Aku pikir batin ini akan siap menerima kenyataan kalau Virgo sudah ada yang memiliki, tetapi ternyata salah. Ini terlalu menyakitkan buat aku. Memejamkan mata, mencoba menepis segala lara yang tengah meraja di dalam dada. Aku tidak boleh selamanya seperti ini. “Kenapa menangis?” Aku terenyak dan terkesiap ketika tiba-tiba suara Bi Sarni berubah menjadi suara Virgo. Ah, pasti sedang berhalusinasi, karena sejak tadi memang selalu memikirkan dia. “Jangan menangis, La. Kalau ada masalah bisa ceritakan sama aku dan bibi!” Dengan sentuhan yang begitu lembut, jari-jari itu membetulkan anak rambutku yang berantakan, menyelipkannya ke sela-sela daun telinga lalu menghapus air mata yang membasahi pipi. “Virgo, kamu?” Mengucek mata, memastikan kalau pria yang ada di hadapanku memang benar-benar dia. “Kamu liat aku sudah kaya liat hantu!” “Kamu ngapain ke sini, Vir?” “Karena aku mengkhawatirkan kamu, La. Bibi tadi nelepon aku, dan dia bilang kamu nangis terus sejak siang. Kamu juga nggak m
"Ayo, ikut saja!" desaknya lagi. Aku mendesis kesal, tetapi dia malah tersenyum. Kayaknya sengaja banget pengen ngeledek. "Apa mau aku gendong ke depan?" Kedua mata bulat dengan iris cokelat itu tidak lepas dari wajahku. "Bisa jalan sendiri. Dasar buaya darat. Maunya cari-cari kesempatan terus. Enak aja mau gendong-gondong. Aku aduin nanti ke istri kamu kalau macam-macam!" sungutku kesal, seraya berjalan mendahului lelaki berkaus biru itu sambil terus saja menggerutu. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, aku terus saja merapalkan doa supaya nanti hati ini kuat saat kembali melihat Virgo bermesraan dengan istrinya. Hingga mobil milikku menepi di depan sebuah bangunan mewah berlantai dua, aku masih terus merapal doa serta mengatur napas juga detak jantung yang mengentak tidak beraturan. "Ayo, kita turun, La!" ajak lelaki dengan garis wajah tegas itu sembari melepas sabuk pengaman. "Tapi, Vir?" Menatap ragu, sekaligus deg-degan. Lelaki yang selalu berpenampilan sederhana itu sege
“Jangan angkat yang berat-berat dulu, La. Kamu belum benar-benar pulih. Aku nggak mau sampai kamu kenapa-kenapa lagi,” ucap pria bersahaja itu dengan intonasi sangat lembut juga hati-hati. “Aku Cuma pengen mangku anak kamu, Vir. Tapi ternyata berat. Aku nggak kuat!” Virgo menarik kedua ujung bibir, mendudukkan Alexa di sebelahku, sedangkan dia malah duduk bersila di lantai. Pukul empat sore, setelah puas bermain dengan gadis kecil yang ternyata begitu aktif itu, Virgo akhirnya mengajakku ke suatu tempat, dan katanya akan mengenalkan aku dengan ibunya Alexa. Dia tidak mengatakan hendak mengajakku ke mana, tetapi yang pasti kali ini tidak setakut dan sedeg-degan tadi. Sebab, sepertinya Virgo memang sudah berpisah dengan mantan istrinya. Buktinya, mereka sudah tidak lagi tinggal se rumah. Perputaran keempat roda mobilku menepi di depan gerbang sebuah pekuburan. Aku menoleh ke arah pria yang masih duduk di kursi kemudi, dan terlihat dengan jelas ada duka di kedua bulat beningnya. “Ini
“Iya, kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja sendiri sama Lala!” “Apa benar itu, La?” “Iya. Tapi aku tolak, karena tidak mencintai Kak Irsyad!” “Kamu denger sendiri ‘kan, Isyad? Lala menolak. Dan itu tandanya dia masih bebas. Lagian cowok kaya kamu sepertinya nggak pantes bersanding dengan Lala. Cinta kamu nggak tulus.” “Sopir seperti kamu tau apa tentang ketulusan, Virgo. Kamu mendekati Nirmala juga pasti karena ngincer harta ayahnya!” “Saya tidak licik seperti kamu. Saya tidak butuh uang Om Wildan, tapi butuh Lala untuk menjadi pendamping hidup saya, jadi ibu untuk anak saya!” Aku mengulum senyum mendengar pertanyaan Virgo. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam taman hati, tinggal menunggu sang kumbang singgah sebagai pelengkap. “Ayo, La. Kita masuk. Jangan hiraukan racauan bocah miskin itu!” Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba pria berkacamata itu menarik kasar tanganku, tanpa memedulikan ringisan serta tubuhku yang hampir tersungkur karena belum bisa berjalan cepat tanpa tong
Aku kembali menatap wajah pria itu dengan mimik terkejut. Bagaimana bisa? Sementara pertemuan kami saja baru terjadi beberapa bulan yang lalu? “Aku pertama kali liat kamu tiga tahun yang lalu. Sebelum kamu mengalami kecelakaan. Kamu inget nggak? Saat menghadiri acara ulang tahun PT Aliando Sejahtera. Kamu datang bersama Om Wildan dan Mbak Delima. Saat itu aku pengen deketin kamu, tetapi malu karena statusku seorang duda beranak satu. Dan beberapa bulan yang lalu tiba-tiba Mbak Delima nelepon aku, minta dicarikan orang buat jadi mata-mata kamu. Dia juga menceritakan semua masalah yang menimpa kamu. Dan dari situ aku memilih untuk maju, menjadi pelindung kamu sekalian pedekate. Kamu itu memang wanita luar biasa, La. Mudah dicintai oleh siapa saja, termasuk aku. Makanya aku nggak mau lama-lama menahan perasaan ini. Aku pengen kita langsung nikah, supaya nggak ada lagi yang gangguin kamu. Aku pengen kamu jadi milikku selamanya.” Aku mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa tahun yang l
“Kamu tidak apa-apa, Sayang? Eca juga tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Virgo terdengar begitu panik. Aku hanya menggeleng tanpa melepas pelukan Alexa. Tubuh ini masih gemetar luar biasa saking takutnya. “Bunda Eca takut,” rengek gadis kecil dalam dekapanku seraya mempererat pelukannya. “Jangan takut, Sayang. Ada Bunda sama ayah.” Mengusap rambut Alexa yang tergerai, mencium puncak kepalanya merasa begitu kasihan kepadanya. Baru pertama kali ikut jalan bersama kami, tetapi malah hampir mengalami kecelakaan. Untung saja Tuhan masih melindungi kami semua dari mara bahaya. Ponsel dalam saku Virgo terdengar berdering nyaring. Pria berkaus hitam serta celana pendek itu segera mendekatkan benda pipih persegi berukuran enam inci ke telinga, menyapa sang penelepon dengan salam dan berbincang sebentar. “Ayo, Pak. Lanjut jalan. Bismillah. Pelan-pelan saja!” perintah Virgo dan segera dilaksanakan oleh sopirnya. “Kamu minum dulu, La. Badan kamu sampe gemetaran begin
“Saya berniat menikahi putri om Wildan setelah selesai masa idahnya. Dan Lala sudah setuju!” timpal Virgo tanpa menoleh menatap wajah lawan bicaranya. “Apa kalian sudah yakin?” Aku menatap wajah ayah, pun dengan Virgo hingga tanpa sengaja kami mengangguk secara bersamaan. *** #Arya. Duduk mematung di depan layar laptop, sesekali melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Sudah pukul lima sore, tetapi masih banyak pekerjaan yang belum terselesaikan. Orang kepercayaan Virgo malah menyuruhku untuk lembur, padahal tubuh ini sudah terasa begitu lelah, lemas, seperti tidak bertenaga sama sekali. Sambil mengistirahatkan badan sejenak, iseng-iseng membuka aplikasi berwarna hijau, berniat membaca pesan yang masuk, tapi, jari ini malah tergerak untuk melihat story teman-teman, hingga perhatianku tertuju kepada status Mbak Delima—sekretaris pribadi ayahnya Nirmala. Ad yang tersayat perih melihat story perempuan itu, apalagi melihat caption
Aku mengambil binatang kecil yang sedang menggeliat-geliat tersebut, memastikan kalau apa yang aku lihat benar-benar nyata. Rasa takut tiba-tiba menelusup ke dalam hati, apalagi aku pernah membaca salah satu karya Mak Ida Saidah yang berjudul PETAKA JAJAN di sebuah grup literasi, yang menceritakan seorang lelaki yang mengidap penyakit raja singa, hingga akhirnya seluruh senjatanya harus dipangkas habis tak tersisa. Bergidik ngeri membayangkan jika itu sampai terjadi. Membersihkan area pangkal paha, menahan nyeri yang tidak terkira. Ampun, Tuhan. Jangan terus dera hamba dengan segudang coba serta siksa. Jangan biarkan hamba-Mu ini kehilangan salah satu aset berharga yang hamba miliki, karena pasti tidak akan ada lagi wanita yang mau menerima diriku jika sudah tidak memiliki senjata untuk bertempur. Selesai mandi, segera menyiapkan sarapan, membuat nasi goreng karena hanya ada dua butir telur dan nasi saja di rumah. Mau belanja ke luar kaki ini rasanya se