Di satu sisi, aku bersyukur. Sangat bersyukur karena si Primadona ternyata cukup kooperatif. Kalau kuingat-ingat lagi, ini bukan hal besar, sih.
Jadi, saat kami bertatapan ketika ada Dino, pemuda itu hanya membungkuk sekilas, sebagai ganti salam. Kemudian, tanpa mengatakan apa pun, si Relawan Tertampan itu melambaikan tangan kepada Dino sebelum ia kembali memindahkan logistik ke dalam gudang penyimpanan. Tingkahnya benar-benar seperti orang asing yang sama sekali tidak mengenal.
Sebenarnya, aku sendiri tidak terlalu yakin. Apakah alasan ia bertingkah seperti tidak mengenalku karena memang tidak mengenaliku, atau justru karena ia bisa membaca ekspresiku pada saat itu ⏤bahwa aku sedang menyamar dan tidak ingin dibongkar kedoknya?
Yang mana pun, yang pasti, aku sangat bersyukur karena sampai pada detik i
“Kapan kamu kembali?” tanya Adachi tepat saat aku hendak pamit.“Besok sore," jawabku singkat sambil kembali menoleh ke arahnya.Niat hati, aku ingin langsung pamit dan pergi dari sini untuk meminimalisir risiko gosip yang tidak jelas. Bukannya melebih-lebihkan, tetapi ⏤meski ia baru beberapa hari di sini⏤ popularitas Adachi memang tidak main-main. Selain karena parasnya yang mencolok, bisa jadi, ini juga karena pemuda itu memberikan kesan yang cukup tegas bahwa ia membangun tembok tinggi bagi kaum hawa. Oleh karena itu, aku sempat waswas jika ada yang melihat kami berbincang akrab dan muncul berita yang tidak sedap. Terlebih, besok aku ⏤beserta tim relawan kak Limas⏤ akan kembali ke wilayah kami masing-masing. Jadi, kalau sampai the worst scenario yang terbayang di dalam benakku benar-benar terjadi, hari terakhir Lisa Natalie sebagai relawan di sini akan sangat merepotkan.Well, karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan dan juga apa isi hati orang lain, jadi lebih b
"Sedikit lagi. Kurang sedikit lagi," jawabnya lirih sambil mengalihkan pandangannya dariku.Bersamaan dengan jawaban Adachi, beberapa orang keluar lagi dari tenda, dan lagi-lagi mereka melihat ke arah kami. Spontan, aku hanya mengangguk sambil tersenyum, sebagai ganti salam dan sapaan.Tanpa berkata apa pun, mereka balas tersenyum ke arahku. Namun, aku mendapat firasat kalau situasi akan jadi buruk jika ada kelompok ketiga yang melihat kami lagi.Detik itu juga, aku membulatkan tekad untuk pamit pada Adachi. Apa pun yang terjadi, aku harus segera per⏤ah, sial!Tepat ketika aku menoleh ke arahnya, pemuda itu tengah memasang ekspresi yang terlihat seperti menahan luka. Tatapannya memang tidak ditujukan padaku, tetapi aku jadi tidak tega untuk langsung pergi kar
"Aku boleh lihat dulu foto-fotonya, 'kan?"“Sure," sanggupku langsung. "Tapi tanggung sendiri akibatnya, ya," imbuhku sambil menunjukkan padanya beberapa foto Rere yang kutawarkan.Adachi hanya memutar mata, lalu mengangguk kecil. Namun, aku cukup optimis kalau ia akan semakin tergiur dengan tawaranku setelah melihat foto Rere.Benar saja. Baru melihat foto ketiga, bibir Adachi sudah dalam mode full smile. He really looks like a love-struck man. Alhasil, senyumnya pun menular padaku, meskipun keduanya memiliki arti yang sangat berbeda.“Well done, the past Echana! You did a very well-done job! It is a very good decision to copy some of Rere's photos and her video in my new smartphone. Atta, girl!” batinku bersorak gembira.Aku memang sudah mempersiapkan beberapa hal yang berhubungan dengan Rere untuk berjaga-jaga jika nantinya aku jadi ke Jepang dan bertemu lagi dengan Adachi. Bisa dibilang, aku menyimpan foto dan video Rere sebagai ganti uang tutup mulut khusus untuk Adachi. Pasaln
“Jangan-jangan kamu kabur dari rumah, ya?”Tiba-tiba Adachi menyeringai, seakan ia baru saja mendapat pencerahan."Oh! That's why kamu takut kalau aku ternyata pegawai Kanatta, karena kamu takut aku akan bilang ke Zean kalau tunangannya tercinta ada di sini. Ya, kan?"Aku langsung memutar mata."Nice theory."Adachi tertawa singkat, tetapi matanya lebih jujur untuk menunjukkan kalau ia sedang mengejekku."Memangnya ada alasan apa lagi yang bisa buat kamu tiba-tiba jadi waswas hanya k
Perlahan, kegelapan berganti terang karena matahari mulai keluar dari tempat persembunyiannya.Dari balik lautan awan, secercah sinar kemerahan muncul. Semakin lama, semakin banyak dan menyinari semua permukaan yang ada. Bola api mega besar itu seolah merangkak naik ke puncak langit dengan begitu perlahan, bersamaan dengan perubahan gradasi warna langit yang indah. Benar-benar seperti berada di kota langit di dunia fantasi!Tak kuasa, aku kembali terkagum ketika aku melihat lagi beberapa video yang kurekam saat mendaki gunung beberapa bulan yang lalu. Bibirku pun tersenyum lebar saat teringat bagaimana serunya pendakian saat itu.“Jadi kangen hiking lagi, nih,” gumamku lirih saat melihat video matahari terbit lainnya dari gunung yang berbeda.
Yang pasti, suara itu bukan milik salah satu keluargaku. Bukan kak Naki, bukan juga Chris, apa lagi papa Ian. Suara Zean juga tidak seperti itu. Sialnya, saat berusaha mengingat si pemilik suara, sosok yang muncul di dalam benakku malah Adrian Shimaru.It can’t be him, right?Kebetulan, saat itu gawaiku bergetar dari dalam saku. Jadi, aku segera merogoh saku jaket, lalu mengeluarkan gawai dari sana, dan menerima telepon dari entah-siapa karena aku sama sekali tidak mengecek namanya.“Iya, iya. Aku sudah dalam perjalanan,” ucapku dalam bahasa Korea sambil kembali bergegas menuju pintu, seolah aku menghentikan langkah sejenak karena gawaiku, bukan karena namaku dipanggil.
Sudah lama aku tidak berlari sekencang ini.Sepanjang dua puluh tahun hidupku, aku hanya berlari cepat pada saat pengambilan nilai pelajaran penjaskes, ketika sedang latihan atau bertanding olahraga, mengejar Chris untuk menjitak kepalanya karena sudah berani mengusiliku, ataupun lari dari kejaran kak Naki setelah aku berhasil membuatnya kesal.Waktu dikejar guru BP karena ketahuan memanjat pagar sekolah pun, aku tidak sampai berlari sekencang ini. Namun, berkat orang itu, aku jadi memecahkan rekor lari cepatku. Karena sampai detik ini, setelah berlari beberapa blok, aku masih belum juga bisa menangkap pria yang beraninya mencopetku."PENCURI!!! BERHENTI!!!" teriakku sekuat tenaga sambil berlari mengejarnya.
"Nona, apakah anda bisa mendengar saya?" tanya pria itu panik.Suaranya seperti seseorang yang kukenal, tetapi ⏤karena sorot lampu yang sangat terang di belakangnya⏤ aku tidak bisa melihat jelas wajah pria itu. Meskipun aku sudah menyipitkan mata, berusaha mengenali pria itu, pandangan mataku justru menjadi semakin kabur."Nona! Hei! Apa kau bisa mendengarku?"Makin lama, suara pria itu terdengar makin panik."Bagaimana ini? Ia tidak akan mati, 'kan?"