Ini curang.
Ya, aku tahu. Aku sudah memikirkannya masak-masak, dan aku tidak menemukan cara yang lebih efektif tapi aman selain begini.
Di satu sisi, aku sendiri merasa malu dan juga merasa bersalah. Aku malu karena tidak biasanya menggunakan cara tipikal flirting yang seperti ini untuk mendapatkan informasi. Selain itu, aku juga merasa bersalah pada Zean karena seperti sedang menggunakan afeksinya demi keuntungan pribadiku sendiri.
Bahkan, rasa bersalahku menjadi semakin besar ketika Zean mendadak berhenti setelah aku berbisik di telinganya. Ia pasti sangat terkejut, karena aku pun begitu.
“Percaya deh, Ka. Dia juga menikmati cara ini. Jadi, ini nggak sepenuhnya untu
Sengaja, aku tidak langsung menjawab.Dengan gerakan lambat, aku sedikit memutar tubuh hingga agak condong menghadap ke arah Zean. Mataku mengerjap lambat, lalu tersenyum. Menahan tawa."Zean ingin tahu tentang apa?" tanyaku dengan nada selembut mungkin. Aku juga menggunakan ekspresi, intonasi, serta gesture yang sama seperti Zean saat pria itu mengatakan hal yang sama padaku.Benar saja. Zean langsung tertawa. Ia pasti paham kalau barusan aku memang sengaja menirunya."Apakah Anna berjanji akan menjawab pertanyaanku?" tanya Zean balik dengan nada agak menantang, tetapi matanya menatapku menggoda.Hmmmm …
"Lalu, apa alasan Anna tidak mau dirawat di rumah sakit?" DEG! “If my memory serves me right, dulu, waktu Anna kena demam berdarah, Anna juga bersikeras agar tidak dibawa ke rumah sakit, ‘kan? Kemudian, saat kecelakaan di Seoul, Anna juga tidak mau dirawat di rumah sakit." Sialnya, Zean tidak hanya bertanya, tapi juga memberikan beberapa fakta pendukung. Secara tidak langsung, aku jadi merasa seperti dipaksa untuk menjawab. Alhasil, senyuman yang sedetik lalu masih tersungging di wajahku pun, seketika lenyap. Namun, karena Zean masih menatapku, aku segera memaksa bibirku kembali tersenyum, meskipun hasilnya agak canggung. Kemudian, aku langsung menoleh ke arah lain. Sengaja menghindari tatapannya yang membuat rasa bersalahku kian besar. Siapa juga yang menyangka kalau Zean akan menanyakan hal berat begini sepagi ini? Aku sih nggak! Karena enggan menjawab, aku pun diam. Sialnya, Zean ikut diam dan suasana di sekitar kami kembali terasa aneh. Sangat aneh dan canggung. "Jadi, ak
Hawa dingin yang menusuk kulit, serta rasa sakit dan nyeri pada sebagian besar tubuh kecilku, membuatku perlahan-lahan terjaga.Dengan gerakan lambat, aku membuka mata. Pencahayaan di ruangan ini juga agak remang-remang. Namun, untungnya, aku masih bisa melihat dengan cukup jelas.“Hm? Di mana bintang-bintangku? Kenapa langit-langit kamarku jadi putih bersih?” batinku bingung seraya mengerjap lambat dan berusaha menajamkan penglihatan.Di langit-langit kamarku, ada banyak mainan berbentuk bintang yang bisa bersinar dalam gelap. Mainan itulah yang selama ini membuatku tidak takut ketika lampu kamar dimatikan, atau ketika listrik padam. Tetapi, di mana mainanku?Kemudian, aku menoleh ke kanan. Biasanya, ada boneka beruang
"... And I'm sorry."Spontan, aku menatap Zean bingung.Kenapa Zean tiba-tiba minta maaf?"I'm sorry that I wasn't there when you got through it, Anna."Spontan, aku membulatkan bibir.OOH ITU!"No, Zean." Aku menggeleng seraya menatapnya tidak setuju."You don't need to apologize
Sedikitnya, aku sudah mengira kalau kedatanganku ke kampus tidak akan setenang biasanya. Tetapi, aku tidak menyangka kalau akan seberisik ini. Aku sudah menduga dan mengantisipasi kalau akan ada lirikan tajam yang dikombinasikan dengan kasak-kusuk saat aku lewat. Namun, aku agak kaget karena ternyata ada juga yang terang-terangan berbicara buruk tentang keluargaku dengan tatapan menghakimi yang ditujukan padaku di muka umum. Well, apa lagi kalau bukan karena kasus Papa Ian yang masih belum beres. Sidang terakhirnya ditunda karena salah satu anggota hakim mendadak mengalami serangan jantung sebelum sidang dimulai. Well, meskipun hal itu benar-benar sebuah kebetulan, tetapi ternyata ada saja pihak yang menciptakan
Begitu dosen menutup materi pembelajaran hari ini, aku langsung mengeluarkan gawaiku dan mengirimkan pesan pada Lucas.Posisi?Lucas AbalabalMasih di perpus, Kak.Kelasnya udah selesai?Udah.Kenapa?Lucas AbalabalSini buruan.Why?Sambil menunggu balasannya, aku membereskan peralatan tulisku yang masih tercecer di atas meja, dan memasukkannya ke dalam tas. Namun, sampai aku selesai beberes, pesan
Begitu melihat nama yang muncul di gawaiku, aku segera mengusap lingkaran hijau ke atas agar telpon tersambung, lalu menempelkan benda itu di telingaku.“Hallo? Ada apa, Luke?”“Kak Eka di mana?” tanya Lucas langsung to the point. Ia bahkan tidak mau repot-repot mengucapkan salam. Tetapi, karena aku sendiri sedang malas berbasa-basi, kali ini kubiarkan.“Aku lagi di⏤” Aku melihat sekitar. “Dekat parkiran C. Kenapa?”“Oke. Aku otw ke sana,” jawabnya langsun
"Kak Eka kok masih di sini?" Ketika aku sedang sibuk memikirkan bagaimana cara membawa Rian tanpa menimbulkan gosip, suara seseorang dari arah atas tangga membuatku terkejut. Saat aku menoleh ke arah asal suara, Lucas yang sedang menuruni tangga dengan riang itu menatapku sok kaget. "Nunggu siapa, Kak? Nungguin aku ya?" lanjutnya kemudian, sambil menaik turunkan alis menggoda ke arahku. Spontan, aku melirik ke arah Rian, menunjuk pemuda itu dengan gerakan kepala untuk menjawab Lucas. "Dia cedera," jelasku singkat. Lucas pun menoleh ke arah yang kutunjuk. Semula, pemuda itu mengernyitkan dahi. Wajahnya tampak bingung. Namun, setelah ia mengenali identitas pemuda yang berdiri bersandar di dinding di dekatku, wajahnya berubah menjadi benar-benar terkejut. "Ya ampun! Kak Eka banting dia lagi?" tuduhnya tiba-tiba. "NGACO! NGGAK, WOY!" sanggahku langsung dengan nada tinggi, karena kaget, seraya menatapnya tidak terima. "Kakinya cedera karena jatuh dari tangga," jelasku spontan den