingung selama beberapa detik.“Kita pulang dulu, ya. Pulang ke rumah gue,” ajak Katha
"Gue nggak salah. Si brengsek itu yang berbuat rusuh duluan. Dia mecahin kaca rumah gue, terus menerobos masuk seenaknya. Harusnya gue yang tuntut dia!" teriak Theo. Dia sekarang ada di kantor polisi bersama dengan Rabu.Rabu sendiri jengah mendengar amukan Theo yang merasa dirinya tidak pantas dibawa ke kantor polisi. Padahal kali ini kejadiannya sudah teramat sangat parah, sebab membahayakan nyawa orang lain."Bapak kalau tidak tenang, bisa langsung saya masukkan sel," ujar seorang polisi yang kelelahan mencoba mendapatkan keterangan dari pelaku."Lo kata gue bisa tenang dituduh begini?" sahut Theo. Dia bahkan menendang meja yang ada di depannya.Kalau tidak ingat sedang berada di kantor polisi, mungkin saat ini Rabu sudah menghabisi muka Theo yang seolah tak berdosa itu. Dia geram, sebab setiap dia memberikan keterangan, lelaki itu terus saja membuat keributan dengan menyalahkan balik Rendra maupun Shae."Lo mau nyangkal gimana juga, saksi kita
Rabu tidak berhasil bicara pada Rena. Perempuan itu malah histeris dan mengumpati Shae tanpa henti. Hal itu akhirnnya membuat dia dan Katha memutuskan untuk membawa Shae pulang. Sebab, perempuan itu tampak sangat terpukul."Lo harus istirahat, Sha," ujar Katha ketika sampai di rumah.Rumah yang dimaksud adalah rumah Rabu. Dia merasa tidak bisa meninggalkan Shae di apartemen Rendra. Selain karena tahu kondisi mental sahabatnya, tentu Rena juga akan sangat marah kalau tahu Shae masih ada di apartemen Rendra."Besok Tante Rena pasti udah lebih tenang. Kita bakal segera tahu kabar Rendra," lanjut Katha.Rabu memperhatikan keduanya sambil berdiri bersandar di sebelah pintu tak berdaun pintu menuju ruang makan. Dia sendiri sebetulnya khawatir dengan keadaan Rendra. Sebab, sempat dia lihat bahwa pisau yang menusuk perut lelaki itu terlalu dalam. Belum lagi Rendra kehilangan kesadaran begitu ambulan datang.Rabu jadi menyalahkan dirinya sendiri. Harusnya t
“Tha, maaf,” ujar Rabu pelan, tapi masih bisa didengar Katha. Katha menatap bingung. Setelah itu dia sedikit terkejut melihat Rabu menarik Shae dalam pelukannya. Lantas, sahabat perempuannya itu menagis tersedu-sedu dalam pelukan Rabu. Harusnya Katha merasa biasa saja. Selama ini dia baik-baik saja melihat Rabu bersama perempuan lain, atau bahkan bercanda dengan Shae. Akan tetapi, entah kenapa matanya tidak ingin melihat pemandanga itu. Dia akhirnya memalingkan muka, lalu berkata sebelum beranjak, “Gue siapin air hangat dulu buat Shae.” Rabu mengangguk. Dia mengusap-usap punggung Shae sambil membisikkan kalimat-kalimat menenangkan. Sayangnya hal itu tertangkap mata Katha. Perempuan itu akhirnya melangkah cepat ke dalam kamar. Sampai di kamar dia menutup pintu dan bersandar di sana. Napasnya sedikit memburu, hingga dia perlu menarik dan mengembuskan napas beberapa kali, sambil memengangi dadanya. “Ada yang aneh sama jantung gue,” keluhnya. Dia
Rabu berhasil berbicara dengan keluarga Rendra. Namun, dia hanya bisa mendapat informasi soal keadaan lelaki itu, tanpa diizinkan menjenguk. Apalagi sampai membawa Shae. Pada akhirnya Shae hanya bisa menunggu di rumah Katha dan Rabu, sementara Rabu terus berusaha update soal kondisi Rendra yang masih koma. “Bu, Shae dua hari ini susah banget disuruh makan,” ujar Katha kala sedang mempersiapkan sarapan bersama Rabu. “Nggak bisa dibujuk lagi?” Katha menggeleng. “Udah susah banget.” Rabu menghela napas. “Gue maklum. Dia pasti terpukul atas semua rentetan masalah yang terjadi di hidupnya.” Tangan Katha yang sedang mengocok telur terhenti. Dia menatap kuning dan putih telur yang belum tercampur sempurna. “Gue kadang ngerasa Tuhan terlalu kejam sama dia.” “Jangan bicara begitu. Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk Shae nantinya. Buktinya setelah mengalami hal buruk dari kakaknya, dia dipertemukan dengan Rendra yang tulus m