"Nah, kan!"Di seberang meja makanku, Chariz duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada. Dari ekspresinya, terlihat jelas bahwa gadis itu sedang kesal.Well, aku bisa maklum dengan sikapnya. Ia dan Reina pasti cemas karena aku tidak bisa dihubungi selama dua hari saat aku berkunjung ke resort Zean.Begitu aku pulang dari resort sore ini, barulah aku menghubungi mereka. Sebagai permintaan maaf, aku pun mengundang mereka ke apartemenku untuk makan malam bersama.Seperti biasanya, pasti ada cerita di setiap pertemuan kami. Kali ini, aku menceritakan tentang kalimat ambigu Zean yang bukannya membuatku merasa lebih baik, ia malah membuat imajinasiku semakin menjadi-jadi. Sialnya, aku lupa kalau topik
Should I try to make a boundary? As if I can! Bukannya tidak bisa, sih. Hanya, ini akan jadi hal yang sedikit sulit karena ⏤entah bagaimana⏤ Zean hampir selalu tahu apa yang terjadi padaku. Contohnya, seperti yang terjadi sekarang ini. "Hai, Anna." Di dekat persimpangan menuju lapangan parkir mobil kampus, aku spontan menghentikan langkah. Memastikan dengan mataku bahwa sosok yang mendadak menyapaku itu adalah Zean Kanatta sungguhan. Terlebih, bahwa kakinya sekarang sedang menapak tanah, bukan melayang. "Zean? Kok kamu bisa di sini? Ada apa?" tanyaku sambil berlari kecil ke arahnya. Ketika jarak kami sudah cukup dekat, aku baru memperhatikan penampilannya yang tidak biasa. Kaos polos berwarna putih yang ia kenakan ditutupi oleh jaket kulit berwarna hitam. Celana jeans dengan warna senada yang ia pakai membuatnya terlihat lebih santai. Terlebih karena senyum yang terpajang indah di wajah tampannya. "Kamu sedang libur? Ada acara apa ke sini?" tanyaku lagi karena Zean tidak sege
"Ayo cepat habiskan makananmu dan kita pergi dari sini!" ajakku berbisik dengan nada sebal."Why are you in a hurry?" tanya Zean santai. Namun, ekspresinya yang terlihat sok tidak paham itu membuatku lebih kesal."Karena aku malas berurusan dengan mereka," jawabku sekenanya sebelum buru-buru melahap fruit salad-ku.Well, aku memang sedang malas berurusan dengan si mantan dan selingkuhannya. Sialnya, sejak kami putus, Rian dan si selingkuhan malah suka mendadak muncul di sekitarku tanpa diminta. Yang lebih menyebalkan adalah tingkah mereka di muka umum.
"What is he doing here?" Meski aku mengatakan sambil berbisik, tetapi aku sama sekali tidak sanggup menutupi rasa tidak sukaku saat tidak sengaja melihat pemuda itu dari kejauhan.Sorot mataku yang tajam menatap ke arah pemuda berjas hitam dengan kaos berwarna biru safir di baliknya. Rambutnya ditata rapi ke belakang. Simply handsome khas Rian ketika ia menghadiri acara penting atau resmi.Di meja bundar di dekat sudut ruangan, ia tampak asyik berbincang dengan Chris. Entah apa yang sedang mereka bahas, tetapi Rian terlihat cukup bahagia. Well, he looks pretty happy for a man without his lover-like-soulmate by his side
TING TING TING! Suara dentingan itu seketika membuat semua mata spontan terfokus padanya. Kakak sulungku yang mengenakan setelan senada dengan dress kak April yang berwarna royal blue itu tersenyum tampan nan berwibawa. Netra coklat tuanya ⏤seperti milikku⏤ menatap satu per satu orang yang ada di ruangan ini dengan percaya diri. "In this wonderful evening for everyone present here,” kak Naki tiba-tiba memulai pidato pembukaannya dengan bahasa Inggris, “I am so happy to welcome each of you for the 20th birthday of my beautiful sister, Echana Chalista Natalie Reefhitch.”
"Anna?"Langkahku segera berhenti. Kemudian, aku menoleh lambat ke belakang, arah asal suara yang cukup mengagetkanku.Di lorong hotel yang sepi, seorang pria jangkung terlihat sedang berjalan menghampiriku. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana kain yang ia pakai."Where are you going?"Begitu mengenali wajah dan suaranya, aku spontan menarik ujung hoodie yang kukenakan hingga dahiku tertutup. Terlebih ketika mataku tidak sengaja bersitatap dengan netra birunya yang tengah menatapku curiga."Ke supermarket di lantai bawah."
"Bukannya kak Eka sendiri yang undang kak Rian?""Ngaco, ih! Mana mungkin!" protesku langsung. Boro-boro mengundangnya, melihat wajahnya saja aku enggan!"Lebih meyakinkan kalau kamu yang undang, tahu. Apa lagi tadi kalian ngobrolnya seru banget," sindirku halus.Chris memutar mata, lalu kembali fokus pada mi instan cup-nya.“Tadi kak Rian yang nyamperin aku duluan buat bahas pertandingan minggu kemarin. Nggak usah jealous karena nggak disamperin, deh," ledeknya kurang ajar.Spontan, aku mendecakkan lidah. Nih anak makin malam omon
"Oh, gitu, ya?" Pemuda yang mengenakan jaket hitam untuk menutupi kaos putihnya itu menatapku kaget. Sepertinya reaksiku benar-benar diluar dugaannya. "Kak Eka masih nggak percaya juga?" Aku hanya tertawa lirih. "Semua orang punya persona, Chris. Sudah kenal lama bukan jaminan untuk mengenal karakter orang itu." Adik bungsuku itu tertegun sesaat. Matanya menatapku dalam, sebelum tiba-tiba ia mengalihkan pandangan dan menunduk menatap cup mi instannya yang hanya tersisa kuahnya. "... Masuk akal juga, sih," komentarnya lirih. Melihat reaksinya yang mirip orang merasa bersalah, aku jadi makin yakin kalau Chris berpikir kalau aku sedang membahas Rian. Well