"Kenapa, Kak? Diagnosisku keliru, ya? Lukanya lebih parah?" tanyaku waswas.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, Kak Naki malah memalingkan wajah hingga ia dan Rian bertemu pandang.
"Kakimu terkilir, tapi jika dilihat dari kondisinya, ada kemungkinan kalau ada keretakan tulang juga. Jadi, kusarankan untuk me-rontgen kaki dan juga bahumu yang baru sembuh."
Begitu mendengar diagnosis kak Naki, aku langsung menatap Rian kaget.
Jangan-jangan tadi Rian keberatan dipapah oleh Lucas karena bahunya sakit? Tapi kenapa ia tidak bilang?
Sejenak, kami bertemu pandang. Namun, Rian segera mengalihkan pandangan dariku. Namun, entah kenapa, aku mendap
Aku mengerjap lambat.Still loading ...Ini bukan pertama kalinya Reina tidak bisa dihubungi selama beberapa hari.Dulu, gadis pelupa itu juga pernah keasyikan main game sampai mengabaikan gawainya selama beberapa hari. Saat itu, ia sedang liburan keluarga di luar kota. Jadi, aku dan Chariz hanya bisa mencari tahu kabar Reina melalui sosial media Krystal, adik semata wayang Reina. Makanya, beberapa hari ini aku tidak terlalu cemas karena mengira bahwa ada kemungkinan kalau kejadian itu terulang lagi.Kalau Chariz, … sejujurnya aku memang agak cemas, sih.Kar
"Kak, aku buka jendelanya, ya?" tanyaku pada kak Naki yang duduk di sampingku, sibuk mengendalikan kemudi SUV silvernya membelah jalanan kota yang cukup padat sore ini."Ya sudah. AC-nya Kakak matikan ya?""Oke," jawabku seraya menekan tombol di pintu mobil untuk membuka jendela.WUUSHAngin pun seketika menerobos masuk melalui celah yang tercipta saat kaca jendela bergerak turun perlahan. Meniup helai rambutku yang tidak terikat, menyingkirkan mereka sehingga kulit wajahku sepenuhnya merasakan sapuan angin.Mulai nyaman, aku pun menyandarkan punggung dan kepalaku ke sandaran kursi. Tak menunggu lama, kelopak mataku pun tergoda untuk terpejam. Namun, pemandangan di trotoar membuatku kembali terjaga dengan dada yang perlahan t
"Terus, tadi kalian ngobrolin apa?"Aku mengernyitkan dahi, lalu menatap kak Naki tidak paham."... 'Kalian' siapa?" tanyaku balik.Kak Naki balas melirikku sekilas. Tentu saja dengan sorot mata yang sarat akan teguran. Karena alih-alih menjawab, aku malah balik bertanya kepadanya."Kamu sama Rian." Untungnya, kak Naki masih mau menjawab, meskipun singkat dan nada bicaranya agak ketus."Oh. Bukan apa-apa, kok," jawabku sambil lalu, kemudian kembali menoleh ke luar jendela. Dalam hati, aku berharap kak Naki lekas paham kalau aku sedang tidak ingin membahasnya."Terus, kenapa kamu nangis?"Spontan, aku menoleh lagi, menatap kak Naki kaget separuh protes.Ok. Kak Naki memang mengubah topik pembicaraan, tetapi BUKAN TOPIK INI JUGA YANG AKU MAU BAHAS. HADEEH!"Siapa yang nangis?" tanyaku pura-pura tidak paham."Memangnya dengan mata sembab begitu, kamu mau bohongi siapa?" sindir kak Naki seraya melirikku sekilas. Ketika mata kami tidak sengaja bertemu pandang, pria itu tiba-tiba mendengk
Satu kata untuk hari ini, MELELAHKAN.Fisikku memang tidak terlalu lelah, karena setelah pulang dari rumah sakit, aku cenderung bersantai atau melakukan kegiatan yang tidak terlalu menguras energi.Thanks to perban yang membalut pergelangan tangan kananku dan juga penjelasan dari kak Naki, Mama Jessica hampir selalu menyuruhku untuk beristirahat. Namun, sayangnya mentalku tidak seberuntung itu.Berita-berita mengejutkan yang kuterima sore ini benar-benar menghajar ketegaran batinku. Begitu kak Naki selesai menceritakan secuil teorinya, si logis dan hati nurani kembali berdebat cukup sengit.Hasilnya? Kami sepakat untuk mengambil kesimpulan setelah berbincang dengan Zean, karena kebetulan, malam ini
“Sebentar, aku fotokan aja, ya. Nanti kamu cek sendiri.”“Oke. Thank you, ya.”“Don’t mind it.”DEG! DEG! DEG!Seketika, mataku melihat sekitar, mencari botol air minum yang biasa kusimpan di atas nakas sebagai persediaan air darurat. Begitu ketemu, aku segera meneguk hampir separuh isi botol air itu untuk menenangkan jantungku yang berdebar kencang.Sayangnya, alih-alih merasa lebih tenang, di dalam batinku malah terjadi pergolakan hebat setel
Sebelum menekannya, aku mengamati pranala yang baru saja dikirimkan Riichi. Dari sederet tulisan dan simbol itu, kurasa aku tahu akan dibawa kemana jika menekan link tersebut.Benar saja. Tepat seperti dugaanku, pranala itu adalah undangan digital dari pernikahan seseorang bernama Dimas … TUNGGU DULU!“Ini mempelai prianya beneran Dimas yang aku kenal, Chi? Serius?” tanyaku tidak percaya setelah hampir kelima kalinya membaca nama lengkap sang mempelai pria.“Iya, Ka. Itu Dimas yang dulu sering jahilin kamu di tim baseball kita. Besok dia menikah di luar kota.”“BESOK?! Kok mendadak banget?”S
"Ngapain pakai video call segala? Kangen ya?" godaku berusaha terlihat biasa saja saat video call sudah tersambung.Zean, yang masih terlihat tampan meskipun wajahnya tampak lelah di layar gawaiku, tersenyum lebar."Coba ulangi yang tadi, dong," pintanya dengan ekspresi memohon."Apanya yang diulangi?" tanyaku pura-pura tidak paham."Waktu Anna bilang kalau Anna sedih kalau aku sakit."Tuh,
"Kalau aku punya, kamu mau apa?" "Ditanyain kok malah balik tanya, sih?" protesku langsung. "Karena aku nggak ada keharusan buat jawab pertanyaanmu." Seketika, aku melempar tatapan tajam ke arah kak Naki. Namun, pria itu justru membalas tatapanku dengan seringai penuh percaya diri, seolah statement-nya barusan sudah pasti seratus persen benar. Tepat ketika aku hendak membalas ucapan kak Naki, Chris tiba-tiba berceletuk dengan polosnya. "Kalau misalnya kak Zean beneran bikin kak Rio keluar negeri buat belajar, terus masalahnya di mana, Kak?" Kini, aku menoleh ke arah Chris. Karena pemuda itu menatapku penasaran, dan aku tidak mendapati pertanda bahwa ada maksud terselubung seperti yang ditunjukkan oleh kak Naki di wajahnya, aku pun berusaha menjawab pertanyaan adik bungsuku dengan lebih tenang. "Yang jadi masalah buat aku itu nada bicara dan gesture-nya kak Naki yang seolah-olah mau bilang kalau Zean itu punya niat buruk, Chris." “Memangnya kamu nggak sadar? Posesifnya dia kan s