Suara ketukan di pintu membuat Roma buru-buru merapikan mainannya. Bukan maksudnya membuat kamarnya berantakan, dia hanya kesal pada Tante yang dibawa Om Juna. Apa benar Tante itu hantu? Mungkin saja, habisnya dia sangat cantik. Cantik, tapi menyebalkan. Untuk apa dekat-dekat dengan Om Juna-nya? Om Juna hanya miliknya, tidak boleh dimiliki orang lain. Pintu terbuka, kepala Juna muncul di sana. Roma urung menyimpan mainannya ke dalam kotak. Dia langsung berdiri, setengah berlari menghampiri Juna yang berdiri di depan pintu yang terbuka lebar, melompat ke gendongannya begitu jarak mereka hanya tinggal beberapa kaki. "Ayo, sarapan!" Juna mencium pipi chubby Roma yang selalu menyebarkan wangi minyak telon dan bedak bayi. Tidak perlu bertanya siapa yang membubuhkan itu semua ke tubuh Roma. Ibunya memang ajaib. "Laper, 'kan?" Juna membawanya keluar kamar, menuruni tangga dengan sedikit tergesa. Ia sudah hafal seluk-beluk rumah ini sehingga tidak akan terjatuh meskipun menuruni tangga deng
Sarapan pagi kali ini adalah sarapan paling dramatis yang pernah mereka lalui. Mulai dari Roma yang selalu ingin bersama Juna, gadis kecilnya seolah tak mengerti jika Om Juna-nya sedang ada masalah kecil, dia tak ingin menjauh dari Juna padahal mereka akan membicarakan hal yang tak pantas untuk didengarnya. Beruntung setelah dibujuk Helen akhirnya dia mau kembali ke kamar dan bermain di kamarnya, dengan Helen yang menemani. Lagipula, Helen tidak akan mengerti dengan topik yang akan mereka bahas. Daripada dia mengacau dengan pertanyaan konyolnya, lebih baik Helen menemani putri mereka. Juna juga tak kalah membuat kacau. Kata-katanya terkadang membuatnya harus menahan napas, khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk lagi pada Diva. Entah Juna sengaja atau tidak, dia sering mengatakan sesuatu yang membuat Diva memijit pelipis berusaha mengingatnya. Juna sudah menceritakan semua tentang Diva. Dari awal sampai akhirnya dia membawa Diva ke sini untuk sarapan. Juna berharap ingatan D
Eh, anak? Roma mengerjap beberapa kali menatap Juna. Kenapa jadi anak? Bukankah dia sudah memiliki orang tua? Bagaimana dengan Bunda dan papinya jika dia menjadi anak Om Juna dan Tante Diva?Diva tidak menjawab, dia hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dalam hari dia merasa bersalah, kenapa sampai sekarang masih belum mengingat Juna, juga Anka mereka yang telah tiada. Kenapa waktu itu dia sampai tidak tahu sedang mengandung? Tadi malam Arkan berkunjung ke rumahnya, menceritakan semua yang terjadi padanya sebelum dia koma. Dia sempat dinyatakan meninggal, itulah sebabnya Juna bersikeras dia sudah tiada sebelas tahun yang lalu. Kemudian tentang kehamilannya, betapa bodohnya dia sampai tidak menyadari ada kehidupan lain di dalam dirinya. Entah apa yang terjadi padanya dulu sampai sebegitu cerobohnya. Diva menarik napas, memejamkan mata sekilas. Seandainya saja ingatannya kembali, semua pasti akan jauh lebih mudah. Tak mungkin dia meragukan Juna seperti yang sekarang dirasakannya. Benark
Tidak ada yang bersuara, semuanya diam sehingga tak terdengar apa-apa seolah di ruangan itu tidak ada satu orang pun. Sejak Diva bercerita apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, sejak itu ruangan menjadi seperti tak berpenghuni. Nora hanya menatap Diva dengan linangan air mata, Diva menceritakan semuanya setelah dia sadar. Echa pun sama. Rasa haru dan bahagia terkumpul jadi satu di dalam dada mereka. Meskipun awalnya sangat terkejut, bahkan Nora sempat pingsan beberapa menit sebelum disadarkan oleh Kevin dengan cara yang ekstrem. Tidak ada seorang pun yang menyadarkan orang pingsan dengan cara menciumnya sampai orang itu sadar. Sialan memang, tapi dia mengakuinya jika cara itu sangat efektif untuknya. Entah untuk yang lain. Sementara Echa lebih kuat. Meskipun sama terkejut dengan Nora, tapi dia tidak sampai pingsan. Dia hanya menangis sesenggukan melihat Diva yang duduk di pangkuan Juna, persis seperti yang dibayangkannya selama ini. Tak mungkin Juna membiarkan Diva duduk sendiria
Meskipun amnesia, satu yang tidak berubah dari Diva. Dia memakan apa saja, tapi tubuhnya kasih tetap langsung seperti dulu. Untuk yang satu itu, nira dan Echa sudah sering menanyakannya, tapi mereka tidak mendapatkan jawaban. Sampai sekarang, saat mereka bertanya, Diva tetap tak bisa menjawabnya. "Lo udah bikin kita kesal, Va. Masa lo ingat sama dua nyebelin itu, terus sama kita nggak ingat?" tanya Nora memprotes. "Yang duluan sahabatan sama lo itu, 'kan, kita berdua, bukan mereka. Iya. 'kan, Cha?" Echa mengangguk membenarkan perkataan Nora. "Yang jadi best friend lo duluan itu kita, bukan mereka berdua!" Dia menunjuk Kevin dan Arsyi yang duduk di depan televisi. Entah apanyang mereka bicarakan, dilihat dari wajah ketiganya yang serius sepertinya mereka membicarakan hal yang penting. Diva meringis. "Maaf," ucapnya tak enak. "Nggak tau kenapa tadi pas bilang sayang ke Juna gitu aku jadi ingat mereka berdua.""Anehnya lo kasih belum ingat Juna sepenuhnya?" Diva mengangguk menjawab p
"Jadi, beneran, nih, Mama sama Papa nggak jadi pulang besok?" Sekali lagi Diva bertanya untuk memastikan. Sudah malam, sebentar lagi akan tiba jam makan malam. Diva sudah kembali ke rumahnya sejak satu jam yang lalu setelah menghabiskan waktu hampir seharian di apartemen Kevin. Sungguh, ini menjadi hari yang sangat mendebarkan baginya. Beberapa kali dia harus menahan rasa sakit yang menusuk di kepala saat ada kepingan ingatan yang memasuki otaknya. Mereka pulang sore hari, berpencar, dan membiarkan Kevin bersama Nora. "Terpaksa, Sayang. Urusan Papa lanjut di luar negeri gimana, dong? Masa Mama pulang sendiri? Takut Mama."Diva memutar bola mata bosan mendengar alasan Mama yang tidak masuk akal menurutnya. Kenapa Mama harus takut di kereta atau di pesawat sendirian? Jika dia berani dari Amerika ke sini sendirian, berarti Mama kalah dengan putrinya sendiri. Alasan terlalu dibuat-buat Mama membuatnya lapar, untungnya setelah menjawab panggilan Mama, dia akan langsung makan malam. Tak
Diva sendiri yang menyiapkan makan malam mereka. Seperti perkataannya saat di telepon Mama tadi, sepuluh tahun hidup sendiri di negeri orang membuatnya mandiri. Dia terbiasa melakukan semuanya sendiri, bahkan berobat ke rumah sakit pun dilakukannya sendiri. Padahal dulu dia masih berusia belasan, dan dalam keadaan amnesia. Tidak ada seorang pun yang dikenal dan dapat dipercaya, tetapi dia tetap melakukannya. Tak hanya pada pemeriksaan rutin, saat ada ingatannya yang memasuki kepala juga seperti itu. Dengan sambil memegangi kepala dia berlari dari apartemennya menuju stasiun kereta, dan tiba di rumah sakit dalam keadaan nyaris tak bertenaga. Beberapa kali hal itu pernah terjadi padanya, sehingga saat mengalami sakit kepala yang teramat bahkan sampai membuatnya pingsan, dia sudah biasa-biasa saja. "Besok kamu perginya pagi apa siang?" tanya Diva setelah nasi goreng di piringnya habis.Juna mengedikkan bahu. "Aku masih belum tau, Be. Jadwalnya ada sama Kevin." Juna belum menghabiskan
Hari masih pagi, matahari belum menampakkan diri. Juna sudah berada di dalam pesawat yang akan membawanya menuju Swiss, bahkan ia tidak sempat untuk pamit pada Diva. Tadi malam ia pulang tengah malam setelah Diva bisa ditinggalkan. Well, jangan berpikir jika malam ciuman panas mereka berakhir di atas ranjang. Ia tidak meneruskannya. khawatir jika benar-benar tidak bisa mengendalikan diri, dan memilih untuk menghabiskan sisa waktu sebelum pulang dengan mengobrol bersama Pak Dudung dan Bik Asih, tak hanya bersama Diva. Pukul dua dinihari, saat ia baru beberapa menit memejamkan mata, yang terhormat Nyonya Barbara Dirgantara meneleponnya, memberitahu jika pesawat yang menjemputnya akan segera tiba. Mommy memintanya untuk segera bersiap agar setelah pesawat pribadi keluarganya itu tiba, ia langsung berangkat saja. Tak ada protes, apa yang dikatakan Mommy adalah perintah. Dengan sangat terpaksa ia kembali bangun, membatalkan rencananya untuk tidur, dan menghubungi Kevin. Ia meminta untuk