Pukul 07.35, sebagian warga sudah berkumpul di halaman kantor kelurahan. Sambil menunggu intruksi dan kehadiran warga yang lain, mereka berbincang-bincang dengan beberapa kubu. Sudah bisa dipastikan, yang jadi topik adalah hilangnya Nilam.Ada yang menebak jika Nilam dibawa penunggu Hutan Ireng, ada juga yang bilang dibawa oleh penghuni Sungai Niskala yang kebetulan berada di bawah tebing makam keramat. Calon pengantin harus mutih dan menyepi dulu satu malam si sana, mungkin pada saat itu si penunggu jatuh cinta pada Nilam, pikir warga. Tidak ada yang salah. Harus diakui bahwa Nilam adalah gadis sederhana yang cantik. Memiliki kulit eksotis dengan bibir tipis. Alisnya tebal simetris, bulu mata lentik, mata sipit, serta hidung bangir. Pipinya agak cubby, dagunya sedikit menyusut. Para pria mengakui Nilam masuk dalam kategori wanita berwajah manis. "Menurut kalian, apa si Nilam akan balik lagi? Atau malah kayak yang sudah-sudah?" tanya Alit pada rekan di depannya. Mereka tengah duduk
Pasang-pasang kaki menelusuri tempat yang jarang terjamah oleh warga. Mereka menapaki bukit, makam, sungai, dan juga curug. Dari pagi hingga sore hari, nama Nilam terus dipanggil, terkadang diselingi dengan seruan azan, berharap ada hal baik yang datang. Kelelahan membuat mereka beristirahat sejenak di area sungai. Ada juga yang menelusuri sampai ujung, guna memastikan tak ada yang terlewat. Bahkan Pak Wahyu sudah ikhlas, jika yang ditemukan berupa mayat. Yang penting, Nilam terlihat raganya. Karena sampai pukul 15.00 belum membuahkan hasil, rombongan pertama dibubarkan, diganti dengan rombongan kedua yang nantinya akan mencari sampai malam. Bah Karsun bilang, mencarilah di area yang pertama disisir, beliau tetap yakin bahwa Nilam tidak jauh. "Pak, mending pulang dulu. Bapak harus makan," ucap Bagas, suaranya sedikit dibesarkan karena gemuruh air sungai cukup membuat suasana bising. "Bapak belum tenang, sok aja kamu yang pulang. Kasian Nur, kerjaan kamu juga ketunda, kan?" "Gak a
"Gimana, Pak? Nilam sudah ketemu?" Bu Rosidah langsung menghampiri suaminya yang baru saja datang. Wajah pria itu sangat kusut, ia hanya menatap istrinya sekilas lalu pergi ke kamar sembari mengusap wajahnya dengan mengucap istigfar beberapa kali.Gerakan mata Bu Rosidah seakan mengikuti laju Pak Wahyu. Ia hendak mengejar, tetapi Nur menarik tangan ibunya supaya memberi waktu pada Pak Wahyu untuk istirahat sejenak. Kegiatan pencarian dari pagi sampai sore pasti sangat melelahkan. Harapan satu-satunya adalah jawaban dari Bagas. Bu Rosidah sampai mencecar banyak pertanyaan pada menantunya itu, seakan tidak memberi kesempatan pada Bagas untuk berbicara barang sedikit pun. "Bu, nanti dulu atuh. Kan, Bapak sama Aa baru sampe rumah," jawab Nur. Perasaannya mengatakan jika tidak ada kabar baik sama sekali dari Nilam, itu terlihat dari wajah-wajah kecewa serta desah napas yang berat dari para pria yang baru saja datang. Namun, Bagus paham akan kekhawatiran Bu Rosidah, ia langsung mengajak
Setelah salat Magrib, suasana rumah Pak Wahyu tampak hening. Pak Wahyu dan istrinya masih berada di kamar, sedangkan Nur, Indah, serta Bagas berada di meja makan. Karena suasana duka, mereka sampai lupa makan. Perut baru bisa terisi setelah Bagas membeli makanan di luar. "Ibu sama Bapak udah makan, Neng?" tanya Bagas sembari menyuap satu sendok nasi dengan lauk tempe orek."Ini mau Neng anterin, A. Sok Aa makan dulu yang banyak. Mau ke kantor desa lagi, kan?" Pertanyaan itu diangguki oleh Bagas. Pria itu fokus makan, sedangkan Nur dan Indah menata nasi di piring dengan menu yang apa adanya, terpenting kedua orang tuanya mau makan. Setelah makan rencana Bagas akan pergi, pria itu melarang Pak Wahyu untuk ikut lagi."Biar aku yang anter ke kamar, Teh. Teteh temenin A Bagas aja." Nampan yang sudah berisi dua piring nasi beserta dua gelas air putih itu dibawa oleh Indah ke kamar. Tak lupa Nur meminta adiknya untuk menyuapi ibunya kalau perlu, sekalian memijat kaki. Merasa perutnya tida
Sudah tiga hari lamanya pencarian Nilam terus dilakukan. Untuk menghindari warga yang kelelahan, Pak Lurah sampai mengatur jadwal layaknya jadwal ronda. Begitu juga Bah Karsun, setiap malam beliau mencoba berzikir agar bisa berinteraksi dengan 'mereka' yang membawa Nilam, sayangnya mereka belum ingin terbuka. Bu Rodiah terlihat lebih kurus, seharian ia hanya duduk di teras—menatap jalanan, berharap semoga anaknya segera datang. Untung saja Nur dan Indah bersedia bulak-balik dari desa mereka ke Desa Wangunsari untuk mengurus Bu Rodiah. Untuk Pak Wahyu, beliau sudah tidak terlalu menunjukan kesedihannya, bahkan masih ikut aktif mencari. Pagi-pagi sekali Indah sudah datang membawa beberapa sayuran mentah untuk dimasak di rumah ibunya. Wanita berjilbab segitiga merah itu memarkirkan motornya di halaman, lantas menyalami Bu Rodiah yang masih duduk di teras. Kantung matanya tampak turun, akibat kurang istirahat. "Ibu, masuk, yuk. Teh Indah bawa bubuk cokelat, oleh-oleh dari A Hafiz. Past
Sebelum Bu Rahayu bercerita tentang kejadian semalam, Ela sadar dari pingsannya. Cepat-cepat Teh Rita membantu gadis itu berdiri lalu merebahkan badannya terlebih dahulu di ranjang agar lebih baikan. Tak lupa Bu Rahayu meminta putrinya membuatkan teh manis hangat untuk Ela. "Makanya, jangan ngelamun. Harus banyak istigfar," ucap Bu Rahayu sembari memijat kaki Ela. "Gak usah dipijat atuh Bu. Ela teh gak enak sama Ibu kalo kayak gini," ucap gadis itu berusaha bangkit dari posisi berbaringnya, tetapi Bu Rahayu menahan supaya Ela tetap diam. "Kamu udah Ibu anggap anak sendiri. Jangan ada bahasa gak enak segala. Sok diem sekarang mah. Namanya orang kesurupan, sebadan-badan sakit." Bu Rahayu beranjak dari ranjang, lantas berjalan ke arah nakas untuk mengambil minyak cengkeh di laci. Beliau dan Teh Rita selalu punya minyak itu untuk menghilangkan masuk angin dan juga pegal di badan. Tak berapa lama, Teh Rita datang membawa segelas air yang masih mengepul, ia menyimpan air tersebut di nak
Kedatangan Hafiz dan dua orang asing di jam malam itu disambut oleh keluarga Pak Wahyu. Nur sampai menyimpan ponsel milik Nilam di tempat paling aman. Tadinya, ia ingin langsung mencari nomor Putri, tetapi waktunya sangat kurang tepat. Nur dan Bu Rosidah dibuat saling pandang ketika melihat penampilan salah satu tamunya. Pria itu memiliki rambut putih dan panjang sampai pundak. Ia memakai ikat kepala batik, bajunya serba hitam, ditambah segala macam aksesoris dari batu-batuan membuatnya terlihat begitu ramai. Belum lagi janggut tangannya sibuk mengusap janggut yang senada dengan warna rambut. "Pak, Bu," ucap Hafiz sembari menyalami mertuanya dengan takzim. "Perkenalkan, ini namanya Abah Padri, beliau akan membantu kita untuk mencari Nilam."Ada senyum keterpaksaan dari Pak Wahyu. Bukan tidak senang, ia bersyukur banyak orang baik yang ingin menolong, apalagi ini menantunya sendiri. Hanya saja, ia tidak mau menambah beban dengan melibatkan lagi orang luar. "Silakan duduk dulu," ucap
Semua orang seolah membeku ketika seseorang memanggil dari luar. Gegas Nur berlari ke arah pintu lalu membukanya. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan ketika mengetahui siapa yang datang saat ini. Yaitu Teh Rita. Memang tidak dipungkiri, suara Teh Rita dan Nilam memiliki kemiripan.Ada desah kecewa dari Bu Rosidah. Wanita itu menjatuhkan diri di sofa, merasakan ulu hatinya sakit, juga asam lambung yang kembali naik akibat cemas berlebihan. Kalau sudah seperti ini, kakinya ikut mendadak lemas. Indah yang melihat wajah pucat ibunya buru-buru menghampiri. "Assalamualaikum. Maaf kalau saya teh sudah menganggu malam-malam. Sebenarnya saya tidak enak, tapi saya lihat lampu rumah ini masih menyala. Jadi, terpaksa saya ke sini buat nganterin ini." Teh Rita membuka tote bag yang ia bawa lalu menyerahkan kebaya putih dan kain milik Nilam yang diantar secara gaib. "Waalaikumsallam." Dahi Nur mengernyit, ia menatap pakaian yang dipakai oleh adiknya terakhir kali saat dia pergi. Bu Rosidah langsung